Problem Pangan Nasional: Impor, Kartel dan Salah Kelola






Oleh: Heni Kusmawati, S.Pd.
Member Akademi Menulis Kreatif Bima

Masyarakat dibuat geram dengan pemerintah lantaran Bulog membuang beras di gudangnya karena sudah tidak layak dikonsumsi. Padahal di sejumlah wilayah Indonesia banyak warga negaranya yang kelaparan.

Dilansir oleh CnnIndonesia.com, perum Bulog akan membuang  beras 20 ribu ton dengan harga 160 miliar. Tri Wahyudi Saleh selaku Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog, menyampaikan bahwa pemusnahan beras Bulog dikarenakan tidak layak dikonsumsi sebab usia penyimpanannya sudah lebih dari satu tahun.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yakni beras yang usia penyimpanannya  lebih dari batas penyimpanan yakni 4 hingga 5 bulan atau tidak lagi berkualitas, maka beras tersebut harus dibuang atau dimusnahkan.

Penyebab menumpuknya beras adalah karena adanya impor yang dilakukan oleh mantan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Padahal Indonesia merupakan negara agraris, penduduknya kebanyakan bermata pencaharian dengan bertani. Jadi, tidak ada alasan untuk mengimpor beras. Menarik apa yang disampaikan oleh pengamat politik dan ekonomi, Ichsanuddin Noorsy, menilai kebijakan impor merupakan bentuk keegoisan penguasa dan bukti kegagalan pangan nasional (rmoljatim.com, 3/12/2019).

Ditambah lagi dengan pasar pangan Indonesia dikuasai kegiatan kartel atau monopoli. Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso (Buwas)  mengatakan produk-produk pangan Bulog hanya menguasai pasar 6 persen, selain itu, 94 persennya dikuasai oleh kartel.  

Kondisi ini terjadi karena negara berlepas tangan dan tidak  bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Rakyat dibiarkan kelaparan di tengah kekayaan negeri yang melimpah. Buktinya, beras yang seharusnya diberikan kepada rakyat justru ditumpuk di gudang, yang akhirnya dibuang karena tidak layak dikonsumsi.

Karakter pemimpin  seperti ini hanya lahir dari sistem  batil yang berasal dari akal manusia, sistem kapitalisme-sekulerisme. Karena tidak berlandaskan atas keimanan. Maka wajar jika penguasa saat ini hanya mementingkan keuntungan semata, karena negara berperan sebagai regulator dan pebisnis, bukan sebagai periayah rakyat.

Rakyat dibiarkan menjerit. Penguasa meriayah rakyat hanya pada saat menjelang pemilu. Rakyat diimingi sejumlah materi, sembako bahkan janji-janji manis demi meraih simpati dan suara rakyat. Namun, setelah pemilu berakhir rakyat tidak lagi diperhatikan, para pemilik modallah yang dilayani.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan. Tidak ada pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Pasar bebas menentukan harga dan cara produksi. Mekanisme pasar sesuai dengan syariat Islam. Harga ditentukan oleh pasar sesuai permintaan dan penawaran, saling ridha, tidak ada pihak yang merasa tertipu serta persaingan dalam pasar adalah persaingan yang sehat. Tidak akan ada penimbunan yang membahayakan penjual lain atau orang banyak.

Terkait mekanisme pasar , Rasulullah sebagai teladan kita telah memberikan contoh terbaiknya. Ketika Beliau diminta oleh rakyatnya untuk menetapkan harga di pasar karena harga-harga pada saat itu melambung tinggi, Beliau justru menolak permintaan tersebut. Hal ini dikarenakan hanya Allah Swt. yang berhak menentukan harga, menahan, melapangkan dan memberi rezeki. Beliau khawatir, kelak ketika bertemu Allah akan ada orang yang menuntut atas kesalahan yang Beliau lakukan. Ini menjadi bukti, bahwa Rasulullah tidak menetapkan harga tetapi beliau mengembalikan kepada mekanisme pasar.

Beginilah sistem Islam, sistem yang bersumber dari Allah Pencipta alam semesta. Sistem yang melahirkan pemimpin yang hanya takut kepada Allah Swt. Dalam Islam, setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt.
Rasulullah Saw bersabda :

"Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang kepala negara adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya...."(HR. Muslim).

Menjadi pemimpin adalah tanggung jawab besar. Pada masa kejayaan Islam, ketika seorang muslim amanah untuk menjadi pemimpin, maka hal ini tidak langsung diterima karena memikirkan pertanggungjawaban di hadapan Allah.

Khalifah Umar bin Khathab memikul sendiri sekarung gandum karena mendapati seorang ibu yang memasak batu demi menghibur anak-anaknya yang kelaparan. Beliau juga sampai meneteskan air mata karena mengabaikan tanggung jawabnya sebagai seorang kepala negara.

Sistem Islam yang diterapkan oleh negara khilafah akan benar-benar mengontrol seluruh kebutuhan rakyatnya termasuk mekanisme pendistribusiannya. Khalifah akan  memastikan tidak ada para penjual yang menumpuk dagangannya untuk dijual kembali dengan harga tinggi saat jumlah barangnya sedikit.

Begitulah sistem Islam mampu melahirkan pemimpin yang bertakwa kepada Allah Swt. Berbeda dengan sistem kapitalisme, yang mengutamakan kepentingan para pemilik modal dibandingkan rakyat.
Wallaahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak