Natal dan Tahun Baru, Toleransi Semu



            Oleh : Widhy Lutfiah Marha

           Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif



Setiap bulan Desember suasana Natal merebak di sekitar kita.  Padahal, ini merupakan sesuatu yang sangat membahayakan. Sebab, tanpa disadari telah mengintai akidah kaum muslimin atas nama toleransi semu. Bahaya yang mengintai setiap bulan Desember dan tahun baru. Yaitu,  bahaya perayaan Natal dan perayaan Tahun Baru.


Dalam rapat terbatas persiapan Natal dan tahun baru 2020, Presiden Joko Widodo meminta semua pihak menjaga toleransi dan kerukunan jelang perayaan natal dan tahun baru. "Kita harus terus memperkuat nilai-nilai toleransi, kerukunan, nilai-nilai persaudaraan di antara sesama anak bangsa. Sehingga dalam menjelang Natal dan Tahun Baru kenyamanan, rasa aman masyarakat bisa kita hadirkan," kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, (13/12).


Pemerintah kembali mengingatkan kepada jajarannya terutama Polri menghimbau kepada masyarakat luar untuk menjaga keamanan dan kerukunan menjelang Natal dan Tahun Baru  terutama memfokuskan penjagaan di tempat-tempat tertentu, biasanya di kota-kota besar. 


Melalui Menag, pemerintah pun berharap agar toleransi tetap terjaga, tidak ada larangan bagi umat agama lain untuk mengucapkan selamat Natal bagi saudara kita yang merayakan Natal. Siapa pun berhak mengucapkan selamat Natal sebagai hari besar umat Kristiani. Umat agama lain pun ketika merayakan hari besar agamanya, sering juga kita mengucapkan selamat bagi yang merayakan.


Suasana Mall, plaza, hotel, toko, baliho di jalan-jalan protokol, dan umbul-umbul sepanjang jalan terlihat semarak menyambut Natal dan Tahun Baru. Tidak ketinggalan televisi dan radio juga saling bersaing program Natal dan tahun baru. Acara-acara yang tersuguh khas nuansa Natal semisal pohon cemara dan pernik-perniknya, lagu malam kudus atau Holy Night dalam versi Inggris-nya dan juga tidak ketinggalan Jingle Bell. Juga ada Sinterklas dan kado-kado, kereta salju yang ditarik anjing kutub dan anak-anak miskin yang mendapat kegembiraan karena ada hadiah-hadiah yang mereka inginkan.


Tidak jarang kaum muslimin terlena dengan itu semua. Hati-hati dengan adik-adik  yang masih kecil. Mereka mudah sekali silau dengan gemerlap Natal dan banyak kado menyertai. Tetapi, yang silau dengan Natal bukan hanya anak-anak kecil. Orang-orang tua bahkan ulama banyak juga yang bukan hanya silau, tetapi justru ikut larut di dalamnya.


Karena terbiasanya mereka disuguhi pemandangan Natal dan Tahun Baru Masehi, dan momentum ini memang sedang digaungkan saat ini, ibarat sudah menjadi agenda besar pemerintah setiap tahunnya untuk diperbincangkan. Akhirnya merasa seakan-akan perayaan itu adalah bagian dari kehidupan bermasyarakat. Belum lagi para bapak dan ibu yang duduk sebagai pejabat dan mengaku-aku dirinya ulama mencontohkan diri dengan ikut menghadiri perayaan Natal dan Tahun Baru. Akhirnya kaum muslimin dibuat bingung mana yang hak dan batil karena semua sudah dicampuradukan.


Natal dan Tahun Baru Bukan Budaya Kita


Natal dan Tahun Baru jelas-jelas budaya dan milik kaum Nasrani. Natal diperingati sebagai kelahiran Yesus yang mereka pertuhankan. Meskipun kita kaum muslimin mengakui Nabi Isa, tetapi tidak dibenarkan untuk mengakuinya sebagai Tuhan. Bukan sekadar tidak dibenarkan tapi juga haram alias mutlak tidak bolehnya. Lagi pula kelahiran Nabi Isa sendiri juga bukan di bulan Desember. Karena aliran sekte Kristen yang lain ada yang merayakan Natal di bulan Januari. Herbert W. Arsmtrong (1892-1986), seorang pastur di Worldwide Church of God, Amerika Serikat, menyatakan dalam bukunya, The Plain Truth about Christmas, bahwa Yesus tidak lahir pada tanggal 25 Desember. 


Abu Deedat Syihabuddin M.H, seorang kristolog dalam wawancaranya dengan majalah Sabili mengatakan, Isa Almasih bukan lahir tanggal 25 Desember. Di kalangan Kristen sendiri ada perbedaan, ada yang tidak mau merayakan Natal pada 25 Desember seperti Advent dan Yehova. Mereka menganggap Yesus lahir tanggal 1 Oktober. 25 Desember itu, upacara penyembahan Dewa Matahari.


Dari bukti di atas seharusnya diperhatikan oleh kaum muslimin. Bahwa setelah Muhammad datang, hanya ajaran beliau saja yang boleh diikuti. Ajaran nabi-nabi sebelumnya sudah dihapus dengan kedatangan Muhammad Rasulullah saw. sebagai nabi akhir zaman.


Tahun baru juga sama saja. Ini tahun baru Masehi, diperingati untuk mengingat sang Mesiah (asal kata dari Masehi alias Nabi Isa juga) dilahirkan ke bumi. Kita tidak perlu latah ikut-ikutan merayakan meskipun sekadar mengucapkan selamat tahun baru. Karena bagaimanapun, ucapan tahun baru selalu mengekor dengan ucapan Natal. Kaum muslim mempunyai tahun baru sendiri. Tahun baru Hijriyah. Sebagai momentum peringatan Rasulullah saw. hijrah dari Makkah ke Madinah dan mendirikan negara Islam disana.


Selain tahun baru Masehi bukan budaya kaum muslimin, harus dilihat bagaimana orang-orang itu merayakannya. Hura-hura, pesta, kembang api, dansa, dan banyak acara maksiat lainnya yang digeber semalam suntuk. Jelas, semua hal itu sama sekali tidak sesuai dengan budaya kaum muslimin yang sangat menjaga diri dari segala perbuatan sia-sia dan maksiat. Acaranya saja  tidak ada tuntunannya dalam Islam, tentu cara merayakannya juga sangat tidak terpuji.


Bagaimana sikap kita?


Jelas, sikap kita sebagai kaum muslimin untuk tidak mengikuti perayaan itu meskipun sekadar mengucapkan Natal dan Tahun Baru. Karena kita tidak meyakini kedua perayaan itu jadi tidak mengucapkan selamat. Bukankah yang selamat itu hanya mereka yang meyakini akidah Islam saja? Tidak perlu khawatir dituduh tidak toleran hanya karena tidak mau mengucapkan selamat Natal dan Tahun Baru. Sebab, makna toleran bukanlah sesempit itu.


Toleran itu cukup dengan mengakui adanya keberagaman di sekitar kita. Kita tidak mengganggu keyakinan dan ibadah mereka dan begitu sebaliknya. Mereka juga tidak boleh mengusik akidah dan ibadah kaum muslimin. Toleran tidak bermakna untuk ikut-ikutan dan mencampuradukkan keyakinan kita dengan keyakinan dan peribadatan agama lain. Bukankah telah dinyatakan oleh Allah dalam surat al-Kafirun bahwa bagimu agamamu dan bagiku agamaku? Cukup ini saja yang dijadikan patokan kita, sebagai umat Islam. 


Oleh karena itu, dalam Islam tidak dibenarkan toleransi dalam hal akidah, seperti yang dianjurkan oleh pemerintah. Karena sebagai seorang Muslim kita tidak diperbolehkan meyakini apa pun yang ada dalam agama dan keyakinan, terlibat dalam perayaan, mengenakan simbol-simbol serta aksesoris agama mereka dan sebagainya. Karena hal ini dapat memalingkan akidah umat Islam itu sendiri. 


Wallahu alam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak