Oleh: Afiyah Rosyad
Di akhir tahun 2019, publik dikagetkan dengan keluhan ormas terbesar di Indonesia. Dimana ormas tersebut menagih pada Kemenkeu dana 1,5 T. Dan mengeluh bunga yang masih tinggi.
Utang ribuan T yang disandang oleh negara belum juga seleaai. Ditambah oleh ormas yang berutang lewat jalur pemerintah.
Tabiat buruk utang kian tampak. Nominal yang semakin bertambah salah satunya. Lalu kehinaan dan kenestapaa sudah bermunculan di negeri ini.
Bagaimana tidak hina, jika kedaulatan ekonomi saja sudah tidak punya? Bagaimana punya kedaulatan, jika penyuntik dana mengintervensi kebijakan?
Berbicara utang luar negeri (ULN), tidak terlepas dari pesanan kebijakan penyuntik dana (utang). Bagaimana kekayaan alam Indonesia (SDA) dikuasai oleh Asing.
Sebutlah tambang emas di Papua yang hingga kini terus beroperasi mengkeruk kekayaan logam mulia negeri ini, namun penduduk sekitarnya saja tak menikmati hasilnya. Karena dimiliki Asing.
Atau, sebutlah perusahaan yang hingga kini memproduksi listrik di kawasan Paiton, Kab. Probolinggo. Lalu PLN dengan sukarela membeli produk mereka dengan biaya yang tinggi. Sehingga TDL ikut melangit, dan rakyat semakin menjerit.
Lalu berapa banyak perusahaan BUMN bangkrut? Krakatau steel bangkrut disaat negeri ini bergeliat dalam proyek infrastruktur jalan umum.
Dan ada perusahaan asuransi yang merugi. Padahal uang nasabah itu tidak ditarik dalam jangka pendek. Ada apa?
Utang negeri membawa kelesuan dalam sendi ekonomi bangsa. Bukan radikalisme yang digembar-gembor yang memperlemah negeri ini.
Utang kian menyeret negeri ini pada jurang kenestapaan. Campur tangan Asing dalam menentukan arah kebijakan semakin membuat negeri ini terpuruk, tidak berkutik, dan tidak berdaulat.
Ditambah gaya hidup glamour punggawa saat meraih kursi di gelanggang, semakin menambah nominal utang. Maka, utang ini harus segera dihentikan.
Sistem Kapitalisme membuat negeri ini santai dengan gelimang utang. Dan dengan mudah mengkambing hitamkan Islam dengan isu-isu radikal dan terorisme.
Sementara Islam, memiliki tatanan sistem ekonomi yang baik. Yang berasal dari Dzat Yang Maha Baik. Dalam Islam, utang tidak diperbolehkan asalkan memenuhi beberapa ketentuan, antara lain: tidak ada unsur riba atau bunga; untuk memenuhi kebutuhan primer manusia.
Maka negara pun boleh berutang, asal tidak mengandung bunga dan untuk pemenuhan kebutuhan primer manusia. Baik kebutuhan primer individual, seperti makan, minum, tempat tinggal dan pakaian. Ataupun kebutuhan primer komunal, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan.
Karena Islam memandang kesejahteraan warga negara adalah tanggung jawab seorang kholifah. Jika dalam kas baitul mal kosong. Sementara sedekah dan pajak kaum muslimin belum mencukupi, maka kholifah boleh berutang kepada kaum muslim yang kaya. Bukan kepada orang kafir dzimmi, apalagi negara Asing.
Wallahu A'lam bish showab