(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar Penulis Ideologis)
Hari Ibu yang selalu diperingati setiap tanggal 22 Desember, menjadi hari yang selalu menghadirkan kisah dan kasih perjuangan seorang ibu, perempuan yang menjadi tonggak lahirnya generasi masa depan. Selain menjadi momen istimewa bagi Ibu untuk mendapatkan kado dari orang-orang tersayang dan ucapan selamat Hari Ibu. Pada momen ini juga ada hal menarik yang berkaitan dengan peran ibu, di mana peran ibu tak hanya bercerita tentang ‘masak memasak, cuci mencuci, maupun asuh mengasuh putra putri mereka’, ibu juga menjadi motor ekonomi keluarga hingga penggerak kemajuan ekonomi negara. Inilah yang menjadi program yang telah berjalan beberapa tahun terakhir ini, hingga tahun 2018 peran ibu yang notebene adalah kaum perempuan masih menjadi magnet bagi negeri ini untuk memberi solusi masalah kesejahteraan yang semakin hari semakin jauh dirasakan.
Hal ini tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi kaum perempuan yang mereka adalah Ibu yang darinya diharapkan lahir generasi berkwalitas untuk masa depan bangsa dan masa depan yang abadi yakni akhirat. Pasalnya, kemajuan ekonomi melalui pemberdayaan perempuan tidak sebanding dengan problem yang menimpa kaum perempuan dan generasi mereka. Sepanjang tahun 2017 saja, kasus perempuan dan anak masih menjadi masalah serius bangsa ini. Menurut Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KoWaNi) Dr. Giwo Rubianto Wiyogo, masalah serius tersebut berupa trafiking, KDRT, eksploitasi ekonomi, infiltrasi radikalisme perempuan dan anak, mereka menjadi kelompok rentan yang memerlukan perlindungan optimal. Untuk kasus perceraian saja,di Indonesia masih tergolong tinggi, tercatat 315 ribu pemohon cerai yang diterima Pengadilan Agama di Tanah Air, lebih dari 224 ribu perempuan yang menceraikan swaminya selama tahun 2016, dan sebanyak 152 ribu gugatan di antaranya dikabulkan oleh Pengadilan Agama (Data Mahkamah Agung 2016). Selain itu, masalah serius yang menimpa kaum perempuan di negeri ini adalah problem kejahatan seksual yang semakin tinggi di tahun 2018 ini. Belum lagi masalah generasi yang terpapar narkotika, yang kemudian mendorong mereka melakukan kejahatan seksual dan tindakan kriminal lainnya.
Pornografi/pornoaksi dan menjamurnya LGBT anak yang menjerat generasi Indonesia juga menjadi masalah serius yang tidak bisa dilepaskan dari peran Ibu.
Inilah masalah sesungguhnya yang harus menjadi perhatian serius negeri ini. Sebab masalah ini tidak muncul tanpa sebab dan juga butuh jalan keluar yang tepat agar tak menjadi bom waktu yang akan menghancurkan masa depan negeri ini.
Pada dasarnya, masalah yang dihadapi kaum ibu dan perempuan pada umumnya tidak bisa dipisahkan dari lemahnya 3 pilar penopang kesejahteraan dan kemuliaan kaum perempuan. Pilar pertama adalah keluarga, di mana dalam institusi kecil inilah perempuan memiliki hak untuk dinafkahi dan dipenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak hanya itu, keluarga adalah institusi pertama yang menjaga kemuliaan perempuan. Saat ini, keluarga Indonesia khususnya keluarga muslim yang menjadi mayoritas di negeri ini telah terjadi kerusakan relasi suami istri dari sisi hak dan kewajiban keduanya. Sebab hak dan kewajiban yang telah jelas diatur dalam syari’at Islam mulai digugat kebenarannya, atas nama kesetaraan gender, para perempuan malah menuntut untuk bisa seperti laki-laki dalam hal kewajiban mencari nafkah. Sedangkan para laki-laki ditumpulkan tanggungjawab mereka untuk mampu menafkahi keluarga sebab lapangan pekerjaan bagi laki-laki lebih kecil dibanding perempuan.
Pilar kedua yaitu masyarakat, saat ini masyarakat lebih memilih diam dengan kondisi yang ada, tak perduli dengan anggota masyarakat yang hidup bersamanya sebab yang mereka hadapi juga sama, yaitu bagaimana keluarga sendiri bisa tetap kuat menghadapi masalah ekonomi yang ada. Akhirnya menjadikan mereka cenderung cuek terhadap keadaan yang terjadi di tengah-tengah mereka. Sungguh ironi bukan? Padahal ketika ada kesolidan di antara keluarga-keluarga muslim dalam masyarakat untuk sali
ng perduli dan kritis dengan kondisi kerusakan moral generasi dan juga masalah-masalah yang menimpa kaum perempuan di lingkungannya. Terakhir adalah pilar ketiga yang lemah dalam memberi pelayanan dan jaminan kesejahteraan terhadap kaum perempuan dan lemah dalam menjaga kehormatan serta kemuliaan kaum perempuan yaitu negara. Ya, negara adalah pilar ketiga yang harusnya menjadi pilar paling kuat ditengah krisis kesejahteraan dan menjadi benteng paling kokoh dalam melindungi perempuan dari berbagai kejahatan seksual, saat ini lemah “tanggungjawabnya”. Hal ini jelas membutuhkan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik, bagaimana mengganti pilar-pilar yang lemah tersebut dengan pilar-pilar yang kuat kokoh agar mampu ” bertanggungjawab” sesuai tupoksinya.
Jika ketiga pilar ini ditegakkan, maka bukan mimpi kaum perempuan dan generasi mereka akan sejahtera tanpa ada salah satu atau bahkan keduanya yang menjadi korban hanya untuk sebuah kesejahteraan.
Wallhu a’lam bi ash showab