Oleh: Ita Mumtaz
Kehadiran majelis taklim di tengah-tengah masyarakat kampung maupun perkotaan ibarat oase di tengah gurun pasir. Bahagia sekali melihat para ibu berbondong-bondong menghadiri majelis taklim yang tumbuh subur di lingkungan masjid, musala, perumahan, sekolah, kampus bahkan institusi perkantoran. Materi tentang fiqih ibadah, parenting, keluarga, motivasi keimanan, ketakwaan, keutamaan mencari ilmu, peningkatan ibadah, pembentukan kepribadian Islam, dan berbagai wawasan positif bisa didapatkan di forum penuh keberkahan ini.
Namun tiba-tiba kita dikejutkan dengan Peraturan Menteri Agama yang mengharuskan majelis taklim memiliki SKT (Surat Keterangan Terdaftar). Pada 13 Nopember 2019, Menag telah menetapkan Peraturan nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim. Dinyatakan bahwa majelis taklim diharuskan mendaftar di Kemenag. Secara berkala, majelis taklim melaporkan ke KUA setempat mengenai pemateri dan materi kajian agama yang diselenggarakannya. Di samping itu, susunan kepengurusan dan sumber pendanaan majelis taklim juga dilaporkan.
Sungguh sebuah kebijakan yang amat menyengsarakan para pegawai di departemen terkait. Sebuah administrasi dan birokrasi yang rumit lagi sia-sia. Majelis Taklim telah menjamur di setiap dasa wisma, komplek perumahan, RT, RW, kelurahan, kecamatan, mushala, masjid, ibu-ibu perkumpulan sesama profesi, sekolah, kampus, perkantoran, organisasi masyarakat, paguyuban, keluarga besar, dan lain-lain. Bisa kita bayangkan, bagaimana repotnya petugas yang diamanahi mendatanya. Tentu saja akan membutuhkan dana yang tidak sedikit. Lantas jika sudah didata, pasti butuh verifikasi dan pemeriksaan. Kegiatan yang dirilis pun banyak sekali intensitasnya. Ada yang sepekan, dua pekan atau sebulan sekali. Sebuah pekerjaan yang amat menyulitkan ketika harus mendata satu persatu.
Dengan semakin banyak majelis taklim yang tumbuh subur, seharusnya Bapak Kemenag bertambah gembira. Karena ini merupakan salah satu pertanda bahwa kaum muslimin kian bergeliat dalam mencari ilmu serta menyongsong kebangkitan Islam. Bukan malah mengharuskan adanya pendataan yang kesannya sangat tendensius dengan aroma kecurigaan.
SKT Majelis Taklim, untuk Apa?
Adanya peraturan keharusan memiliki SKT bagi majelis taklim sungguh patut kita sayangkan. Karena alasan yang dikemukakan adalah dengan demi menangkal radikalisme yang telah menggejala dalam forum atau peserta pengajian. Radikalisme dalam hal ini berkonotasi buruk, yakni terorisme. Artinya bahwa di dalam tubuh majelis taklim terdapat inspirasi kekerasan, yakni orang-orang yang suka berbuat teror, mengebom tempat-tempat dan fasilitas umum. Sungguh sebuah statemen yang sangat melukai hati kaum muslimin, terutama ibu-ibu pengajian. Para peserta datang berduyun ke pengajian, yakni sebuah forum yang digambarkan oleh Rosulullah ibarat taman-taman surga. Tentu saja niat ikhlasnya adalah demi meraih rida dan pahala dari Allah Swt.
Tidak pernah sebuah majelis taklim mengajarkan membuat bom, bersikap intoleransi. Justru yang sering bersikap intoleran dan radikal adalah orang-orang kafir. Saudara muslim di Uighur, Gaza telah menjadi korban kebrutalan mereka. Kita pun masih teringat tragedi penembakan di masjid New Zealand. Pelakunya bukanlah seorang muslim. Seperti itulah teroris dan radikalis yang sebenarnya.
Masyarakat pun akan dibuat risau dan saling mencurigai. Kebijakan ini sungguh berpotensi memecah-belah umat. Akan terjadi saling menuding antara segolongan masyarakat yang berbeda kolompok pengajian. Padahal beragamnya kelompok itu justru pertanda hidupnya aktivitas kaum muslimin dalam pencarian ilmu. Insya Allah semuanya akan membawa rahmat dan keberkahan bagi kaum muslimin.
Bisa kita simpulkan, ini adalah program yang teramat konyol dari sebuah lembaga sekelas kementrian agama. Semestinya kementrian agama fokus menangani problem umat Islam yang berkaitan dengan agamanya. Begitu banyak fakta mendera di depan mata yang membutuhkan uluran tangan dan solusi terbaik dari Bapak Menteri. Semisal perlu memberikan edukasi terhadap umat tentang makanan halal, terbatasnya Al-Qur'an dalam sebuah masjid, masjid yang tidak ramah anak, buta huruf Al-Qur'an, panjangnya daftar antrian ibadah haji, maraknya penghina Rosulullah, penista Al-Qur'an, penodaan agama, ancaman LGBT, narkoba yang mengintai generasi, tingginya kasus KDRT, dan masih banyak lagi.
Fakta ini merupakan bukti bahwa rezim saat ini sangat ketakutan akan tanda-tanda kebangkitan Islam. Sebagaimana yang pernah disampaikan Bapak Menteri Agama bahwa celana cingkrang dan cadar adalah benih radikalisme, bahkan dengan beraninya merombak 155 buku agama dengan tuduhan ada muatan radikalisme.
Sungguh sebuah pernyataan dan kebijakan yang bersumber dari kesesatan pikir. Cadar dan celana cingkrang merupakan pendapat Islami yang perlu kita hormati. Menolaknya berarti menghina pendapat para ulama yang sejatinya adalah pewaris nabi. Sebaliknya, baju pendek dan ketat yang memperlihatkan aurat wanita justru malah dibiarkan merajalela. Padahal inilah sebenarnya sumber maksiat dan sampah masyarakat. Sedangkan materi Khilafah dan Jihad adalah bagian dari ajaran dan hasanah keilmuan Islam yang justru perlu diwujudkan dalam tatanan kehidupan kaum muslimin.
Jadi sebaiknya Kemenag meninjau ulang wacana yang aneh dan ambigu ini. Kemenag justru harus menjadi lembaga yang mampu mengayomi dan memfasilitasi majelis taklim agar masyarakat semakin bertambah ilmu, lebih luas wawasan, kian kokoh keimanan, mantap kepribadian Islamnya. Sehingga akan menciptakan iklim yang kondusif, mengingat umat Islam adalah modal terbesar bagi kemajuan dan kebangkitan bangsa ini. Jika umat ini mengerahkan potensinya, tak pelak lagi kejayaan peradaban Islam akan terulang kembali. Namun jika umat senantiasa sibuk berbantahan dan saling curiga, maka hilanglah kekuatannya.
Sebagaimana yang digambarkan firman Allah dalam surat Al-Anfal 46 yang artinya:
"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
Wallahu a'lam bish-shawwab
Tags
Opini