Oleh : Nuryati Ummu Ahmad
(Aktivis Dakwah dan Pemerhati Masyarakat)
Wacana sertifikat pernikahan saat ini menjadi topik yang hangat diperbincangkan setelah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengatakan bahwa, calon pengantin tidak boleh menikah jika belum memiliki sertifikat layak kawin. "Ya sebelum lulus mengikuti pembekalan enggak boleh nikah," imbuhnya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis, 14 November 2019.
Pelatihan pranikah diharapkan berdampak menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting dan meningkatkan kesehatan keluarga. Hal ini akan melibatkan beberapa mentri terkait. Begitupun Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'I menilai bahwa wacana mewajibkan sertifikasi perkawinan merupakan upaya negara dalam membangun keluarga yang kokoh, berkesetaraan, dan berkeadilan. Sehingga, pasangan yang sudah menikah diharapkan mampu membangun keluarga sejahtera. Tidak berhenti di situ, Imam melanjutkan bahwa sertifikasi perkawinan menjadi penting karena saat ini terjadi perang narasi ketahanan keluarga.
Ada kelompok yang memaknai bahwa ketahanan keluarga dengan kembalinya perempuan ke ruang domestik, ketaatan penuh pada suami, dan kepemimpinan laki-laki.
Sementara konsep perkawinan yang ditawarkan Kemenag adalah perkawinan yang berdiri di atas prinsip keadilan, kesalingan, kesetaraan. "Hanya melalui yang kedua ini ketahaan keluarga yang menjadi bangunan ketahanan negara bisa dicapai," katanya.
Pertama, jika sertifikat pernikahan ini diharapkan untuk menekan tingkat perceraian, maka tentu ini hanyalah sebuah solusi yang salah kaprah. Mengapa demikian? Sangat jelas bahwa yang menjadi landasan dalam pelatihan pranikah tersebut adalah keadilan, kesalingan, kesetaraan. Sementara kita memahami betul bahwa sejatinya hal tersebut itulah yang sebenarnya menjadi sebab utama tingkat perceraian.
Kedua, jika sertifikat ini diharapkan mengatasi angka stunting dan meningkatkan kesehatan keluarga, lagi-lagi ini hanyalah solusi yang salah kaprah karena pelatihan dalam sertifaksi yang diwacanakan ini tidak lain hanya akan merenggut hak-hak anak yang tentu hanya semakin meningkatkan anak-anak stunting dan tidak sehat karena hal ini menjadikan keluarga kehilangan peran ibu sebagai ummu warobbatul bait ( ibu dan pengurus rumah tangga) dan juga sekolah pertama bagi mereka, karena kita tahu bahwa kesetaraan yang disebut-sebut sebagai landasan pelatihan sertifikasi tersebut tentu menjadikan banyak ibu-ibu yang meninggalkan perannya dalam mengurus anak-anaknya sendiri karena merasa perannya sama dengan laki-laki.
Kita perlu memahami bahwa apa yang dibutuhkan Di era kapitalistik ini untuk ketahanan keluarga tak cukup menyiapkan individu saja dengan tambahan pengetahuan dan ketrampilan tapi membutuhkan daya dukung. Negara dan sistemnya yang terintegrasi untuk menanamkan takwa kolektif, iklim ekonomi yang kondusif bagi pencari nafkah keluarga dan jaminan kesehatan berkualitas dan gratis serta peran media yang steril dari nilai liberal.
Tags
Opini