oleh Ainul Mizan
Diberitakan viral bahwa Ibu Megawati mengundang pengusung Khilafah untuk bisa berdiskusi di DPR. Menurut pembacaannya, Khilafah layaknya sebuah pemerintahan tanpa border. Lebih lanjut Megawati mempertanyakan tentang siapa sosok yang akan menjadi kholifahnya.
Adalah sebuah kewajaran di saat diskursus Khilafah ini mencuat, ada keinginan untuk mempertanyakan sebagaimana Ibu Megawati. Apalagi di tengah gencar - gencarnya program anti radikalisme yang bergulir. Justru hal tersebut hanya akan menambah bumbu rasa penasaran publik, khususnya terkait isu Khilafah. Ditambah lagi masa yang cukup lama mereka berada dalam pengaturan sistem pemerintahan ala demokrasi. Bagi sebagian kalangan beranggapan adanya isu Khilafah tentunya akan mundur ke jaman unta dan kuda. Lantas seberapa uniknya isu Khilafah ini hingga memaksa Ibu Megawati untuk urun saran meramaikan diskursus tentangnya?
Untuk menela'ah Khilafah secara obyektif, tentunya kita harus memandangnya dengan kacamata yang sama, yakni dalam kerangka membincangkan sebuah sistem pemerintahan. Tawaran Khilafah ini lumrah saja sebagai alternatif. Memang sistem pemerintahan di dunia itu beragam, termasuk Khilafah di dalamnya. Artinya dipandang dari sudut kemerdekaan intelektual, perbincangan Khilafah menemukan relevansinya. Bisa ditela'ah secara luas akan konsepsinya, bukan mengedepankan sikap apriori yang justru memenjarakan intelektualitas.
Isu Khilafah ini mempunyai asas teologis yang cukup kuat. Secara kajian istilah memang Khilafah itu merupakan sebuah pemerintahan yang mengganti pemerintahan sebelumnya dengan segenap perangkatnya. Sedangkan dalam pengertian syar'inya Khilafah adalah pemimpin yang menggantikan posisi Rasululloh sebagai pemerintah, bukan mengganti dalam kapasitas sebagai Nabi dan Rasul. Dalam hal ini relevan dengan hadits yang menyatakan yang artinya: "Dahulu Bani Israel segala urusannya di tangan seorang Nabi. Tatkala satu Nabi meninggal dunia, akan digantikan oleh Nabi lainnya. Maka sungguh tidak ada lagi Nabi setelahku, akan tetapi akan ada banyak kholifah" (HR Muslim).
Disebutkan akan ada banyak kholifah setelah masa Nabi saw. Di sini bukanlah bersamaan, akan tetapi silih berganti. Karena persatuan umat Islam hanya akan bisa diwujudkan dalam satu komando kepemimpinan. Bisa terbayang sulitnya persatuan tanpa satu komando kepemimpinan. Secara faktual, umat Islam saat ini sangat sulit untuk menolong saudaranya di Palestina misalnya, yang dibantai Israel. Para pemimpin negeri - negeri muslim reaksinya kebanyakan mengecam dan memobilisasi bantuan. Padahal sebenarnya yang dibutuhkan Palestina adalah pasukan dari negeri - negeri Islam bersatu untuk mengalahkan Israel. Dunia internasional telah menyaksikan sendiri kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Israel.
Akan berbeda jauh di saat Khilafah masih establish. Sultan Abdul Hamid II menegaskan kepada tokoh zionis, Hetrzl, bahwa selama beliau masih hidup tidak akan pernah memberikan ijin Israil untuk menguasai sejengkal pun tanah Palestina. Tidak ada hak bagi Kholifah untuk memberi ijin dalam hal ini. Tanah Palestina termasuk negeri Islam. Inilah sikap nasionalis yang ditunjukkan oleh seorang Kholifah.
Para Kholifah tersebut akan mengurusi umat dengan aturan Islam yang dibawa Nabi. Walhasil bentuk keKhilafahan adalah Khilafah di atas metode kenabian. Yang di dalam sejarah berhasil dimanifestasikan oleh para sahabat Nabi yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Kepada merekalah seharusnya merefer bila ingin menela'ah sistem Khilafah ini.
Adapun pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmaniyah tetaplah disebut Khilafah. Penyebutan bani di sini karena adanya isa'atut tathbiq (kesalahan penerapan) konsep baiat. Menurut penemuan penulis, saat itu baiat diberikan dengan sistem putera mahkota. Oleh karenanya hadits menyebut sebagai mulkan adhon (kerajaan yang menggigit) tapi tidak menghilangkan esensinya sebagai Khilafah. Aturan Islam masih menjadi guidence dan para ulama sepakat menyebutnya sebagai Khilafah seperti yang disampaikan oleh As Suyuthi di dalam Tarikhul Khulafa.
Hingga pada akhirnya hadits menutup periodisasi umat Islam itu dengan menyebut akan hadirnya Khilafah di atas metode kenabian, bukan kebanian. Ini menunjukkan bahwa yang direfer itu adalah Khilafah yang mengikuti metode Nabi saw. Uniknya penyebutannya didahului dengan masa mulkan jabriyah (kekuasaan diktator). Masa kekuasaan yang memposisikan rakyat sebagai pelayan para penguasa. Keadilan sulit sekali didapatkan. Sumber daya alam bukan dinikmati rakyatnya sendiri. Tentunya kita bisa menela'ahnya. Bukan kemudian hasil telaah kita menuding Khilafah sebagai biang keladinya. Kejujuran intelektual lebih bermanfaat kiranya.
Atau melabeli Khowarij pada mereka yang mengusung isu Khilafah. Telaah yang jujur tentunya akan menemukan pernyataan Imam Ali ra tentang Khowarij. Imam Ali ra menyatakan bahwa La hukma illa lillahi itu benar, tapi maksud mereka yang batil. Khowarij ingin umat tidak taat kepada Imam Ali yang notabenenya termasuk salah satu Khilafah Rasyidah.
Lantas kalau kita bandingkan dengan kenyataan yang kita hadapi sekarang, secara faktual kita berada dalam pemerintahan presidentil demokrasi bukanlah sistem keKhilafahan. Jadi lebih tepat sebutan bagi mereka yang mengusung Khilafah itu hanyalah sebuah ajakan agar rakyat negeri ini kembali ke tatanan syariatnya. Dan hal demikian kembali lagi kepada aspirasi rakyat. Terbukanya ruang diskusi akan dapat memperlihatkan arah aspirasi rakyat, daripada pembatasan intelektual yang hanya menimbulkan sikap antipati terhadap kekuasaan.