Oleh : Heni Kusmawati, S.Pd (Member Akademi Menulis Kreatif Bima)
Pro dan kontra terkait adanya sertifikasi nikah bagi calon pengantin semakin hangat diperbincangkan. Menurut Muhadjir Effendi selaku Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, bagi calon pengantin yang ingin menikah, terlebih dahulu mengikuti program pelatihan pra nikah, calon pengantin akan dibekali dengan ilmu terkait keluarga sejahtera, ekonomi hingga kesehatan reproduksi. Untuk mendapatkan sertifikat nikah, maka calon pengantin harus lulus dalam pelatihan tersebut, sementara yang belum lulus, tidak bisa melanjutkan ke jenjang pernikahan (TribunNews.com, 15/11/2019).
Komisaris Komnas Perempuan yakni Imam Nakha'i menyetujui wacana pemerintah mewajibkan sertifikasi nikah, karena program tersebut dibuat oleh negara dalam rangka mewujudkan ketahanan keluarga yang kokoh, dan berkesetaraan dan berkeadilan.
Benarkah demikian? Bukannya ketika program sertifikasi nikah diberlakukan, berarti pemerintah telah menghalalkan perzinahan. Seperti yang disampaikan oleh wakil komisi VIII Marwan Dasopang, jika sertifikasi nikah benar-benar direalisasikan, maka hal itu akan menyebabkan terjadinya perzinahan. Bagaimana tidak, program tersebut akan diikuti oleh peserta selama kurang lebih 3 bulan dan wajib diikuti karena itu menjadi salah satu syarat dalam pernikahan. Padahal, pernikahan adalah ibadah yang harus disegerakan.
Adanya wacana sertifikasi nikah tidak benar-benar bisa menyelesaikan masalah yang terjadi di lingkungan keluarga. Kita tentu mengetahui penyebab terjadinya KDRT dan perceraian bukan karena tidak ada sertifikat nikah. Salah satu penyebabnya adalah faktor ekonomi. Tidak akan terjadi KDRT dan perceraian jika negara menyiapkan lapangan kerja bagi kepala keluarga, istri tidak akan meninggalkan kewajibannya sebagai pengurus rumah tangga karena seluruh kebutuhannya dipenuhi oleh kepala keluarga. Perempuan juga tidak akan menuntut setara dengan laki-laki.
Selain karena faktor ekonomi, minimnya ilmu terkait pernikahan juga menjadi penyebab terjadinya masalah tersebut. Dan penyebab utamanya adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme liberal, dimana kebebasan diagungkan. Pemegang kekuasaan bebas berbuat sesuai keinginannya tanpa ada rasa bersalah karena melalaikan tanggung jawab kepada rakyat yang dipimpinnya. Seolah-olah dengan adanya sertifikasi nikah, masalah ketahanan keluarga bisa diatasi. Padahal di era kapitalistik seperti ini, untuk mewujudkan keluarga yang sejahtera dan harmonis tidak cukup hanya dibekali ilmu dan keterampilan, tetapi ada faktor lain yang bisa mewujudkan hal itu yakni diterapkannya aturan Islam yang bersumber dari Allah Swt.
Dalam Islam, pernikahan merupakan ibadah yang harus disegerakan agar tidak terjadi perzinahan. Allah Swt berfirman :
"Dan nikahilah orang - orang yang sendirian diantara kamu ,dan orang - orang yang layak (berkawin) dari hamba -hamba sahayamu yang laki - laki dan hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Swt Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui ( TQS. AN- Nur : 32).
Rasulullah bersabda :
''Wahai para pemuda, jika salah seorang dari kalian mampu menikah, maka lakukanlah, sebab menikah itu baik bagi mata kalian dan melindungi yang paling pribadi (farj).'' (HR Bukhari dan Muslim).
Pernikahan bukanlah perkara yang dijalani sehari dua hari, seminggu dua minggu atau beberapa bulan tetapi perkara sakral yang berlangsung sampai kakek nenek atau sampai maut menjemput. Untuk itu, tidak cukup mempelajarinya hanya dalam hitungan 3 bulan pelatihan tetapi waktu yang cukup lama untuk menyiapkannya. Karena setelah menikah, pasangan suami istri akan mengarungi kehidupan rumah tangga, seorang suami akan menjadi kepala keluarga yang akan memenuhi seluruh kebutuhan istri beserta anak-anaknya, begitu juga dengan istri akan mengurus rumah tangga, mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang shalih-shalihah serta menjaga kehormatannya dikala suami keluar rumah. Oleh karenanya, dalam Islam, ketika ada pasangan yang ingin menikah berarti mereka sudah siap baik lahir maupun batin.
Seorang pemimpin bertanggung jawab terhadap seluruh kebutuhan rakyatnya termasuk urusan pernikahan. Dahulu, saat masa kejayaan Islam tepatnya pada kekhalifahan Utsmaniyah, terdapat UU pernikahan, dimana usia pernikahan mulai 18-25 tahun. Jika pada usia 25 tahun belum menikah, maka akan dipaksa menikah. Dipaksanya menikah demi mencegah terjadinya hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt (perzinahan). Tidak hanya itu, bagi yang ingin menikah, tetapi tidak memiliki biaya, maka negara akan membantunya.
Hubungan pemimpin dengan rakyat seperti bapak dengan anak-anaknya, mengurusi segala kebutuhannya tanpa memandang untung dan rugi, mempersulit atau sampai menimbulkan bahaya bagi rakyatnya. Negara juga akan membekali rakyatnya dengan ilmu yang mumpuni melalui lembaga pendidikan sehingga tercipta rumah tangga yang diberkahi dan diridhoi Allah Swt.
Wallahua'lam.