Oleh: Sri Maulia Ningsih, S.Pd
(Pemerhati Sosial Asal Kabupaten Konawe, Sultra)
Pemerintah berulang kali menyampaikan tentang bahaya radikalisme sejak Kabinet Indonesia Maju dibentuk pada Oktober lalu. Tak hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi), sejumlah menteri juga turut mengutarakan itu secara terbuka kepada publik (Cnnindonesia.com, 12/11/2019).
Jokowi bahkan sempat mengusulkan penggunaan istilah baru untuk disematkan pada kelompok berpaham radikal. Istilah yang diusulkan itu adalah manipulator agama.
Pun yang santer Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) bersama sejumlah kementerian/lembaga terkait menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang penanganan radikalisme bagi kalangan aparatur sipil negara (ASN) pada Selasa (12/11/2019). Ada 11 kementerian/lembaga yang ikut menandatangani SKB tersebut, antara lain Kemenko Polhukam, Kemendagri, Kemendag, Kemenkominfo, Kemendikbud, Kemenkumham, BIN, BNPT, BIPP, BKN, KASN.
Meski begitu, definisi radikalisme oleh pemerintah selama ini tak pernah jelas. Jika definisi yang semu tentang radikalisme ini terus dipertahankan, maka berpotensi pemberangusannya salah sasaran.
Karena itu, Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilai pemerintah perlu membuat definisi yang jelas tentang radikalisme terlebih dulu sebelum mengeksekusi. Menurutnya, memperjelas definisi itu perlu agar misi menangkal radikalisme tepat sasaran.
Jika tak ada definisi yang jelas tentang radikalisme, dia menganggap bakal berefek bias ke berbagai aspek. Terlebih, selama ini radikalisme kerap diidentikkan dengan agama tertentu (Cnnindonesia.com, 14/11/2019).
Sementara itu, kata radikalisme sendiri berasal dari dua kata, yakni radix (akar) isme (paham), jadi artinya pemahaman yang mengakar. Sebenarnya jika merunut dari definisi maupun istilah radikal, itu lebih kepada prinsip yang mengakar. Namun definisi tersebut seolah tak berlaku, mengingat belum jelasnya definisi yang banyak diopinikan di publik. Kata tersebut pun seakan mengarah pada agama tertentu, yaitu pemahaman islam maupun simbol-simbolnya.
Narasi radikalisme itu juga disusun secara apik, karena seoolah menggiring pada pemahaman tertentu, yakni Islam, bahkan syariatnya. Seolah-olah ini branding yang disematkan kepada seseorang atau kelompok islam yang selalu konsisten menyuarakan kebenaran dan membongkar rencana-rencana atau kebijakan-kebijakan yang tidak memihak rakyat.
Selain itu, isu radikalisme ini pulalah yang kemudian dibenturkan dengan pancasila dan bineka tunggal ika. Seolah-olah mereka mengatakan yang berpemahaman radikal dalam artian mereka para penggaung radikalisme tidak pancasilais, tidak pula berbineka tunggal ika. Karena sudah menjadi tabu yang dikatakan radikalisme sesuatu yang berbau islam yang kini menyasar berbagai kalangan, tidak ketinggalan di ruang lingkup ASN.
Misalnya saja pelarangan cadar dan celana cingkrang dikalangan dosen dan Asn yang di keluarkan oleh kemenag (Bbc.com, 08/11/2019). Serta adanya usulan perombakan kurikulum pendidikan islam dengan menghilangkan istilah-istilah yang berasal dari islam (CnnIndonesia.com, 18/11/2019).
Hal tersebut seakan menggiring upaya pembenturan antara pemahaman agama tertentu dengan isu radikalisme dan itu sama sekali salah sasaran serta terkesan diskriminatif. Bahkan memata-matai warga negaranya sendiri lewat isu radikalisme untuk memberangus ide-ide agama tertentu dengan kata lain menyerang ide-ide yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan yang sarat merugikan rakyat.
Jika memang konsisten melawan orang-orang atau kelompok yang katanya anti NKRI maka seharusnya pemerintah memberangus separatis yang ada di papua. Begitu juga dengan solusi Wamena yang sampai hari ini belum terselesaikan. Karena sejatinya kasus yang terjadi di Papua tentu dapat menggoyangkan NKRI, karena merupakan separatis yang nyata-nyata telah mengangkat senjata dan membunuhi warga sipil yang ada di sana.
Di samping itu, seharusnya negara asing yang nyata-nyta telah mengeruk kekayaan alam di negeri ini tidak dibebaskan melenggang untuk mengambil kekayaan alam milik rakyat. Tetapi sayangnya, justru warga negara sendiri yang selalu diawasi dimata-matai. Terlebih menyudutkan dengan tudingan yang salah sasaran pada kelompok tertentu yang konsisten mengkritik kebijakan zalim yang tak pro rakyat.
Dengan demikian, isu radikalisme ini hanya sebagai legitimasi untuk membungkam para penyeru kebenaran dan keadilan. Masyarakat sengaja dibenturkan dengan narasi radikalisme agar takut pada agamanya sendiri dan menimbulkan keraguan pada ajaran agamanya, sehingga fobia terhadap hukum-hukum atau ajaran-ajaran agama mereka. Wallahu a'lam bishowab.
Tags
Opini