Oleh: Dian Puspita Sari
Aktivis Muslimah dan Ibu Rumah Tangga
Menjelang akhir tahun 2019, sudah selayaknya kita menjadikan malam pergantian tahun ini momen untuk melakukan muhasabah, sebagai refleksi selama satu tahun kebelakang.
Sepanjang tahun 2019, kita dipertontonkan banyak kondisi miris dan memprihatinkan, yang telah menyebabkan anak bangsa besar ini terpecah belah akibat pilpres 2019. Perpecahan ini semakin parah pasca pelantikan presiden 2019. Kawan dan saudara bahkan pasangan suami istri (pasutri) bisa putus hubungan akibat perbedaan opini politis seputar pilpres.
Pasca pilpres 2019 memang telah terjadi rekonsiliasi. Namun, rekonsiliasi itu hanya sebatas rekonsiliasi para elit dan bersifat pragmatis. Bukan rekonsiliasi hakiki yang diharapkan dan dirasakan oleh umat (rakyat).
Rekonsiliasi tersebut hanya mampu membagi porsi jabatan diantara sesama pendukung dan "penjilat" pemenang kekuasaan. Menghilangkan porsi bagi pihak yang kritis dan berseberangan dengan pihak penguasa.
Para kritikus yang sejatinya peduli kondisi bangsa ini dipersekusi dan di intimidasi. Kritik membangun dan dakwah (amar ma'ruf nahi munkar) mereka samakan dengan "hate speech", ujaran kebencian. Ada di antara mereka yang di cap radikal bahkan dibui.
Pasca pelantikan presiden, Presiden terpilih tak bersikap adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Presiden lebih sibuk merealisasikan janji-janjinya untuk bagi-bagi jatah kue kekuasaan semacam menteri, wakil menteri dan watimpres bahkan stafsus di antara para pendukung dan kroninya, daripada merealisasikan janji-janji untuk rakyat semasa kampanyenya.
Tak berhenti sampai di sini. Para pemenang kekuasaan juga membagi porsi direksi BUMN, direktur dan komisaris. Ahok sang penista agama, kebagian jatah menjadi komisaris utama Pertamina bahkan bisa merangkap jabatan lainnya.
Bagaimana janji presiden terhadap rakyat, bahkan para pengangguran yang dijanjikannya gaji 7 juta/bulan? Sama sekali tak terlintas dalam fikirannya. Jangankan janji semasa kampanye pilpres 2019, 66 janji politiknya semasa kampanye pilpres 2014 hingga kini pun tak juga dipenuhinya.
Sebaliknya, kado manis untuk rakyat pasca pelantikan presiden 2019 adalah kenaikan tarif pajak, tarif tol, TDL, dan akan menyusul kenaikan harga-harga kebutuhan pokok lainnya.
Adapun utang, tak diragukan lagi, semakin membengkak. Lagi-lagi rakyat dipaksa ikut berkontribusi membayar utang dengan semua "kado manis" tersebut di atas. Jika kado manis dirasa kurang, dana haji dan zakat umat pun tak luput dari incaran mereka. Betapa zalimnya kebijakan pemimpin negeri ini terhadap rakyat.
BUMN kolaps, utang menumpuk triliunan rupiah. Yang terparah, Jiwasraya yang kolaps. Gagal bayar kewajiban pada 13 triliun, akumulasi kerugian hingga 23 triliun. Jiwasraya diduga kuat telah menjadi sapi perah untuk sumber dana kampanye pilpres 2019. Siapa yang melakukan? Jelas, pihak yang memiliki otoritas kekuasaan.
Dalam bidang hukum, Presiden Jokowi bersama DPR 'menyembelih KPK'. Terbitnya UU No. 19 tahun 2019, menjadi penanda babak akhir sejarah pemberantasan korupsi oleh KPK. Presiden, juga enggan menerbitkan Perppu untuk menganulir UU KPK perubahan ini.
Artinya, baik Presiden maupun DPR memiliki pandangan sama untuk melemahkan dan membunuh KPK. Pencangkokan organ Dewas, pemberian wewenang SP3, status pegawai KPK, hingga penunjukan komisioner baru di KPK adalah konfirmasi betapa rezim Jokowi telah benar-benar 'menyembelih KPK'.
Kriminalisasi terhadap para ulama, aktivis Islam, ajaran Islam, hingga simbol agama Islam semakin marak. HRS hingga hari ini tak diperkenankan pulang ke negerinya sendiri. Jokowi menerapkan politik 'isolasi' terhadap HRS. Secara subtansi, HRS 'diasingkan' oleh Jokowi agar tidak ikut mempengaruhi politik dalam negeri.
Banyak di antara para aktivis dan ustadz ditangkapi hanya karena mengambil sikap kritis terhadap rezim. Menolak untuk 'nyebong' di kolam Jokowi. Sementara, para ulama yang 'nyebong' seperti Ma'ruf Amien, TGB, dan Yusuf Mansur, kasusnya dipetisikan.
Para penista agama seperti Bu Sukma, Muwafiq, Ade Armando, Victor Laiskodat, Abu Janda, Cornelis, masih melenggang bebas. Mereka semua kebal hukum, polisi tak berani menyentuh para penista agama. Hukum tumpul ke atas tajam ke bawah.
Ajaran Islam, khilafah dan jihad, dihapus dari mata pelajaran di madrasah. Bendera tauhid dituding bendera terlarang. Sehingga, di berbagai daerah banyak tindakan polisi lebai. Mereka menghalangi umat Islam untuk membuat, memiliki, membawa, dan mengibarkan bendera tauhid dengan rasa bangga dan percaya diri.
Apapun yang akan terjadi pada tahun 2020 adalah "follow up" (tindak lanjut) kezaliman rezim Pak Jokowi di tahun 2019. Umat ini tak bisa berharap banyak kepada rezim Pak Jokowi.
Namun, dibalik semua kezaliman itu, masih ada harapan umat kepada Dzat Sang Maha Segalanya. Kesadaran umat terhadap Islam dirasa semakin tinggi. Keinginan dan kerinduan mereka kepada syariat Islam kian membuncah. Fenomena 'hijrah' yang sangat fenomenal di berbagai lini kehidupan mulai marak.
Ada artis hijrah, pemuda hijrah, preman hijrah, hingga 'politik hijrah'. Yakni proses migrasi politik dari politik praktis sekuler yang pragmatis menuju politik ideologis. Politik yang menuntut perubahan total melalui penerapan syariat Islam secara kafah dalam naungan daulah khilafah.
Malam yang semakin pekat menunjukan fajar kian mendekat. Sang fajar peradaban Islam akan segera terbit. Mengusir gelap gulitanya peradaban kufur dalam sistem sekuler demokrasi. Insya Allah hari kemenangan itu akan segera tiba.
Allah Swt berfirman,
إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ . وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا . فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat" (TQS An-Nashr: 1-3)
Wallahu a'lam bishshawab.
Tags
Opini