Nisa Agustina
(Santri PIRT Khodimus Sunnah)
Menjelang akhir tahun 2019, kasus stunting masih menjadi PR besar bagi pemerintah Indonesia saat ini. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, angka prevalensi balita stunting di Indonesia mencapai 30,8%. Artinya, 1 dari 3 balita (1/3 balita) mengalami stunting/kerdil. Data Kementerian Kesehatan mencatat 7,3 juta anak di Indonesia mengalami stunting, dengan 19,3% atau 4,6 juta anak pendek, dan 11,5% atau 2,6 juta anak sangat pendek.
Seiring menguatnya desakan banyak pihak agar pemerintah serius menurunkan angka stunting, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko didukung Mentri Pertanian akan meluncurkan gerakan nasional pelihara 1 ayam tiap rumah untuk mencegah stunting. Menurutnya, kebutuhan ayam nasional akan terpenuhi jika usulan itu terealisasi (cnnindonesia.com, 15/11/2019).
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam waktu lama. Yaitu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, dan buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani.
Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan otak yang tidak maksimal. Akibatnya kemampuan mental dan belajar berkurang, turunnya tingkat kecerdasan, dan buruknya prestasi akademik. Dengan kata lain, stunting menyebabkan rendahnya kualitas sumber daya manusia. Dampaknya menimbulkan resiko penurunan kemampuan produktif suatu bangsa.
Meski pemerintah berupaya menurunkan angka stunting dengan berbagai program yang ada, seperti program intervensi stunting gizi spesifik yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan program intervensi stunting gizi sensitif untuk masyarakat secara umum, namun penurunannya belum mencapai target. Tahun 2017, angka prevalansi stunting berada pada kisaran 29.6%. Tahun 2016 berkisar 27.5%, 2015 berkisar 29%, dan 2014 berkisar 28.9% Meski pada tahun 2016 prevalensi stunting bisa dibawah 28%, namun di tahun berikutnya malah mengalami kenaikan menjadi 29.6%. Tahun 2018 prevalensinya meningkat di angka 30.8 %. (katadata.co.id, 16/08/19).
Penyebabnya karena masalah stunting ini selain kompleks juga sistemik, sehingga semua solusi yang digencarkan pemerintah tidak akan menyelesaikan masalah ini secara tuntas. Karena solusi tersebut dilaksanakan di bawah sistem kapitalis yang justru menjadi akar segala permasalahan.
Tak dapat dipungkiri bahwa di era kapitalis sekuler ini, sulit bagi masyarakat untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidupnya. Harga bahan pokok yang semakin membumbung tinggi, berdampak pada sulitnya masyarakat memperoleh bahan makanan yang sesuai dengan syarat dan memenuhi standar gizi keluarga. Oleh karena itu, tak sedikit kasus gizi buruk diakibatkan karena kurangnya daya beli masyarakat akan makanan yang bergizi. Kurangnya tingkat kesejahteraan masyarakat berperan dalam terjadinya kasus stunting ini.
Di samping itu, beban ekonomi yang semakin hari semakin menghimpit, memaksa wanita terjun ke dunia kerja untuk ikut menambah penghasilan keluarga. Peran wanita sebagai ibu, pengelola rumah tangga dan madrasatul ula bagi anak-anaknya, kadang terabaikan karena peran tambahan ini. Apalagi dengan dalih emansipasi yang diserukan para feminis, menyebabkan wanita sibuk mengejar karir dan mengabaikan hak anak. Tak jarang, pengasuhan anak terbengkalai, pasokan gizi anak pun kadang luput dari perhatian.
Oleh karenanya, selain ikut serta mengatasi kasus stunting dan gizi buruk, diperlukan solusi mendasar dan sistematik. Sepatutnya Negara tidak sekedar membuat gerakan nasional yang bertumpu pada keaktifan anggota masyarakat untuk menjalaninya. Namun negara dituntut membuat kebijakan menyeluruh menghapus kemiskinan dengan pengelolaan sumber daya alam yang benar, memaksimalkan pemberian layanan kebutuhan masyarakat secara gratis dan berkualitas. Mengandalkan pengentasan gizi buruk hanya dengan gerakan nasional menjadi bukti makin lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap pemenuhan kemaslahatan masyarakat.
Bukan hal yang aneh sebenarnya ketika negara menyerahkan urusan masyarakat justru kepada individu ketika sistem yang dipakai adalah sistem kapitalisme. Kapitalisme menempatkan pemerintah sebagai fasilatator saja terhadap segala permasalahan yang ada di masyarakat. Berbeda dengan islam, di mana negara memiliki kewajiban untuk bisa menjamin kebutuhan pokok masyarakat, individu per individu.
Pengukuran kesejahteraan masyarakat tidak bisa dilihat dari rata-rata pendapatan per kapita. Kesejahteraan masyarakat terjadi ketika kebutuhan pokok yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan terpenuhi bagi seluruh masyarakat dan itu semua harus dijamin oleh negara.
Pemimpin dalam Islam harus benar-benar memastikan masing-masing individu dalam masyarakat mendapatkan kebutuhan pokok tersebut. Inilah prioritas utama yang diperhatikan negara, selain juga menjamin setiap kepala keluarga bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Dalam Islam, pemimpin adalah penanggung jawab urusan dan kemaslahatan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas hal itu di hadapan Allah swt. Nabi saw. bersabda : “Seorang iman (pemimpin) pengatur dan pemelihara urusan rakyatnya; dia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dengan demikian hanya sistem Islam lah yang mampu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada rakyat, salah satu diantaranya memberikan asupan gizi yang cukup bagi rakyatnya sebagai kebutuhan pokok yang harus terpenuhi. Karena itu semua merupakan tanggung jawab negara.
Oleh karena itu, jika kita ingin menyelamatkan generasi dari bahaya gizi buruk dan mendapatkan keberkahan hidup maka solusi yang sangat rasional adalah campakkan sistem kapitalisme dan terapkan islam secara menyeluruh dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah, karena hanya dengan Khilafahlah Islam bisa diterapkan secara sempurna.
Allah swt. berfirman, “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (TQS. Al A’raf : 96).
Wallahu a’lam bish showab