Mengkritisi Peran Milenials dalam Politik Oligarki



Oleh : Desi Dian Sari, S.I.Kom
(Pengiat Literasi)

Pengangkatan staf khusus presiden yang didominasi para milenils oleh jokowi mendapatkan kritik tajam. Pasalnya 7 orang anggota staf khusus yang digadang-gadang sebagai milenials muda berprestasi ini nantinya akan mendapat hak keuangan dan fasilitas setara aselon I. Gaji yang akan didapatkan sebesar Rp. 51 juta dan mereka tidak diwajibkan untuk berada di kantor selama bekerja. Hal ini tak sepadan dengan tupoksi dari para staf milenials yang tidak definitif yakni mereka tidak lebih dari -seperti yang dikatakan Jokowi-teman diskusi Presiden.

Jika berkaca pada Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2012 tentang Utusan Khusus Presiden, Staf Presiden, dan Wakil Presiden, sebab seharusnya ketika para staf khusus ini berkewajiban melaksanakan tanggung jawab kerja setara dengan pejabat aselon I. Namun faktanya mereka mendapat perlakuan khusus seperti yang disebutkan diatas.
Ketujuh anggota staff baru tersebut adalah pemuda usia dibawah 40 tahun yakni Putri Indahsari Tanjung (pendiri Creativepreneur), Adamas Belva Devara (pendiri Ruangguru), Ayu Kartika Dewi (perumus gerakan SabangMerauke), Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise yang tunarungu), Gracia Billy Mambrasar (pemuda Papua peraih beasiswa Oxford), Aminuddin Ma’ruf (mantan Ketua Pergerakan Mahasiswa Indonesia), dan Andri Taufan Garuda (CEO Amartha).

Selain ketujuh staff milenials tersebut masih ada nama lainnya seperti Arief Budimanta (politikus PDIP) dan Dini Shanti Purwono (politikus Partai Solidaritas Indonesia) dari segi usia keduannya sudah bukan termasuk milenils. Terakhir ada Diaz Hendropriyono, Sukardi Rinakit, dan Ari Dwipayana yang termasuk wajah lama.

Pengangkatan nama-nama diatas bukan secara kebetulan atau hasil seleksi pelik. Mereka diangkat dengan latarbelakang partai dan sosok konglomerat penyokong Jokowi di kampanye Pilpres. Aroma  politik akomodatif atau politik bagi-bagi kekuasaan masih tercium , sebagian besar adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Sebut saja empat nama yang merupakan kader partai politik pendukung Jokowi, yakni: Arief Budimanta (PDIP), Dini Shanti Purwono (PSI), dan dua kader Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yakni Diaz Hendropriyono dan Angkie Yudistia.

Hal senada diungkapkan oleh Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai melalui tujuh staf khusus milenial, ditambah menteri-menteri dan wakil menterinya ini, Jokowi berupaya menutupi lingkaran oligarki dalam pemerintahannya. (tirto.id 23 nov 2019).

Maka tak heran jika publik lebih melihat pengangkatan ini sebagai fenomena makin menguatnya politik oligarki di rezim jilid 2. Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu (https://kbbi.web.id)

Dalam buku Oligarchy, Jeffrey A. Winters menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama ialah oligarki yang berasaskan kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan dan menguasainya. Dimensi kedua ialah oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemis dan terstruktur.

Rezim yang telah dibangun oleh jokowi sejak priode pertama menunjukan realitas oligarki seperti yang diungkapkan Winters. Bisa dilihat keputusan elit politik diperoleh dari mekanisme hierarki yang kaku, alias dari atas ke bawah.

Para ketua partai bersama orang-orang di lingkarannya adalah sosok superior dalam decision making ‘membuat keputusan’, termasuk menentukan siapa yang akan menduduki posisi penting dalam pemerintahan.

Fenomena seperi ini bukan hal baru dalam sistem demokrasi. Gurita politik oligarki terbentuk secara alami maupun by design sebab adanya politik transaksi dalam sistem demokrasi. Proses kaderisasi yang macet membuat partai politik lebih suka membuka pintu bagi pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah. Sebab bukan hal yang baru jika ongkos politik begitu mahal, tak heran jika partai politik rela melakukan segala cara untuk memperoleh pendanaan termasuk berkongsi dengan pengusaha atau  konglomerat. 

Apalagi pendidikan politik tak diperoleh masyarakat secara utuh. Masyarakat hanya disuguhi kampanye-kampanye cepat saji menjelang Pemilu. Informasi yang eawan berita bohon minim esensi membuat masyarakat buta terhadap politik. Di titik terendah partai politik hanya memposisikan masyarakat sebagai obyek politik lima tahunan.

Kebobrokan yang telah mendarah daging perlu dihilangkan dengan solusi alternatif lain guna membongkar tatanan sistem yang telah rusak. Dimana sistem islam memiliki pola pandang lain dalam mengkritisi sistem pembagian  kekuasaan. Sistem birokrasi dan administrasi dalam Islam memiliki ciri yang khas, yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), sur’ah fi injaz (cepat selesai), dan kifayah fi man yatawalla al-a’mal (cukup pelaksanaannya).

Agar terhindar dari politik oligarki, pemerintahan Islam (khilafah) menerapkan satu hukum dan undang-undang untuk satu negara. Hukum yang diadopsi oleh khalifah menjadi undang-undang berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah (ahkam syar’iyyah) dan hukum administratif (ahkam ijra’iyyah).
Hak mengundangkan peraturan hanya berada di tangan kepala negara sehingga menutup celah bagi elite politik untuk menjalankan politik oligarki dalam pemerintahan. Hal ini juga memastikan tidak akan terjadi benturan hukum dan perundang-undangan. Baik antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dengan daerah yang lain maupun satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Karena yang membuat satu orang, yaitu kepala negara.

Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi kepala negara maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama yakni sebagai warga negara.



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak