Oleh: Ratna Mufidah, SE
Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf kembali membuat kontroversi di hadapan publik dengan mengangkat staf khusus yang berjumlah 21 orang bagi presiden dan wakilnya. 13 orang untuk Presiden dan sisanya untuk Wapres. Diantara jumlah itu, presiden Jokowi telah memperkenalkan tujuh orang dari kalangan milenial. Mereka mendapat tugas untuk memberi gagasan serta mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang.
Banyaknya jumlah staf khusus tersebut, koran Tempo mengritisi hal itu membuat birokrasi semakin tambun. Karena staf khusus tersebut terpisah dengan Kantor Staf Kepresidenan-lembaga bentukan Jokowi pada 2015. Sehingga makin padatlah orang-orang disekitar presiden jika semuanya diakumulasikan. Kondisi demikian tentu berkebalikan dengan apa yang digadang-gadang presiden untuk efisiensi dan perampingan birokrasi.
Berdasarkan beleid yang diterbitkan Jokowi pada 2015 itu, gaji staf khusus presiden sebesar Rp 51 juta setiap bulan sampai akhir masa jabaran presiden pada 2024. Hak keuangan dan fasilitas setara pejabat eselon 1. Sejumlah pihak menilai gaji tersebut terlalu besar bagi staf khusus Jokowi yang relatif berusia muda dan tak bekerja penuh waktu.
Tajuk koran Tempo mengatakan bahwa apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan penunjuk para staf berusia 40 tahun tersebut sebagai etalase politik untuk menunjukkan bahwa Jokowi merupakan presiden milenial alias pencitraan semata.
Sedangkan pakar hukum tata negara Refly Harun memberikan analisa penunjukan staf khusus membuat runyam manajemen pemerintahan untuk ring 1, karena koordinasi antara presiden dan wakil presiden akan lebih runyam. Dalam sistem presidensil, presiden dan wakil presiden adalah satu jiwa.
Apa yang diutarakan Refly di atas, tentu sangat beralasan. Kerja Presiden sebagai kepala negara secara umum sudah dibantu dengan wakil beserta para menteri yang menangani berbagai bidang sesuai kebutuhan presiden. Dalam hal ini, Presiden Jokowi mempunyai 34 menteri. Bahkan pada periode ini, ditambahkan pula posisi wakil menteri sebanyak 11 orang.
Berbagai komentar publik pun menggelinding bak bola salju, seolah-olah posisi wakil menteri diadakan untuk mengakomodir pihak-pihak yang berjasa saat kampanye tetapi belum mendapat jatah “kue kekuasaan”.
Hal itu tentu tak berlebihan, koran Tempo misalnya, menilai perihal pengangkatan stafsus milenial selain sebagai politik pencitraan juga bersinggungan dengan politik balas jasa. Jika dilihat lebih detail, maka sosok-sosok staf khusus Jokowi adalah para pendukung terdepan Jokowi dalam pemilihan presiden lalu.
Sebut saja salah satu tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf, Aminudin Ma’ruf; Putri Indahsari Tanjung yang merupakan putri dari Chaerul Tanjung; Anggit Nugroho, sahabat lama Jokowi; Diaz Hendropriyono, Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia; Arief Budimanta, politikus PDI-P, ekonom Megawati Institute, Dini Shanti Purwono, kader PSI, ahli hukum lulusan Harvard serta mantan aktivis Fadjroel Rachman, yang pada periode lalu diberi jabatan sebagai Komisaris Utama PT Adhi Karya.
Gambaran di atas seolah makin mengokohkan sifat pemerintahan saat ini kearah oligarkis. Menurut Wikipedia, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga atau militer.
Bila semua orang saat ini begitu mendewakan sistem demokrasi, maka oligarki justru bertentangan dengan demokrasi secara teori. Dengan jargonnya dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat, demokrasi menghendaki rakyatlah yang berkuasa demi kesejahteraan mereka. Nyatanya, yang berkuasa hanyalah segelintir elit pemilik modal.
Saat demokrasi menjadi cita-cita pada faktanya praktik di lapangan berbeda. Kenyataan demikian makin menjadi bukti bahwa sistem demokrasi hanyalah teori kuno yang praktik riilnya fantasi belaka.
Berbeda dengan sistem Islam, meski ajarannya telah turun 1400 tahun yang lalu, namun karena berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah SWT, maka apa yang diturunkannya adalah benar dan mengandung maslahat bagi manusia.
Rasul sebagai tauladan manusia sekaligus tauladan pemimpin negara, yang kekuasaan Islam setelah beliau diteruskan oleh para shahabat dan para khalifah, telah menggariskan bentuk struktur pemerintahan yang khas. Kekuasaan Islam sangat luas pada masa itu, pada masa keemasannya yaitu dinasty Turki Usmani, mampu menguasai 2/3 dunia, dan tidak satu kalipun para khalifah menerapkan sistem demokrasi maupun oligarki.
Jika Islam sebagai dien yang sempurna mempunyai sistem pemerintahan tersendiri yang berbeda dengan yang ada saat ini, bagaimanakah modelnya? Untuk mengetahuinya, tentu harus menggali berbagai nash serta sirah mengenai model kepemimpinan Nabi, khulafaur rasyidin dan para khalifah setelahnya.
Para ulama terdahulu seperti Ibnu Taimiyah menulis as-Siyasah al-Syar’iyyah tentang sistem pemerintahan yang sesuai dengan syariat Islam dan Imam Al Mawardi menulis kitab Ahkam Suthoniyah yaitu sistem pemerintahan Islam, menjadi salah satu bukti bahwa Islam mempunyai bentuk struktur pemerintahan yang baku, lain dari struktur pemerintahan kontemporer saat ini.
Pada abad ini, kitab mengenai sistem pemerintahan Islam, telah dirumuskan secara lebih visioner oleh seorang ulama sekaligus mujtahid lulusan Al Azhar, Teqiyuddin An Nabhani yaitu Nidzomul Hukmi Fil Islam (Sistem Pemerintahan Dalam Islam) yang selainjutnya diperbaharui oleh penerusnya Syaikh Abdul Qadim Zallum berupa kitab Ajhizah Daulah Khilafah.
Sebuah pedoman sistem pemerintahan Islam yang mampu diaplikasikan dalam dunia modern saat ini, namun tetap syar’I atau sesuai dengan dalil nash. Struktur tersebut meliputi, kepala negara yang disebut khalifah yang dibantu oleh pembantu umum dan pembantu administrasi, wali, dan seterusnya.