Melihat Efektivitas Kartu Pra-Kerja




Oleh : Eri
(Pemerhati Masyarakat) 


Akhirnya Presiden Jokowi merealisasikan salah satu kartu saktinya lagi yaitu kartu pra-kerja, yang akan rilis di tahun 2020. Tentu ini kabar bahagia untuk sebagian orang. Serasa mendapat angin segar bagi mereka yang sedang mencari pekerjaan. 

Program Kartu Pra Kerja akan dimulai tahun 2020. Secara resmi kartu itu akan diterima masyarakat pada Maret 2020. Pada Kartu Pra Kerja tersebut, akan ada saldo sekitar Rp 3,650 juta sampai Rp 7,650 juta. (bangkapos.com 2/12/2019)

Kartu pra-kerja ditujukan untuk masyarakat yang terkena Pemutusan Hak Kerja (PHK), pengantin baru bersertifikat nikah atau para pencari kerja. Kartu tersebut menyasar dua juta peserta dengan anggaran 10 triliun rupiah. Selain uang, para peserta akan mendapatkan pelatihan dan pembinaan bagi yang belum memiliki ketrampilan.

"Melalui Kartu Pra-Kerja, dilakukan pelatihan vokasi di BLK (Balai Latihan Kerja), baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Kita juga minta perusahaan-perusahaan memberikan kesempatan, lewat learning center yang dipunyai perusahaan," jelas dia, Menteri 
Ketenagakerjaan Ida Fauziah. Dirinya menuturkan, saat ini program Kartu Pra-Kerja tengah dalam proses persiapan. (republika.co.id 30/11/2019). Kartu ini adalah salah satu upaya Pemerintah untuk mengatasi tingginya angka pengangguran. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Februari 2018, ada sebanyak 127,07 juta orang penduduk bekerja sedangkan sebanyak 6,87 juta orang menganggur (bps.go.id).

Sejenak kartu pra-kerja bisa menjadi solusi mengatasi pengangguran, mengingat anggaran yang dikeluarkan dan keseriusan Pemerintah meningkatkan keterampilan masyarakat. Namun di sistem kapitalis, besarnya dana dapat memicu tindakan manipulatif yaitu tidak tepat sasaran penerima kartu pra-kerja dan adanya peluang terjadi korupsi.

Hakikatnya, menyelesaikan masalah pengangguran tidak cukup dengan memberi kartu atau insentif yang bersifat sementara. Apalagi telah diketahui bersama bahwa salah satu sebab tingginya angka pengangguran adalah tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai. Tanpa penambahan lapangan kerja, semua pelatihan yang dicanangkan akan sia-sia. Ironisnya lapangan pekerjaan yang ada kini justru diberikan kepada tenaga kerja asing. Selain itu, rendahnya pendidikan serta tidak sesuainya kompetensi ilmu dengan kebutuhan di dunia kerja dan kualifikasi yang dimiliki, menambah sederet permasalahan bagi pencari kerja.

Di lain pihak, sistem Islam hadir dengan seperangkat aturan tentang ketenagakerjaan lengkap dan detail. Mulai dari sistem upah, waktu kerja sampai jenis-jenis pekerjaan. Pada masa Rasulullah, beliau sebagai kepala negara  mencontohkan bagaimana menangani masalah pengangguran. Rasulullah suatu ketika pernah memberikan dua dirham kepada seseorang. Kemudian beliau bersabda, "Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya, belikan kapak, lalu gunakan kapak itu untuk bekerja!" 

Demikianlah Rasulullah mencontohkan, artinya pengangguran itu tidak hanya diberikan bantuan berupa uang saja, akan tetapi dengan memberikan pekerjaan. Oleh karena itu, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Termasuk menfasilitasi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan di dunia kerja. Membuat undang-undang yang melindungi hak-hak pekerja dan membatasi jumlah masuknya tenaga kerja asing.

Berharap menyelesaikan masalah dengan sistem kufur saat ini, hanyalah upaya sia-sia belaka. Solusi seharusnya menjadikan Islam sebagai sistem yang mengatur kehidupan masyarakat. Jika sistem Islam diterapkan niscaya memecahkan segala problematika kehidupan, menjauhkan dari kesengsaraan serta terwujudnya kesejahteraan secara paripurna. Waallahu alam bis shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak