Oleh: Nur Hasanah
Hak Asasi Manusia atau disingkat HAM. Dalam berbagai buku, HAM digadang-gadang sebagai pelindung hak setiap manusia. Bahkan setiap orang yang merasa diperlakukan tidak adil, maka ia dapat menuntut haknya atas nama HAM. Para pembela HAM pun bermunculan, mulai dari perseorangan, aktivis akademisi, LSM hingga lembaga nasional maupun internasional. Orang-orang pun mulai menuntut apa yang mereka anggap sebagai haknya. Bahkan tak jarang diantaranya keluar dari nalar atau pun norma karena dalam HAM tidak ada batasan yang jelas mana yang diperbolehkan untuk diperjuangkan dan sampai mana memperjuangkannya. Sebagai contoh tuntutan tentang hak persamaan gender, hak pengakuan para LGBT, bahkan banyak lagi yang berada di luar nalar semisal ingin berhenti menjadi manusia dan menjalani kehidupan layaknya binatang dan lain-lain. Para aktivis HAM pun berusaha mati-matian untuk membela dan memperjuangkan para klieannya agar hak-haknya dapat diakui. Bahkan untuk beberapa kasus, dunia Internasional pun ikut turun tangan untuk menegakkan HAM.
Tapi ternyata faktanya tak seindah itu. HAM tidak untuk semua orang. Masih sangat jelas di ingatan, bagaimana sebuah etnis dari negara Myanmar mengalami tindak genosida. Ya, orang-orang muslim Rohingnya, dimana mereka terusir dari kampung halamannya. Diperlakukan sangat tidak adil di negaranya sendiri. Berbagai penyiksaan telah mereka alami. Lari ke negri tetangga pun ternyata bukan sebuah solusi. Berhari-hari terombang-ambing di lautan lepas tanpa sebuah kepastian. Sementara itu apa yang bisa dilakukan oleh para aktivis HAM? Diam seribu bahasa. Begitu pula dengan dunia Internasional. Hanya kecaman demi kecaman yang bisa dilontarkan, tapi hubungan diplomasi dengan negara bersangkutan tetap berlanjut. Tak jauh berbeda dengan kaum muslim Plestina. Konflik yang berusia puluhan tahun dengan bangsa Israel ini pun sepertinya juga tidak berhasil mengetuk pintu hati dunia Internasional untuk bergerak. Sejengkal demi sejengkal dari negeri nya telah diambil oleh Israel. Perang demi perang untuk mempertahankan wilayahnya ternyta belum mampu menggerakkan negara tetangga untuk ikut membantu. Anak-anak dan bayi pun tak luput dari serangan pasukan militer. Lagi dan lagi HAM hanya menjadi sebuh slogan. Lebih kejamnya lagi dunia Internasional pun mengakui tanah rampasan berlumur darah tersebut sebagai negara Israel. Kaum muslim Uighur di China juga mengalami nasib yang hampir serupa. Berbagai cara dilakukan oleh pemerintah China agar orang-orang muslim meninggalkan aqidah (keyakinan) nya. Mulai dari pemberlakuan sanksi, pemaksaan, hingga pendirian kamp khusus demi mencabut Islam dari para pemeluknya. Hal serupa juga di alami penduduk khasmir dan penduduk muslim lainnya di India. Diskriminasi menjadi hal yang lumrah. Bahkan belakangan ini, India telah mengesahkan salah satu undang-undang anti Islam yang menuai pro dan kontra. Ternyata di belahan negara lain pun banyak kaum muslim yang tidak mendapatkan hak-haknya bahkan mendapat perlakuan diskriminatif dan berujung pada kekerasan tapi seakan para pengusung HAM ini buta.
Dari berbagai kasus tersebut telah nampak bahwa HAM bukan diperuntukkan bagi kaum muslimin sehingga dapat ditarik kesimpulan HAM bukanlah sebuah solusi. Begitu pula dengan mengharapkan uluran tangan dunia Internasional. Hal ini terbukti dari solusi- solusi semu yang ditawarkan dunia Internasional pada negara-negara yang bersangkutan. Berbagai kecaman pun juga sama sekali tidak membuahkan hasil nyata.
Situasi yang terjadi di berbagai belahan negara di dunia saat ini sesuai dengan apa yang digambarkan oleh Rasulullah. “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian, seperti halnya orang-orang yang menyerbu makanan di atas piring.” Seseorang berkata, “Apakah karena sedikitnya kami waktu itu?” Beliau bersabda, “Bahkan kalian waktu itu banyak sekali, tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Allah mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn.” Seseorang bertanya, “Apakah wahn itu?” Beliau menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Ahmad, Al-Baihaqi, Abu Dawud). Jumlah kaum muslim yang begitu banyak tidak membuat orang-orang kafir gentar. Bahkan di negeri mayoritas muslim pun umat Islam tetap di cap sebagai radikal, anti toleransi dan lain-lain. HAM yang dijadikan alat untuk melindungi hak-hak manusia pun seakan tidak pernah ada untuk umat Islam. Dunia Internasional pun hanya memberikan harapan semu seakan hanya untuk meredam kemarahan umat agar tidak sampai memuncak, agar umat kembali dininabobokkan dengan solusi-solusi yang tidak berujung hingga mereka kembali disibukkan dengan urusan masing-masing. Sedangkan orang-orang yang tetap ingin memperjuangkan kemerdekaan saudara-saudaranya pun hanya bisa terdiam dengan batasan-batasan yang sengaja dibuat semisal terhalang oleh sekat nasionalisme negara dan lain-lain.
Memang benar, tanpa kekuatan politik Internasional umat Islam tak akan pernah bisa melawan. Hanya saja dunia Internasional saat ini tak dapat diharapkan dengan berbagai dalih. Umat terus menderita, diskriminasi terus terjadi. Maka dari itu umat butuh hadirnya sebuah intitusi politik untuk melindungi, menyatukan, dan meriayah (mengurusi) nya. Institusi tersebut tak lain adalah khilafah 'ala minhajin nubuwwah. Dibawah naungannya umat akan berjuang meraih kemerdekaan yang sebenarnya, melindungi serta menaungi umat muslim maupun non muslim di seluruh dunia. Sehingga Islam sebagai rahmatan lil 'alamin pun akan benar-benar terwujud. Dan tentunya hak-hak dasar manusia yang alami (sesuai dengan Syari'at Islam) akan dijamin pemenuhannya secara benar dan senantiasa terjaga dengan Syari'at Islam.
Wallahu a'lam bish-showab