Perayaan Tahun Baru, Waspada Syirik Membelenggu

 
ilustrasi : google



Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)

Menghitung hari
Detik demi detik
Masa ku nanti apa kan ada
Jelang cerita
Kisah yang panjang (
Melly Goeslaw_seniman)


Hanya berselang hari bilangan tahun akan berganti.  Selamat tinggal tahun 2019 dengan segala kenangan lalu.  Selamat datang 2020 yang baru.  

Seperti tahun sebelumnya perayaan umumnya disemarakkan   dengan berbagai macam permainan, gelaran konser musik, kembang api, meniup trompet hingga pesta mercon segala rupa.  

Di balik semua ingar bingar tersebut, tak banyak yang tahu ancaman syirik menanti.  Syirik alias menyekutukan Allah Sang Maha Pencipta dengan selain-Nya.  Benarkah?  Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang maka harus kenal baru boleh bilang.   Jangan sampai di dalam hajatan ganti tahun tersebut sejatinya syirik yang dapat mengantarkan pada kemurtadan.

Ihwal Pesta Tahun Baru Masehi

Belajar dari masa lalu, ritual pergantian tahun hakikatnya merupakan seremonial yang   dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus.  Seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan lainnya ke belakang. Mengandung filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. 

Melansir dari wikipedia, tertulis dengan jelas penetapan 1 Januari sebagai tahun baru  awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM).  Kemudian diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini selanjutnya diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen.
Bentuk perayaannya bermacam-macam, baik berupa ibadah seperti layanan ibadah di gereja  maupun aktivitas non-ibadah, seperti karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hoki es dan American football, menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time), dan lain-lain.  Sebagian besar   bentuk perayaan ini sudah sejak lama ditularkan ke seluruh dunia, termasuk negeri-negeri muslim. (www.en.wikipedia.org)

Jelaslah seluruh tradisi saat pergantian tahun tidak berasal  dari  Islam.  Lebih jauh dari itu  bertentangan dengan syariat, bahkan berisiko mengeluarkan umat dari akidah Islam. 

Lebay? Tidak juga.  Faktanya terdapat tiga hal        yang kerap dilakukan yaitu pesta kembang api, menyanyi, dan meniup trompet.   Disadari maupun tidak, ketiganya terkait langsung dengan  bentuk peribadatan selain Islam.  Majusi yang menyembah api dan  sejenisnya, Nasrani dengan ibadah nyanyiannya, serta Yahudi dengan ritual meniup trompetnya.

Khusus yang disebut terakhir, Rasulullah bahkan pernah menolak  menggunakan trompet ketika hendak memanggil kaum Muslimin untuk mendirikan Shalat berjamaah.    Alasannya  hal tersebut adalah kebiasaan orang-orang Yahudi. Seperti yang disitir dalam sebuah Hadits Rasulullah saw.,

“Membunyikan trompet adalah perilaku orang-orang Yahudi.” (HR Abu Dawud)

Siapa Lindungi Umat?
Berabad yang lalu, Rasulullah saw. telah berpesan,

 “Sungguh, kamu akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, hingga kalaulah mereka masuk liang biawak, niscaya kalian mengikuti mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Apesnya, sekularisme keburu mengakar di masa kini.  Peran dan fungsi agama disingkirkan dari kehidupan. Agama hanya berkelindan menjaga moralitas semata.

Padahal Islam berbeda dengan lainnya.  Syariat Islam tak sekedar seruan agar berbuat baik.  Melainkan mengatur  seluruh aspek kehidupan di level individu, masyarakat hingga negara.  

Maka individu yang berbuat suka-suka semata untuk bersenang-senang tak ada dalam kamus Islam.  Tak lain karena bagi muslim, akidah adalah harga mati.  Mutlak menjadi asas hidupnya dan sebagai konsekuensinya akan taat pada syariat. 

Firman Allah swt,,

”Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan ‘Kami mendengar dan kami patuh.’  Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS An Nuur : 51)

Demikian halnya masyarakat.  Islam melekatkan fungsi kontrol pada masyarakat harus lahir dari suasana keimanan dan ketakwaan.  
Rasulullah saw. bersabda,

“Orang muslim itu saudara bagi orang muslim lainnya. Dia tidak menzaliminya dan tidak pula membiarkannya dizalimi.” (HR. Bukhari dan Muslim) 

 Bagaimana dengan negara?  Dari ketiganya, peran negara mutlak adanya.  Islam menugaskan negara salah satunya untuk melindungi akidah individu dan masyarakat (muhafadzah ‘ala al aqidah). 

Karena agama merupakan dharuriyat yang paling besar dan terpenting. Untuk itu syariat  mewajibkan negara memberi sangsi pada  riddah (murtad) dan menutup segala celah yang berisiko mengarahkan umat untuk murtad. Termasuk perbuatan syirik di dalamnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

“Barang siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR Bukhari)

Hal ini disebabkan akidah merupakan fondasi diri. Jika akidah seseorang lemah dan rusak, maka rusaklah ia.
Sama halnya jika  akidah masyarakat rusak, bangunan masyarakat akan rusak. Oleh karena itu apabila seseorang seenaknya murtad (keluar dari Islam), dia telah menyebarkan virus  berbahaya di tengah masyarakat.  Yaitu virus memandang remeh persoalan akidah. Bila  dibiarkan niscaya dapat membahayakan masyarakat secara keseluruhan.

Dengan sendirinya wajar ketika Khalifah  Abu Bakar ra sebagai pemimpin negara saat itu memerangi Musailamah Al Kadzab yang mengaku sebagai nabi baru. Perkara ini adalah perkara akidah, sebab dalam Islam, tidak ada Rasul dan Nabi setelah Rasulullah Muhammad saw.   

Pada tahun 12 Hijriyah, Khalifah Abu Bakar pernah mengutus Al-‘Ilaa’ bin Al-Hadlramiy untuk memerangi orang-orang murtad yang ada di Bahrain.  Beliau juga mengutus Al-Muhajir bin Abi Umayyah untuk memerangi orang-orang murtad yang ada di Najiir.     (Al Hafidz Al Suyuthiy, Taariikh al-Khulafaa’)

Alhasil  khalifah dalam Islam memegang amanah sebagai perisai pelindung umat.  Seperti yang Rasulullah sabdakan,

“Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)

Hanya saja hadirnya khalifah mensyaratkan satu hal yaitu tegaknya syariah secara kaffah, totalitas tidak melaksanakan sebagian lalu meninggalkan yang lainnya.  Semoga momen tahun  baru mendatang justru semakin menggugah kesadaran umat untuk kembali pada syariah agar hidup menjadi berkah.  Wallaahu a’lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak