Reuni Ukhuwah 212




Oleh: Mila Ummu Tsabita
(Pegiat dakwah)

Meski betapa sering digembosi dan diopinikan “tak baik”, ternyata agenda umat Islam reuni 212 tetap punya magnet tersendiri.  Berseliweran di linimassa undangan menghadirinya tahun ini, 2 Desember 2019.  Sudah begitu bergelora semangat para perindu persatuan umat untuk datang.  Menyaksikan betapa luar biasanya ukhuwah Islamiyah di negri zamrud khatulistiwa.

Sempat beredar opini miring  sebagai upaya penggagalan.  Seperti yang disampaikan Ketua Panitia Reuni Akbar Mujahid 212 Awit Mashuri di Dewan Dakwah Islam Indonesia, Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2019).  Awit menyebut salah satu upaya membatalkan acara reuni itu adalah pemasangan spanduk provokatif hingga meminta Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut izin acara. Panitia sangat menyesalkan hal itu. (detik.com).

Padahal panitia menegaskan Reuni 212 bertujuan merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa. Jadi dia meminta semua pihak tidak membuat opini negatif untuk menghalangi acara yang akan digelar di Monas itu.  "Sejak awal kami meyakini tidak ada persoalan menggelar acara ini karena tujuan kegiatan ini adalah dalam rangka merekatkan kembali persatuan dan kesatuan bangsa pada umumnya serta ukhuwah islamiyah pada khususnya," kata Awit.

"Acara ini terbuka untuk anak bangsa semua kalangan, sehingga tidak alasan untuk menghalangi apalagi bertindak berlebihan melakukan aksi menggalang opini dan kekuatan publik untuk menggagalkan acara ini," paparnya.


Ukhuwah Di Tengah Islamophobia

Dengan persiapan yang matang dan telah mengantongi izin dari kepolisian dan Pemprov DKI Jakarta, panitia pun meprediksi reuni akan dihadiri sekitar satu juta orang.  Ketua Presidium Alumni 212, Slamet Maarif pun memastikan ini acara bakal dihadiri tokoh dari berbagai negara. Mereka kemungkinan sudah berada di Indonesia sehari sebelum aksi.

"Tamu-tamu luar negeri hari minggu sudah ada di hotel-hotel di sekitar Monas dan akan mulai Salat Tahajjud bersama. Nanti yang terdaftar oleh kami akan disiapkan tempat di sekitar panggung," katanya. (okezone.com)

Seolah menggambarkan betapa perhelatan akbar di negara muslim terbesar ini, telah lama menjadi perhatian dunia, khususnya yang muslim.  Betapa banyak yang merindukan persatuan seluruh umat Islam yang terserak di berbagai nation, di seluruh dunia.

Tak pelak ketika aroma islamophobia terus menyeruak di ruang publik, kaum muslimin semakin terdorong untuk membuktikan Islam sebagai dien yang mulia.  Bukan agama yang mengisnpirasi aksi radikal dan teror, seperti  yang mereka dituduhkan.  Islam sebagai dien yang berasal dari Allah Swt, Penguasa alam semesta, harusnya mampu tegak dan memberi solusi atas berbagai persoalan di dalam negri bahkan dunia.   Karena Islam diturunkan untuk semua umat manusia, melalui pembawa risalah-Nya, Rasulullah Muhammad Saw.

Firman Allah Swt:  “Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).” (TQS. al-Anbiya :107).

Sungguh frase “rahmatan lil ’alamin “ pada ayat ini menggambarkan sifat agama Islam yang ramah dan penuh kasih sayang, mengayomi dan melindungi seluruh alam, baik manusia maupun makhluk lainnya.  Namun tak tepat jika ayat ini menjadi legitimasi bagi terbukanya Islam untuk mengakui kebenaran agama-agama yang lain, alias legitimasi bagi pluralisme.  

Ibnu Abbas ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, “Bahwa Allah mengutus Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh alam baik itu yang beriman ataupun mereka yang kafir. Kepada mereka yang beriman, Allah berikan hidayah, dan bagi golongan kafir, Allah tunda azab bagi mereka sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.” (Jami’u al-Bayan fi Ta’wili al-Qur’an, 18/552). Imam al-Qurtubi dan Ibnu Katsir juga mengiyakan pendapat tersebut. (al-Jami’ li Ahkami Al-Qur’an, 11/350 dan Tafsir Al-Qur’an al-‘Adzim, 5/85).

Hamka dalam Tafsir Al Azhar juz 17 menafsirkan ayat ini dengan mengambil apa yang ditulis Sayyid Quthub: “ Sistem ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw. adalah sistem yang membawa bahagia bagi manusia seluruhnya, dan memimpinnya kepada kesempurnaan yang telah dijangkakan baginya dalam hidup ini.”

Poinnya,  kerahmatan bagi alam semesta terwujud dengan menegakkan apa yang diemban oleh Rasulullah saw., yakni akidah dan syariat Islam dalam kehidupan.

Sebagaimana janji Allah Swt  :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al-A’râf [7]: 96).

Dan sungguh kerahmatan ini akan menjadi kemashlahatan (kebaikan) umat seluruhnya, muslim ataupun nonmuslim.  Bukan dengan toleransi kebablasan dan menyingkirkan Islam politik dari kehidupan.   Bukan dengan menerapkan Kapitalis Demokrasi Liberal yang justru merusak umat manusia, seperti saat ini.  Malah ketika ekonomi amburadul, moral anak bangsa bobrok, negara terlilit utang menggunung, justru yang digencarkan adalah deradikalisme. 

Deradikalisme, sebuah proyek pesanan imprealis Barat(dan juga Timur) -yang terpapar islamophobia- untuk mencegah kembalinya Islam mengatur kehidupan sebagaimana belasan abad yang lampau, sejak negara Islam Madinah hingga Turki Ustmaniyah (1924 M).   Bocoran Wikileaks (yang dimuat di harian Australia The Age,17/12/2010) mengkonfirmasi bagaimana hubungan AS dan sekutunya dengan pemerintah Indonesia dalam isu terorisme. (radikalisme) . (mediaumat.com, 10/2019).


Islam Politik dan Persatuan Umat

Dien Islam mampu menjadi rahmatan lil ‘alamin karena memiliki hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Islam bukan sekadar agama ritual, namun Islam juga mengatur politik, ekonomi, sosial budaya, uqubat (sistem sanksi), dan pemerintahan.

Posisi negara (sistem Islam) merupakan pemegang pengaturan dan pelayan urusan umat. Negara bukan semata fasilitator dan organisator.  Sehingga dengan otoritasnya akan mampu menciptakan kemaslahatan umat dan menjauhkan mereka dari segala bentuk mafsadah (kerusakan).  Karena penguasa atau kepala negara (khalifah)  adalah mas’ul (Penanggung Jawab).  Nabi Saw bersabda: 

“Al-Imam adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.”  (HR al-Bukhari).

Sedikit gambaran bagaimana kemashlahatan publik diurusi oleh sistem Islam.  Dalam ekonomi Islam, diklasifikasikan antara kepemilikan umum, kepemilikan negara dan kepemilikan individu. Sarana umum, hutan, pertambangan, dan semua yang menjadi hajat hidup orang banyak dijadikan sebagai milik umum. Negara mengelola dan mengembalikan hasilnya untuk kesejahteraan umat.  Jadi negara memiliki sumber pendapatan yang cukup untuk menjamin kemaslahatan umat, baik kebutuhan hidup, pendidikan, kesehatan maupun keamanan. Negara tidak perlu menarik pajak yang mencekik rakyat, dan tidak perlu  juga menggalang dana jaminan sosial.

Dalam sistem sosial, negara mengatur interaksi laki-laki dan perempuan dan menjauhkan bentuk-bentuk interaksi yang menimbulkan fitnah dan memunculkan syahwat di antara mereka.   Sehingga tak akan menimbulkan kerusakan akhlak dan moral, sebagaimana ketika sistem liberal diterapkan saat ini.

Dalam sistem sanksi, negara menerapkan hukum-hukum persaksian, pembuktian dan sanksi yang menimbulkan efek jera. Sebagian adalah hukum-hukum yang Allah telah menetapkannya (hudud dan jinayah), dan sebagian lagi Allah berikan hak kepada hakim untuk memutuskan sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan Islam (takzir).

Islam menetapkan khalifah (imam) sebagai pemimpin umat yang bertanggung jawab atas semua urusan tersebut. Islam menetapkan serangkaian hukum tentang pengangkatannya, tugas dan tanggungjawabnya serta mekanisme koreksi dan pengawasannya. Begitu juga Islam mengatur peradilan, pembuatan aturan perundang-undangan, dan struktur pemerintahan.

Sungguh sebuah pengaturan yang menyeluruh, sehingga akan terwujud kesejahteraan umat di dunia untuk muslim dan nonmuslim. Namun pengaturan secara menyeluruh ini hanya dapat dilakukan oleh sistem Islam (khilafah).  Tak mungkin dengan sistem selain Islam, walaupun dalam beberapa aspek syariah diterapkan (parsial).

Di bagian ini penting disadari, bagaimana bisa menegakkannya dan mewujudkan rahmatan lil ’alamin, jika umat tak sepakat pentingnya sistem Islam?  Jika umat Islam masih sangat terpengaruh dengan stigma dan jualan narasi radikalisme.   Umat masih ditakut-takuti ketika mereka mulai menjadikan Islam sebagai way of life.  Bahkan mereka dicegah untuk –sekedar- kumpul dan mendatangi undangan yang justru menguatkan ukhuwah.

Padahal kita butuh duduk bersama, untuk berpikir jernih mencari solusi persoalan bangsa (dengan solusi Islam) dan mencari titik-titik kesamaan, serta tidak disibukkan oleh ikhtilaf (perbedaan pendapat) antar kelompok / harokah. Memang Islam tidak melarang kaum muslimin berjamaah atau berkelompok tapi untuk menjadi “wasilah” atau alat agar dia bisa mencapai tujuan-tujuan mulia yang sesuai Islam.  

Allah telah memerintahkan Kaum muslimin berkelompok dalam firman-Nya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada Al-khair (Islam), menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali Imran : 104).

Maka sudah seharusnya, setiap kelompok menyadari apa yang mendorong mereka berjalan bersama mestilah demi dan semata-mata untuk memuliakan agama-Nya, dan memuliakan saudaranya juga menjadi kewajiban dari Syara’ yang tak boleh dilupakan.  

Meskipun begitu banyak khilafiyah di kalangan kaum muslimin, jangan sampai membuat dia mengklaim kebenaran hanya milik mereka. Berhati-hatilah dengan tipu daya syaitan yang begitu “halus” melalui sikap sombong dan jumawa di hadapan saudara seimannya.

 “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.” [TQS. Al-Baqarah : 208].

Sungguh semua keterpecahan di tengah umat, baik sekedar kelompok -bahkan sekat negara yang banyak di seluruh dunia- tak lain karena Islam tak diterapkan secara kaffah. Sehingga para kafir –imprealis dan anteknya- bisa mengusik persatuan umat.  Sekedar reuni saja mereka persoalkan, kadang.

Jadi, tak ada cara lain, umat harus segera disadarkan pentingnya bersatu karena Allah.  Bukan sekedar kumpul-kumpul.  Tapi berkumpul dan berkelompok harusnya untuk mencapai tujuan yang besar yaitu melanjutkan kembali kehidupan Islam dengan Syariah kaffah.  Agar manusia bisa mengatur seluruh urusan kehidupannya, bahkan akan menjadi rahmat bagi seluruh alam, tak hanya untuk muslim.  Mungkin reuni 212 adalah langkah awal untuk semakin merekatkan elemen umat, bahkan nonmuslim agar  tak phobia terhadap Islam.  Lebih jauh lagi, tentu tak ada manusia yang tak ingin mendapatkan kebahagiaan yang sejati yaitu ketika rahmat (Islam) melingkupi seluruh alam. Maka memperjuangkan Islam politik adalah keniscayaan. Insha Allah[]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak