(Oleh : Ummu Hanif, Anggota Lingkar penulis Ideologis)
Pasca dilantiknya Presiden dan wakil Presiden Indonesia yang baru beserta jajaran menterinya, rakyat tetap ciut untuk berharap sejahtera. Pasalnya, belum genap 100 hari mereka menjabat, kebijakan yang terlontar dari penguasa adalah kebijakan yang tidak memihak rakyat. Pun pula harga-harga kebutuhan yang melambung tinggi.
Di bidang kesehatan, pemalakan pada rakyat atas nama iuran BPJS Kesehatan terus berlangsung. Iuran BPJS-K naik dua kali lipat yang akan berlaku pada awal tahun 2020, serta memaksa rakyat untuk membayar iuran jika menunggak.
Sementara kesehatan yang prima dan berkualitas masih jauh dari kata baik serta layak untuk rakyat. Program BPJS ‘Gotong Royong Semua Tertolong’ tidak lebih dari aksi todong. Mereka tak lagi melihat dampak kenaikan iuran dua kali lipat karena mereka cukup tutup mata dan tetap dengan kebijakannya.
Pada bidang pendidikan, pendidikan Indonesia saat ini tidak lebih dari sekadar mesin pencetak tenaga kerja yang siap pakai untuk dunia industri, pendidikan hanya sebagai pelengkap agenda liberalisasi ekonomi semata.
Ketika pendidikan dalam jebakan kapitalisme dan liberalisme, maka fungsi kritis-emansipatoris pendidikan menjadi mandul, peserta didik menjadi objek pasif yang tunduk pada korporasi. Semua ini kemudian melahirkan peserta didik yang miskin kreativitas.
Pendidikan dalam cengkeraman neoliberalisme hanya bertujuan untuk melahirkan tenaga kerja yang tunduk pada kapitalis, menekan pemikiran kritis yang bisa menjadi oposisi terhadap pemodal.
Pendidikan menjadi alat reproduksi ideologi yang hanya menguntungkan kelas sosial tertentu. Agenda-agenda bisnis lebih kental di sekolah dan kampus, mulai dari sponsor usaha yang masuk sekolah hingga pada korporatisasi kurikulum.
Belum lagi masalah kekeringan yang telah mengancam negeri ini akibat kemarau Panjang. Belum adanya solusi solutif pemerintah untuk ancaman tahunan di negeri ini.
Sementara itu, di dalam sistem ekonominya, pemerintah bukannya membantu produktivitas dalam negeri, tetapi malah menciptakan mekanisme ekonomi yang menghancurkan anak negeri. Komoditas pangan impor membanjiri Indonesia.
Hal tersebut mengakibatkan puluhan juta orang kelaparan, anak-anak stunting, kepala keluarga menganggur, dan menjerumuskan kaum perempuan pada eksploitasi kapitalisme global.
Riset terbaru Bank Pembangunan Asia mengungkap data bahwa 22 juta penduduk Indonesia masih menderita kelaparan kronis selama periode 2016–2018. Dalam publikasi berjudul ‘Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045‘ disebutkan puluhan juta penduduk menderita kelaparan kronis meski sektor pertanian dan ekonomi mencatat kemajuan yang cukup signifikan (www.detik.com, 6/11/2019).
Dan masih banyak lagi deretan masalh yang belum terurai hingga akhir tahun ini.
Dr. Rizal Ramli mengatakan bahwa hari ini negara Indonesia sedang menganut sistem Demokrasi Kriminal, di mana sistem demokrasi ini telah melahirkan para penjahat yang banyak merugikan bangsa dan negara. Sehingga demokrasi hanya memperkaya elitenya, yakni anggota DPR dan para eksekutifnya. (rmoljabar.com, 16/4/2018)
Demokrasi dijadikan alat penjajahan oleh barat atas dunia terutama negeri kaum muslimin. Melalui pembuatan undang-undang, Barat bisa memasukkan bahkan memaksakan UU yang menjamin ketundukan kepada barat, mengalirkan kekayaan kepada Barat dan memformat masyarakat menurut corak yang dikehendaki Barat.
Sampai kapankah kita akan mempertahankan sistem ini? Belum saatnyakah kita melirik islam yang sudah menawarkan seperangkat aturan yang telah terbukti mensejahteraan selama ribuan tahun?
Wallahu a’lam bi ash showab