Oleh : Rasti Astria
Cina dihujani berbagai kritik dari masyarakat dunia atas perlakuan yang dianggap menindas sejumlah besar warga Uighur, kelompok minoritas Muslim negeri itu. Namun, beberapa suara yang sebenarnya signifikan yakni dari negara-negara Muslim malah nyaris tidak terdengar.
Warga Uighur telah kehabisan air mata. Derita yang begitu lama terus mendera. Alih-alih sirna, ancaman lebih besar menganga di hadapan mereka. Cina dirikan kamp-kamp raksasa bagi mereka. Bukan untuk mendidik, namun melepaskan identitas agama mereka sebagai Muslim.
PBB mendapatkan laporan bahwa hingga 1 juta warga etnis Uighur, Kazakh, dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut Cina sejak 2017.
Etnis minoritas berbahasa Turkic telah ditahan di kamp-kamp dimana mereka mendapat "pendidikan ulang" dan menjadi sasaran indoktrinasi politik, termasuk dipaksa belajar bahasa yang berbeda dan melepaskan keyakinan mereka.
Pemerintah Cina membantah tudingan kelompok-kelompok HAM itu. Pada saat yang sama, ada semakin banyak bukti pengawasan opresif terhadap orang-orang yang tinggal di Xinjiang.
Penelitian terbaru mengungkapkan ada 28 fasilitas penahanan yang digunakan dan telah diperluas lebih dari 2 juta meter persegi sejak awal tahun lalu.
Warga Uighur yang pernah merasakan "sekolah" itu menceritakan tentang penyiksaan fisik maupun psikologis yang mereka alami di kamp-kamp penahanan. Seluruh keluarga mereka lenyap, dan pengawasan ketat terhadap warga Muslim di Xinjiang.
Warga Uighur juga menceritakan bahwa kamp-kamp ini ditujukan bagi warga Uighur yang dianggap melakukan keagamaan (baca:Islam), ketidaksetujuan terhadap pemerintah Cina, dan memiliki keterkaitan dengan orang Uighur di luar negeri.
Saat itu isu Uighur mencuat usai sejumlah organisasi HAM Internasional merilis laporan yang menuding Cina menahan 1 juta warga Uighur di kamp penahanan layaknya kamp konsentrasi di Xinjiang.
Pukulan telak AS terhadap Cina adalah ketika meminjam tangan
Walt Streeet Journal yang membongkar kebiadaban Cina terhadap Muslim Uighur.
Mirisnya WSJ juga melaporkan atas langkah Cina menyuap sejumlah ormas Islam sebagai operasi pembungkaman opini atas kejahatan terhadap Muslim Uighur.
Beberapa kali pimpinan ormas menyebut kaum Muslim negara ini jangan mencampuri politik Cina. Mereka ikut-ikutan menuding Muslim Uighur sebagai teroris, pemberontak bahkan radikalis.
Mereka sibuk melakukan tour ke Cina dibiayai Cina demi memoles propaganda Uighur baik-baik saja.
Memang benar, dalam urusan ini umat Islam tidak memiliki posisi kokoh untuk menentukan kebijakan strategis tanpa kendali bangsa lain. Perlawanan umat Islam adalah kewajiban persaudaraan Islam untuk membela sesama seiman.
Tindakan diam terhadap Muslim Uighur tidak dibenarkan oleh agama apalagi menjadi pihak yang ikut memberi legitimasi kepada Cina untuk melakukan tindakan biadab kepada Muslim Uighur. Seperti yang dilakukan pemimpin-pemimpin Muslim yang hampir di seluruh dunia diam terhadap perlakuan Cina.
Hal ini disebabkan umat tidak memiliki junnah sehingga jauh dari gelar khairul ummah. Tidak adanya pelindung dan perisai Islam menyebabkan umat Islam terpecah belah, mudah disakiti dan dijajah. Pelindung dan perisai ini tidak lain adalah Khilafah. Hanya Khilafah yang mampu menyelamatkan Muslim Uighur dan muslim-muslim lainnya yang terjajah. Sebab Khilafah sebagai politik umat Islam yang mampu memobilisasi kekuatan umat Islam untuk melakukan jihad fiisabilillah. Ini solusi yang harus diperjuangkan umat Islam.
Sebagaimana Nabi Muhammad Saw bersabda :
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
"Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya." ( HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu dawud, dll)
Kedudukan Khilafah, dan apa yang diungkap dalam hadits ini pun tidak terbatas dalam peperangan semata. Khalifah menghalangi musuh dari mencelakai kaum Muslim, dan mencegah antar manusia untuk saling mencelakai, memelihara kemurnian ajaran Islam, dan manusia berlindung di belakangnya dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya.
Sebagai junnah yakni menjadi pemimpin dalam peperangan yang terdepan dari kaumnya untuk mengalahkan musuh dengan keberadaannya dan yang lebih tepat bahwa hadits ini mengandung konotasi dalam seluruh keadaan, karena seorang Khalifah menjadi pelindung bagi kaum muslimin dalam memenuhi kebutuhannya secara berkelanjutan.
Fungsi junnah dari Khalifah ini tampak ketika ada Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa' di Madinah, Nabi Saw melindunginya, menyatakan perang kepada mereka, dan mereka pun diusir dari Madinah. Selama 10 tahun 79 peperangan dilakukan Rasulullah Saw, demi menjadi junnah bagi Islam dan kaum Muslim.
Ini tidak hanya dilakukan oleh Nabi, tetapi juga para Khalifah setelahnya. Harun ar-Rasyid di era Khilafah Abbasiyyah telah menyumbat mulut jalang Nakfur, dan memaksanya berlutut kepada Khalifah. Al-Mu'tashim di era Khilafah Abbasiyyah memenuhi jeritan Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi, melumat Amuriah yang mengakibatkan 9000 tentara Romawi terbunuh, dan 9000 lainnya menjadi tawanan. Pun demikian dengan Sultan Abdul Hamid di era Khilafah Utsmaniyyah yang menolak upaya Yahudi untuk menguasai tanah Palestina. Semua ini adalah representasi dari fungsi junnah para Khalifah.