Oleh: Mila Ummu Tsabita
(Pegiat Dakwah Lit-Taghyir)
Menikah itu seharusnya dipermudah, bukan dibuat ribet. Karena Rasulullah Saw. justru memotivasi anak muda yang sudah mampu untuk segera menikah. Dalam sebuah hadits dikatakan: “Wahai generasi muda! Bila diantaramu sudah mampu menikah hendaklah ia nikah, karena mata akan lebih terjaga, kemaluan akan lebih terpelihara.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud).
Jadi tek heran tetiba publik bertanya-tanya terkait rencana dari Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) yang akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan pada 2020 nanti. Infonya, sertifikasi itu akan menjadi salah satu syarat bagi para pasangan yang akan menikah, dengan cara mengikuti bimbingan pranikah. Bahasannya seputar keluarga samara, ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi.
Apa maksud “baik” dari wacana tersebut? Deputi VI Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kemenko PMK Ghafur Darmaputra mengatakan bahwa semua untuk mempersiapkan warga Indonesia menjadi sumber daya manusia (SDM) yang unggul ke depannya. Dengan mengikuti pelatihan pranikah diharapkan berdampak menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting dan meningkatkan kesehatan keluarga. "Intinya untuk mempersiapkan manusia Indonesia seutuhnya. Bebas dari stunting, cacat dan seterusnya," katanya. (kompas.com).
Benarkah dengan adanya sertifikasi ketika akan menikah menjamin semua problem di atas tak terjadi? Atau malah hanya meribetkan –sebagaimana publik banyak khawatirkan- dan mendorong munculnya problem baru? Entahlah.
Masalah Keluarga Kekinian
Problem yang sering ditunjuk menimpa keluarga saat ini dan kuantitas semakin naik setiap tahunnya tidak lain adalah perceraian. Tercatat pada tahun 2018 saja sudah terjadi 419.268 kasus alias hampir setengah juta perceraian. (detik.com). Itu baru dari pasangan muslim, belum jika ditambah kasus dari keluarga non muslim. Tentu bisa dibayangkan betapa banyaknya. Penyebab pun beragam, namun yang cukup dominan adalah finansial alias ekonomi. Setelah itu perselingkuhan, masalah anak dsb.
Bagaimana dengan stunting alias tubuh pendek karena gizi buruk? Di Indonesia, masalah ini memang tengah hits. Kita pernah menempati peringkat 5 penderita stunting di dunia. Sekarang datanya masih di 27,67 persen (data Kemenkes 2019). Jadi hampir semua daerah kabupaten atau kota berusaha terus menekan angka ini. Dengan Germas misalnya. Germas alias gerakan masyarakat hidup sehat telah menjadi program pemerintah, melalui Inpres No 1 tahun 2017. Dengan fokus program pada tiga hal, yakni melakukan aktifitas fisik 30 menit perhari, mengonsumsi buah dan sayur, dan memeriksa kesehatan secara rutin.
Namun harus lebih disadari bahwa kurang gizi pun banyak dipasok oleh problem ekonomi. Lihat saja data kemiskinan di negri ini, tentu cukup menggambarkan daya beli masyarakat yang masih tergolong lemah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan angka kemiskinan di Indonesia per Juli 2017 meningkat 6.500 orang, dan menjadikan 10,69% rakyat Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Walaupun katanya menurun pada Maret 2019 yaitu tinggal 1 digit alias 9,14 persen (sekitar 25,14 juta jiwa).
Itu yang di bawah garis, kalau yang hampir terjun bebas ke garis kemiskinan justru jauh lebih banyak. Kebayang kan, masyarakat didorong hidup sehat, berolahraga teratur dan makan sayur mayur yang bergizi, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan primer pangan, sandang dan papan saja rumit. Maka tidak salah, jika kesehatan, dan pemenuhan gizi yang baik bukan prioritas dalam hidup. Bisa jadi hal itu dianggap sebagai sebuah kemewahan.
Belum lagi taraf berpikir masyarakat yang mempengaruhi life style sehat juga digiring oleh tingkat edukasi mereka. Tahu sendiri kan, bagaimana kualitas pendidikan di sini? Seberapa banyak penduduk yang mampu mengakses pendidikan yang berkualitas ? Sekali lagi ini bukan sekedar karena keluarga itu belum cakap dalam mengarungi rumah tangganya. Namun lebih dari itu. Persoalan yang tak berdiri sendiri, sangat kompleks. Mencakup ekonomi, pendidikan, sosial dan tentu saja butuh peran negara full power.
Apalagi bukankah selama ini sudah ada bimbingan pra nikah yang dilaksanakan KUA (kantor urusan agama)? Mungkin belum dianggap cukup. Perlu ada sertifikat juga. Pertanyaan lanjutannya, apakah caten (calon penganten) selalu berusaha untuk ikut? Faktanya, tidak. Kadang sifatnya hanya formalitas (pengalaman soalnya...he). Nah untuk program ini entah bagaimana mekanismenya? Kalau misalnya ada di kalangan caten yang ingin instan dan mengambil jalan-jalan yang ilegal agar dapat sertifikat, tentu target “mulia” pemerintah bisa tak terwujud. Rumah tangga yang berkualitas seolah cuma mimpi.
Problem Gaul Kekinian dan Pro Kontra Sertifikasi
Saat ini, marak pergaulan bebas yang dipengaruhi gaya hidup liberal dari Barat. Bahkan ada prinsip “kalau mau makan sate ayam, ngapain pelihara ayam, beli aja di warung.” Tak perlu rumit. Begitu pun untuk urusan di bawah perut (syahwat). Tak sedikit kalangan, tak mau repot menikah dengan segala persiapan dan biaya yang mahal. Kalau cuma untuk mendapat “nikmat sesaat” plus tanggung jawab yang berat. Lebih enak hidup bersama tanpa ikatan (kumpul kebo) atau gaya gaul bebas yang lain. Duh serem pokoknya.
Lalu apa yang dilakukan untuk mencegahnya? Konsep pendidikan seks ala Barat yang selama ini diajarkan kepada para pemuda, dengan pacaran sehat, menunda usia nikah, safe seks, pengenalan kontrasepsi dsb justru bukan membuat anak muda menghindarinya. Malah bikin penasaran untuk mencoba. Ditambah negara tak memfilter budaya luar yang hedonis, liberal dan materialistik yang masuk via media yang tersedia. Bahkan hanya dengan menggerakkan ujung jari di telepon pintar mereka. Sungguh fenomena ini sangat menyakitkan dan memprihatinkan.
Dengan kondisi negara yang abai, ternyata masyarakat juga sama tak pedulinya. Sehingga problem yang menimpa generasi muda makin akut. Lalu muncul rencana sertifikasi untuk para caten, mengapa pemerintah begitu repot dengan urusan menikah? Sementara persoalan zina dan gaul bebas tak menjadi perhatian utama rezim? Juga soal tontonan tak layak, prostitusi, hingga eksploitasi dan perdagangan anak. Tak salah kalau ada yang bilang “yang halal dibuat susah, yang haram malah mudah”
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily khawatir bahwa aturan tersebut bisa mempersulit masyarakat yang hendak menikah.
"Tentang kesiapan seseorang untuk menikah dari segi psikologis, usia dan kesehatan reproduksi tentu harus kita dukung agar jangan sampai ada pernikahan anak yang dilarang menurut ketentuan undang-undang," kata Ace.
Namun sertifikasi pernikahan ini juga jangan sampai memberatkan masyarakat untuk melaksanakan pernikahan, terutama dari segi biaya dan jangan sampai prosedurnya berbelit-belit. (sindonews.com).
Komisioner Komisi Informasi DKI Jakarta, Mohammad Dawam pun ikut berkomentar. "Sebagai ibadah termasuk nikah. Negara cukup melegalitaskan dan mengadministrasikan hal-hal yang dipandang perlu," ujarnya kepada SINDOnews.
Sertifikasi pra nikah tidak menjamin baiknya kualitas personal-personal yang akan menikah. Nanti jika sudah mendapat sertifikat, terus biduk rumah tangga jelek, siapa yang mau disalahkan. "Negara apa mau disalahkan sebab ia yang telah memberi rekomendasi seseorang untuk menikah," tandasnya. Pasti tak mau lah...
Jadi Dawam menyarankan negara harusnya cukup menfasilitasi kebutuhan dasar pernikahan. Pemerintah cukup mengurus pernikahan disesuaikan kebutuhan personal masing-masing dan pencatatannya (buku nikah) gratis. "Bimbingan pra nikah bukan satu-satunya dengan sertifikasi. Sebab pernikahan itu bukan profesi dan atau pekerjaan. Oleh karenanya tidak dibutuhkan sertifikasi yang dikeluarkan pemerintah," tegasnya.
Pegiat dan pemerhati perempuan, Tunggal Pawestri menilai sebetulnya ide untuk membuat pelatihan pranikah merupakan langkah yang penting. “Aku setuju, karena penting sekali, terutama jika materi-materi yang diberikan bicara soal kesehatan reproduksi, KB [keluarga berencana], kemudian banyak hal-hal yang terkait dengan pembagian tugas yang adil antara laki-laki dan perempuan, pengelolaan keuangan,” jelas Tunggal.
Namun, dia tak menyepakati jika pelatihan pranikah tersebut menjadi salah satu syarat wajib untuk melangsungkan suatu pernikahan. Pasalnya, hal tersebut justru dapat mempersulit sejumlah orang yang sulit untuk mengakses pelatihannya.
Harapan para pegiat gender akan ada materi dengan perspektif gender dan mempertimbangkan kesetaraan di dalamnya. Pasalnya, dalam nasihat perkawinan yang sudah berjalan di KUA, terdapat pemberian materi yang sudah baik. Namun, ada juga yang masih merugikan posisi perempuan dalam suatu pernikahan. “Nah, di beberapa tempat ada yang bagus, tapi ada juga yang punya pengalaman buruk dengan penasihatnya, seperti seksis, terus perempuan tidak boleh menolak hubungan seks,” ujar Tunggal. “Jadi saya curiga bahwa pembagian peran tradisional, perempuan di domestik, laki-laki yang memimpin, masih diajekkan. Nah, ini sebetulnya seharusnya tidak ada lagi, apalagi kita sudah sepakat masalah keadilan gender, pemerintah juga sepakat,” tegasnya. (tirto.id).
Padahal banyak fakta membuktikan, relasi gender seperti disarankan pegiat isu perempuan banyak menyumbang persoalan di rumah tangga. Kemandirian ekonomi perempuan, soal nafkah batin dan pembagian peran domestik, kerap menjadi sumber konflik. Bahkan tak hanya berakhir cerai, bisa saja malah berujung maut.
Sekali lagi, setiap kebijakan harusnya dipikirkan matang. Negara mempertimbangkan berbagai hal, termasuk soal ketahanan keluarga -di era teknologi digital -yang sangat rapuh. Namun persoalannya tak berdiri sendiri, semata karena tak cakap dan tak punya ilmu soal berumah tangga. Karena di sistem kapitalistik yang materialistik, keluarga banyak dipengaruhi oleh life style western (Barat) yang individualis. Materi (kekayaan, jabatan dsb) menjadi orientasi bahkan dianggap sumber kebahagiaan. Maka tak heran gonjang-ganjing rumah tangga banyak dipengaruhi soal persfektif hidup pasangan tersebut. Juga banyaknya beban yang harus ditanggung oleh masyarakat, seperti ekonomi yang lemah, dan pendidikan generasi yang dipertanyakan output nya.
Maka ketahanan keluarga tak cukup disiapkan oleh individu dengan berbagai ilmu dan pelatuhan untuk menambah ketrampilan. Tapi membutuhkan daya dukung Negara yang terintegrasi agar para caten (atau yang sudah matang usia) bisa bersegera menggenapkan “separuh dien” ini. Lalu negara pun berperan besar agar seluruh hak dan kewajiban para suami, istri dan keturunannya bisa terpenuhi optimal.
Negara harus menanamkan takwa kolektif, iklim ekonomi yang kondusif agar mampu mencukupi nafkah keluarga. Termasuk jaminan kesehatan berkualitas dan gratis, serta peran media yang terkontrol dari menyuguhkan life style rusak.
Karena menikah adalah ibadah. Maka mudahkanlah, kalau perlu fasilitasi lah. Negara pun wajib mebentengi dari segala kemungkinan yang merusaknya. Termasuk terhadap sistem yang melingkupi umat manusia saat ini, yakni sistem Sekuler kapitalistik. Segera install sistem alternatif, yaitu Islam.
Dengan penerapan sistem Islam, negara memiliki tanggung jawab besar. Negara bertanggung jawab penuh dalam memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap keluarga. Negara akan memberi lapangan kerja bagi para ayah agar mampu menafkahi dan memenuhi kebutuhan keluarganya. Sehingga bisa memenuhi asupan gizi bagi anak-anak.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS al-Baqarah: 233).
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Hendaknya dia memberi (nafkah untuk) makanan bagi istrinya sebagaimana yang dimakannya, memberi (nafkah untuk) pakaian baginya sebagaimana yang dipakainya, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya kecuali di dalam rumah (saja)” (HR Abu Daud).
Tentu saja maksud pemberian nafkah di sini adalah yang mencukupi dan sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan tidak kurang.
Sedangkan untuk kebutuhan kesehatan dan pendidikan, Negara harus berperan menyokong dengan pendanaan bagi infrastruktur dan kualitas pelayanan terbaik. Karena ini mempengaruhi kualitas generasi penerus alias SDM yang unggul di masa depan. Juga perlu adanya aturan pergaulan Islam, sehingga menikah menjadi satu-satunya solusi naluri seksual yang bergejolak. Maka pernikahan yang terjadi adalah hanya untuk mencari ridho Allah, bukan prestise apalagi sekedar melepas status jomblo. Dan semua tak bisa diwujudkan kecuali jika syariat Islam diterapkan secara kaffah, bukan sekedar memaksakan sertifikasi nikah. Sepakat ? []