Oleh : Dewi Humairah
Tindakan keras Pemerintah China terhadap etnis minoritas Muslim Uyghur telah mendapat kecaman internasional. Namun beberapa suara yang sebenarnya signifikan, yakni dari negara-negara Muslim malah nyaris tak terdengar. PBB memperkirakan sekitar 1 juta warga dari etnis Uyghur, Kazakh dan minoritas lainnya diduga telah ditahan di Xinjiang barat laut China sejak 2017.
Para pengamat mengatakan pemerintah negara-negara Muslim memang tidak dimasukkan ke dalam satu kategori. Namun, ada sejumlah kesamaan utama di balik kebisuan mereka, yakni pertimbangan politik, ekonomi dan kebijakan luar negeri. Pakar kebijakan Cina Michael Clarke, dari Universitas Nasional Australia, mengatakan kepada ABC bahwa kekuatan ekonomi China dan takut mendapat balasan menjadi faktor besar dalam politik komunitas Muslim.
"Kita menghadapai salah satu negara paling kuat di dunia," kata Dr Clarke.
"Sangat menyedihkan karena orang-orang Uyghur mendapat perlakuan ini.”
Sebaliknya, negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat secara terbuka mengecam tindakan Pemerintah China di wilayah tersebut. Etnis minoritas berbahasa Turkic telah ditahan di kamp-kamp dimana mereka mendapat 'pendidikan ulang' dan menjadi sasaran indoktrinasi politik, termasuk dipaksa belajar bahasa yang berbeda dan melepaskan keyakinan mereka.
Penelitian terbaru mengungkapkan ada 28 fasilitas penahanan yang digunakan dan telah diperluas lebih dari 2 juta meter persegi sejak awal tahun lalu. Para tahanan dipaksa untuk menjahit pakaian untuk diekspor ke perusahaan pakaian olahraga milik AS. Pemerintah negara-negara yang penduduknya mayoritas Muslim, termasuk Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan Indonesia telah menghindari mengangkat masalah ini secara terbuka.
Pakistan bahkan membela Cina, dengan mengatakan media milik negara-negara barat telah menjadikan laporan-laporan soal situasi di Uyghur "sensasional".
Pemerintah Indonesia tetap diam mengenai topik ini, sampai minggu lalu ketika masalah ini diangkat di parlemen. "Tentu saja, kami menolak atau ingin mencegah pelanggaran hak asasi manusia," Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, mengatakan kepada wartawan, Senin lalu (17/12).
"Namun, kami tidak ingin campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain," katanya.
Tapi pernyataan ini sangat kontras dengan sikap Indonesia soal masalah-masalah berkaitan umat Muslim lainnya, seperti konflik Israel-Palestina dan etnis minoritas Rohingya di Myanmar.
Kementerian Luar Negeri Indonesia juga telah menyampaikan keprihatinannya kepada duta besar China di Jakarta, yang disaat bersamaan juga mendapat tekanan dari kelompok dan organisasi Muslim. Untuk soal Palestina dan Rohingya, Arab Saudi, Yordania, Iran, Malaysia juga sudah berulang kali melakukan kecaman. Seorang anak melihat tayangan Presiden China di layar. Diperkirakan lebih dari 1 juta Muslim ditangkap dan dipaksa untuk menanggalkan bahasa dan kepercayaan mereka.
Investasi Cina di negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara dari 2005 hingga tahun 2018 telah berjumlah AU$144,8 mmiliar Sementara di Malaysia dan Indonesia, jumlahnya AU$121,6 miliar dibandingkan periode yang sama, menurut lembaga think tank American Enterprise Institute.
Beijing telah banyak berinvestasi di industri minyak dan gas milik negara Arab Saudi dan Irak, serta menjanjikan investasi berkelanjutan di seluruh Asia, Afrika, dan Timur Tengah. "Tampaknya untuk menghentikan negara-negara ini secara terbuka mengkritik Beijing," kata Dr Clarke.
Seorang polisi sedang beraksi atas perlakuan yang diterima oleh Uyghur disebut-sebut sebagai respon atas rangkaian serangan mematikan di wilayah Xxinjiang Tapi perlakuan Pemerintah China terhadap Uyghur dan kelompok Muslim lainnya tidak menghalangi turis-turis Muslim untuk bepergian ke Cina. Xinjiang adalah provinsi terbesar di China yang berbatasan dengan delapan negara lainnya.
China juga memegang kebijakan "non-intervensi" dimana menghindari keterlibatan urusan dalam negeri negara-negara lain. Para analis mengatakan sekarang negara-negara Muslim juga melakukan hal yang sama pada Beijing. China sejauh ini telah berulang kali menjauhkan diri dalam menggunakan hak veto pada pertemuan dewan keamanan PBB dalam melakukan intervensi internasional, seperti usulan sanksi di Suriah dan di Myanmar.
"Banyak [negara-negara Muslim] memiliki masalah internal sendir, seperti masalah agama atau etnis minoritas ... jadi mereka tidak mengkritik Beijing karena mereka memiliki masalah sendiri yang harus ditangani" kata Dr Clarke.
Turki pernah menentang China soal Xinjiang dan tentu tidak dilupakan oleh China. Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menggambarkan peristiwa di provinsi itu sebagai "genosida" sementara Turki juga menyediakan suaka bagi warga Uyghur yang melarikan diri dari wilayah itu.
Beijing telah memberikan tawaran untuk mendukung krisis ekonomi tahun ini di Turki, dengan syarat Turki tidak akan memberikan "komentar tidak bertanggung jawab" soal Uyghur atau kebijakan etnis di Xinjiang. Sejak saat itu Turki tidak memberikan komentar sama sekali ."Sayangnya, semua itu bermuara pada perhitungan apakah bermanfaat bagi kita serta hubungan kita dengan pihak lain secara lebih luas," kata Dr Clarke.
Diam nya dunia Islam terhadap kekejaman Cina terhadap Muslim Uighur, juga derita Muslim Rohingnya dan Palestina bahwa ketika tidak ada Khilafah umat Islam tak punya pelindung. Bahkan tidak bisa berharap perlindungan dan pembelaan dan negeri muslim terbesar seperti Indonesia untuk menyelamatkan saudara muslim Rohingnya.
Bila ada negeri kecil yang jauh di Afrika Barat (Gambia) menunjukkan protes dan menggugat kekejaman Myanmar terhadap Rohingnya melalui lembaga dunia, seharus nya menggugah seluruh dunia Islam untuk lebih baik dengan membela atau mengutuk sebagai menifestasi ukhuwah Islamiyah.
Tapi, sayang nya itu tidak terjadi karena beragam alasan. Maka umat harus menyadari, tidak bisa di hentikan penindasan sampai aturan Allah itu di terapkan dalam bingkai Khilafah. Karena dengan di terapkan nya aturan Allah darah, jiwa, harta umat akan benar-benar di muliakan dan di lindungi.