Oleh: Irah Wati Murni, S.Pd
Narasi “Radikalisme” terus digulirkan bak bola salju yang menggelinding, semakin lama semakin membesar. Semua pihak kompak ikut membicarakan, dari media-media nasional, pejabat pemerintahan daerah, hingga pemerintah pusat sendiri turut menyuarakan. Tampaknya memang isu radikalisme seperti sengaja diperbincangkan. Pelan tapi pasti, mereka yang mengaku muslim ini, kian terpapar virus islamphobia-merasa takut (phobia) dengan ajaran Islam-. Kali ini, isu radikalisme yang sedang diserang ialah “khilafah dan jihad”.
Terlihat bagaimana kebijakan pemerintah, melalui kaki tangannya Menteri Agama Fachrul Razi. Menteri yang mengaku menteri lima agama bukan menteri agama Islam ini, tersiar kabar ingin menghilangkan konten khilafah dan jihad dalam mata pelajaran madrasah. Hal ini terlihat dari ramainya surat edaran Menag yang diterbitkan pada 4 Desember 2019 lalu. Sontak, hal ini mengundang kontroversi berbagai pihak, baik di dunia nyata maupun maya.
Langkah Kemenag ini mendapat respon dari anggota DPR. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan menegaskan bahwa khilafah dan jihad adalah sejarah Islam, karenanya tak boleh dihapus dari pelajaran agama di madrasah.
Menurut Ace dilansir CNNIndonesia.com, Senin (9/12), Menteri Agama tak perlu sampai menghapus materi sejarah tentang khilafah dan jihad. Namun, materi tersebut tetap perlu dimuat dengan dilengkapi pengertian bahwa Indonesia tidak bisa menerapkan sistem khilafah dan makna jihad diambil kontekstual saja.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin menjelaskan Kemenag tak menghapus konten ajaran khilafah dan jihad, melainkan diperbaiki.
"Saya perlu menyampaikan bahwa konten khilafah dan jihad tidak dihapus sepenuhnya dalam buku yang akan diterbitkan. Makna khilafah dan jihad akan diberi perspektif yang lebih produktif dan kontekstual," kata Kamaruddin dilansir CNNIndonesia.com, Minggu (8/12).
Kamaruddin menegaskan, pelajaran khilafah dan jihad tidak akan lagi diajarkan pada mata pelajaran Fikih. Dua konten itu akan masuk dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Materi khilafah dan jihad tidak dihapus karena merupakan bagian dari sejarah Islam. Namun perlu ada penyesuaian mengikuti perkembangan zaman.
Konten Khilafah dan Jihad Hanya di SKI, Mengapa Tebang Pilih Pelajaran?
Berdasarakan keterangan Dirjen Pendidikan Islam Kemenag di atas, konten khilafah dan jihad pada mata pelajaran madrasah sudah direvisi. Pelajaran khilafah dan jihad tidak akan lagi diajarkan pada mata pelajaran Fikih. Dua konten itu hanya diajarkan dalam mata pelajaran SKI. Padahal, pelajaran Fiqih dan SKI keduanya sama-sama penting untuk diajarkan konten khilafah dan jihad. Mengapa?
Pelajaran Fiqih dalam madrasah secara substansi bertujuan untuk memotivasi peserta didik mempraktikkan dan menerapkan hukum-hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud ketakwaan pada perintah Allah dan RasulNya. Sementara substansi tujuan pelajaran SKI ialah untuk memotivasi peserta didik agar mengenal, menghayati, memahami sejarah kebudayaan Islam yang dapat mengandung ibrah (pelajaran) dari peristiwa sejarah di masa lalu.
Dari kedua tujuan ini terlihat bahwa keduanya memiliki kesinambungan dan korelasi satu sama lainnya. Maka aneh, jika konten khilafah dan jihad hanya diajarkan pada SKI saja sementara Fiqih tidak. Hal ini berbahaya, sebab kelak para generasi muda muslim hanya akan mengenal teori-teori dan pengetahuan sejarah Islam di masa lalu saja tanpa munculnya motivasi untuk menerapkan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah khilafah dan jihad itu juga termasuk dalam hukum Allah? Bukankah, aturan Allah itu berlaku pada semua aspek kehidupan bukan disesuaikan dengan perkembangan zaman? Mengapa harus tebang pilih seperti makan prasmanan? Jika hukum Allah sesuai hawa nafsu diambil, namun jika tak sesuai maka ditinggalkan?
Sikap Kemenag ini secara tidak langsung menghimbau umat untuk memisahkan agama dari kehidupan. Seolah-olah khilafah dan jihad hanya berlaku dalam bidang pengetahuan sejarah yang hanya untuk dikenang saja, dan tak boleh dipraktikan serta diterapkan dalam kehidupan.“Jangan bawa-bawa agama dalam kehidupan politik, agama cukup diterapkan dalam masjid saja, karena sebagian hukum agama sudah tak relevan dengan perkembangan zaman.”
Jika demikian, maka benarlah bahwa Kemenag sudah terpapar paham sekulerisme. Suatu racun berbahaya yang disebarkan penjajah di tubuh umat saat ini. Inti dari paham kufur ini adalah pemisahan agama dari kehidupan publik. Bukan agama tidak diakui, tapi agama diharamkan memasuki sektor publik seperti ekonomi, politik, dan sosial. Agama dianggap hanya persoalan ritual, individual, dan moralitas. Karenanya, negara tidak boleh campur tangan dalam urusan agama, karena agama adalah masalah keyakinan invidu. .
Padahal seharusnya Kemenag menjadi pionir terdepan dalam menjaga aqidah dan pemahaman umat Islam. Menjadi corong umat untuk menerapkan seluruh aturan Allah dan Rasul Nya dalam kehidupan. Sebab, seorang muslim haruslah menjadikan aqidah Islam sebagai asas hidupnya dan terikat pada seluruh aturan Allah SWT. Hal ini merupakan konsekuensi dari keimanannya. Jika Kemenag sudah terasuki ide sekulerisme, maka kemanakah aqidah umat akan dijaga? Kemanakah perisai umat dalam menerapkan syariatNya?
Khilafah Menjaga Aqidah Umat
Dalam sistem demokrasi, ide sekulerisme memang sangat subur disebarkan. Ide ini menjadi jantungnya demokrasi. Bahkan jika melihat sejarah demokrasi, pandangan dasar dari sistem kufur ini memang berasaskan sekulerisme.
Maka benarlah hanya khilafah, satu-satunya sistem pemerintahan di muka bumi ini yang menjadi perisai aqidah bagi umat. Sistem shahih yang dicontohkan Rasulullah dan para penggantinya, Khulafaur Rasyidin dalam melakukan ri'ayah su'unil ummah (mengurusi urusan umat). Hanya khilafah yang mampu menjaga kejernihan aqidah umat dan penerapan aturan Islam secara kaafah.
“Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).