Oleh: Rosmiati
Belum seumur jagung rezim baru berjalan. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memastikan bahwa pelanggan listrik 900 Volt Ampere (VA) Rumah Tangga Mampu (RTM) akan dicabut subsidinya mulai Januari 2020. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana mengatakan, pencabutan subsidi ini merupakan kesepakatan bersama pemerintah dan Badan Anggaran DPR (Republika.co.id, 19/11/2019). Dengan tujuan agar subsidi listrik lebih terarah dan tepat sasaran (Tempo.com, 11/09/2019).
Meski begitu, Direktur Pengadaan Strategis II PLN Djoko Rahardjo Abumanan menampik bahwa subsidi listrik tahun depan akan tidak tepat sasaran. Mengingat sebagian pelanggan dengan daya 450 VA yang tegolong rumah tangga mampu masih akan mendapat subsidi (Bisnis.com, 04/09/2019).
Menyikapi hal ini, sejumlah pengamat akhirnya angkat suara. Bhima Yudhistira selaku Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan, pemerintah sebaiknya mengkaji kembali rencana pencabutan subsidi ini. Sebab kelak keputusan ini akan berpengaruh terhadap melemahnya daya beli masyarakat, dan akan mengerus semakin dalam pertumbuhan ekonomi (Republika.co.id, 19/11/2019).
Begitu pula dengan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. “Pemerintah jangan terlalu mudah menstigmatisasi bahwa mereka adalah golongan mampu tanpa deskripsi dan verifikasi data yang transparan, akuntabel bahkan kredibel,” ungkapnya.
Perlu ada kejelasan apakah karena pendapatan mereka mengalami peningkatan? Tulus pun menyarankan, jika pemerintah ingin mengurangi tingginya subsidi energi maka lebih baik memangkas subsidi gas elpiji 3 kilogram (kg). Sebab menurutnya pemanfaatan gas elpiji 3 kg banyak yang salah sasaran, dibanding subsidi listrik (Republika.co.id, 19/11/2019).
Tersandera Neoliberalisme
Insiden pencabutan subsidi harus disadari bahwa ini tidak semata untuk menghemat daya penggunaan energi. Serta merampingkan biaya anggaran untuk kebutuhan energi dalam negeri. Sebab tidak dapat dipungkiri, jika pencabutan ini erat kaitannya dengan kondisi APBN yang kian berdarah-darah sebagaimana ungkapan Deviyan Cori dalam serial diskusi Apa kabar Indonesia Pagi edisi 05 Sepetember 2019 lalu. Deviyan mengakui pula bahwa kebijakan yang hari ini muncul, adalah buah dari liberalisasi di sektor ekonomi yang telah lama diterapkan oleh bangsa ini.
Ya, tak perlu malu untuk mengakui, pemberian subsidi sejatinya bertentangan dengan prinsip fundamental dari sistem ekonomi kapitalisme yang berhaluan neoliberalisme. Sistem ini menolak campur tangan pemerintah terhadap jalannya roda perekonomian. Adanya subsidi adalah indikator bahwa pemerintah masih mencampuri jalannya mekanisme pasar.
Adalah konsep laizes faire yang digagas oleh Adam Smith menjadi prinsip dari sistem ekonomi ini. Laize faire bermakna, “Biarkan semuanya berjalan sendiri tanpa campur tangan pemerintah dalam perekonomian.”
Walhasil peran negara dalam pengaturan, pengelolaan serta pemenuhan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik) akan dibatasi. Negara hanya akan hadir sebagai regulator atau fasilitator semata bagi para pelaku pasar (kapitalis). Berperan sebagai pembuka dan penunjuk jalan bagi para korporat yang ingin mengembangkan bisnis korporasinya.
Akibatnya, aset-aset strategis yang dimiliki bangsa pada akhirnya akan menjadi milik segelintir orang atau korporasi, baik swasta maupun asing. Maka tak ayal, bila sekelas minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, tembaga, serta bahan tambang dan mineral lainnya akan menjadi milik sekelompok orang. Dan hanya mereka pula yang dapat, serta sanggup menikmati hasilnya dengan sebenar-benarnya. Bila sewaktu-waktu negara membutuhkan, pemerintah harus menggelontorkan rupiah dahulu kepada para pemilik usaha tersebut.
Fenomena swastanisasi inilah yang akhirnya menciptakan jurang ketimpangan yang dalam di tengah kehidupan rakyat. Karena barang yang masuk dalam kategori ‘inelastis sempurna’ seperti bahan pokok, energi, kesehatan dan lain-lain dikuasai oleh pihak asing atau swasta harganya menjadi mahal. Walhasil tidak semua rakyat mampu membeli untuk memilikinya. Terkecuali mereka yang hidup dengan taraf ekonomi menjanjikan. Maka nampaklah di tengah kehidupan jurang yang jauh antara dia yang mampu dan si dia yang tak mampu.
Begitu pula dengan kondisi emas hitam yang hari ini bertindak sebagai bahan baku pembangkit listrik di negeri ini. Sebagaimana dilansir dari kompasiana.com edisi 20/04/2019, 75 persen pasokan batu bara Indonesia dikuasai oleh pihak swasta. Perusahaan Listrik Negara (PLN) dalam memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, harus membeli dari pengusaha swasta sebagai bahan baku dalam pembangkit listrik di tanah air.
Beberapa bulan lalu sebagaimana yang dilansir dari kontan.co.id, edisi 10/09/2019. PLN sempat bersiteru soal acuan harga Domestic Market Obligation (DMO) batu bara yang kabarnya akan berakhir tahun 2019 ini. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) meminta pemerintah mempertimbangkan harga jual batu bara ke PLN (Bisnis.com, 05/05/2019). Begitu pula PLN sangat mengharapkan bantuan pemerintah agar memperpanjang pemberlakuan harga DMO emas hitam tersebut (cncbindonesia.com, 29/08/2019).
Sayangnya ini bertenangan dengan Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto yang justru mengusulkan agar kebijakan DMO batubara untuk kebutuhan dalam negeri dihapuskan saja. (cncbindonesia.com, 29/08/2019). Padahal PLN sangat mengharapkan adanya perpanjangan.
Dari pola di atas, sangat tergambar dengan jelas, bahwa PLN sekalipun berposis sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah berdiri sejak tahun 1945, tak berdaya ketika harus berhadapan dengan keputusan pasar yang sejak awal telah dikendalikan oleh para cukong kapitalis.
Padahal sekali lagi, PLN ingin memasok kebutuhan energi dalam rangkah memenuhi kebutuhan kelistrikan segenap rakyat Indonesia. Ditambah lagi, batu bara sebagaimana yang diamanatkan dalam konstitusi tepatnya dalam butir pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD 1945 adalah milik negara, dan diperuntukan bagi segenap rakyat Indonesia.
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” (Ayat 29); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat” (Ayat 3). Lantas mengapa kini menjadi korporasi yang paling berhak atasnya?
Solusi Hakiki
Inilah buah dari penerapan sistem ekonomi berhaluan neoliberalisme. Walhasil jadilah bangsa ini semakin tidak berdaulat. Dengan mudahnya ditundukan oleh kebijakan pasar sedang ia adalah pemilik sah dari emas hitam yang diperjualbelikan.
Kondisi ini akan jauh berbeda tatkala Islam diambil sebagai pandangan dalam mengelola jalannya perekonomian. Dalam sistem ekonomi Islam, aset-aset strategis bangsa seperti air, barang tambang (migas, batu bara, emas, dan perak serta bahan mineral lainnya) masuk dalam harta milik umum.
Negara diamanatkan untuk mengatur jalannya pengelolaan dengan sebaik-baik pengaturan. Semua kebijakan ekonomi yang berkaitan dengan penerimaan dari berbagai sumber daya tersebut berikut pengeluarannya untuk memenuhi kemaslahatan rakyat diperankan secara terpusat oleh lembaga negara bernama Baitul mal.
Melalui pengaturan Baitul mal inilah pengalokasian ataupun pendistribusian dari hasil tata kelola aset-aset penting negara teralokasi dengan baik dan tepat sasaran. Pemerintah boleh mematok harga selama itu tidak memberatkan rakyat, serta tidak terkesan menzolimi rakyat dalam mendapatkannya.
Sebab harus dipahami bahwa penguasa adalah pelayan atas rakyatnya. Amanah kepengurusannya dalam meriayah rakyatnya kelak akan dipersaksikannya di hadapan Allah Swt. Lagi pula telah Nabi Saw ingatkan, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api.” Api dalam hadis ini mencakup keberadaan segalah sumber energi yang ada di bumi baik itu batu bara, minyak bumi, gas alam dan lain-lain.
Selain itu pula, dalam Islam negara tidak boleh berlepas-tangan dari upaya periayahan rakyatnya. Mengingat pemimpin di dalam Islam digambarkan laksana perisai yang berfungsi melindungi segenap rakyatnya dari berbagai ancaman kerusakan.
Ketidakberdayan bangsa ini dalam melakukan pengaturan serta pemenuhan hajat hidup segenap rakyatnya akan terus terjadi sepanjang bangsa ini masih mengadopsi prinsip tata kelola ekonominya berhaluan neoliberalisme. Prinsip fundamental dari sistem ekonomi ini ialah pembatasan peran negara, memprivatisasi aset-aset strategis negeri dan lain sebagainaya. Maka selama paham ini masih bercokol, secara perlahan aset-aset bangsa akan kehilangan wibawanya, dan dengan mudah dikendalikan oleh keputusan pasar. Wallahu’alam