Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)
Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang-orang jahat, tapi karena diamnya orang baik. – Ali bin Abi Thalib ra
Tak disangka cuitan seorang Ozil menggugah dunia. Berawal dari akun sosial media yang dimiliki, pemain sepakbola muslim yang merumput di Arsenal menyinggung masalah Uighur.
Ia menyebut muslim Uighur sebagai mujahid penentang penganiayaan. Di saat yang sama Ozil juga menuding muslim seluruh dunia yang hanya diam tak berkata-kata. Ia bahkan mengutip perkataan Imam Ali bin Abi Thalib di atas. (cnbcnews, 16/12/2019)
Dunia tersentak. Meski otoritas China langsung meradang, namun dukungan justru datang dari berbagai penjuru. Tak ketinggalan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo menyampaikan apresiasi kepada pesepak bola Jerman tersebut.
Dari laman cnbcnews, lewat akun Twitternya pada Selasa (17/12/2019), Pompeo mengatakan China bisa menyensor penyiaran pertandingan sepak bola tim tetapi tidak bisa menyembunyikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dilakukan negara tersebut.
Uighur, Apa dan Mengapa
Suku Uighur saat ini mendiami sebuah wilayah China bernama Xinjiang. Lokasi ini berada di daerah paling utara dan barat negeri tirai bambu tersebut. Xinjiang sendiri artinya adalah perbatasan baru. Di Xinjiang suku Uighur menjadi mayoritas dengan 45, 84% dari total penduduk dan hidup berdampingan dengan suku-suku lain, misalnya Kazakh, Han, Hui, Tibet, Tajik, dan lainnya.
Pada sekitar tahun 950M mereka memeluk Islam. Pada abad 15, orang-orang Uighur di Turpan, Xinjiang juga ikut memeluk Islam. Tak heran bila Islam menjadi agama resmi yang dianut mayoritas Uighur hingga kini.
Lalu mengapa muslim Uighur teraniaya seperti yang dikatakan Ozil? Fakta menunjukkan semua bermula sejak Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok menerapkan kebijakan sekolah vokasi dan re-edukasi. RRT berdalih program tersebut demi mereduksi ekstremisme di Xinjiang.
Kepala Provinsi Otonomi Xinjiang Uighur Shohrat Zakir, dalam wawancara dengan Xinhua pada 16 Oktober 2018, menyatakan bahwa sejak 1990-an, "three evil forces" yaitu terorisme, ekstremisme, dan separatisme di RRT dan luar negeri telah melakukan ribuan serangan yang menimbulkan korban rakyat, polisi, dan kerusakan properti. (idntimes, 21/2/2019)
Benarkah hal itu? Atau hanya kamuflase dari aktivitas genosida terhadap muslim Uighur?
Bak pepatah, tiada asap tanpa api. Mesut Ozil pun mustahil berani bicara tanpa bukti. Surat kabar The New York Times menurunkan laporan soal korespondensi internal para pejabat setempat sampai Presiden China, Xi Jinping. Hasil laporan investigasi itu memaparkan dokumen yang berisi tentang panduan menjalankan kamp penahanan khusus Uighur dan penggunaan perangkat teknologi untuk memburu seseorang.
Melansir dari laman cnnindonesia, seorang perempuan Uighur yang tinggal di Belanda, Asiye Abdulaheb, mengaku kepada surat kabar de Volkskrant bahwa dia membocorkan dokumen bukti penganiayaan itu.
Dokumen itu berisi panduan supaya pemerintah Urumqi melakukan kendali sosial, yaitu menangkap etnis Uighur secara acak meski mereka tidak melanggar aturan atau berbuat kejahatan. Mereka nantinya dikirim ke kamp untuk dicuci otak supaya mengadopsi nilai-nilai Komunisme ketimbang Islam, dan mengubah bahasa mereka. (cnnindonesia, 16/12/2019)
Alangkah malang nasib Uighur. Naif bila mengatakan persoalan Uighur tak terkait dengan agama. Realita yang terjadi menunjukkan sebaliknya.
Keislaman Uighur diusik, dirongrong hingga bukan mustahil perlahan hilang bersama dengan terbunuhnya mereka.
Tak pelak, teguran Ozil bagai tamparan yang menggugah kesadaran. Menoreh luka sekaligus rasa malu. Apa yang sudah diperbuat walau untuk sekedar membantu? Parahnya lagi, penguasa di negeri-negeri muslim seakan akur untuk berlidah kelu. Bahkan sekedar mengutuk pun ragu. Padahal kejahatan yang terorganisir dalam skala negara tentu tak bisa dihadapi dengan yang berskala kelurahan. Not apple to apple alias tak akan mampu.
Para Elit pemerintahan muslim yang ditopang segenap perangkat kekuasaan harusnya lebih dari cukup untuk melindungi Uighur. Sayang hal itu tidak dilakukan.
Uighur Butuh Islam Kaffah
Sungguh kebencian yang nyata ditampakkan pada muslim Uighur sejak awal sudah disitir dalam Alquran,
“Mereka (kaum kafir) tidak pernah berhenti memerangi kalian (kaum Muslim) sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekafiran) andai saja mereka sanggup.” (TQS al-Baqarah [2]: 217)
Jelas Uyghur tak sendiri. Nasib serupa juga dialami oleh Muslim Rohingya, Pattani Thailand, Moro Filipina, Kashmir di India, Palestina, Suriah, dan lainnya.
Dalam ihwal seperti ini perintah Alquran sangat jelas. Saat saudara seiman ditindas dan meminta pertolongan, kaum Muslim wajib memberikan pertolongan kepada mereka. Allah SWT berfirman,
“Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan.” (TQS Al Anfal :72)
Maka siapa yang sanggup menolong dan menghentikan derita kaum muslim selain khilafah yang mengadopsi syariah dengan kaffah? Ya, sebab Nabi saw. pernah bersabda,
“Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Makna frasa “Al-Imâm junnat[un] (Imam/Khalifah itu laksana perisai)” dijelaskan oleh Imam an-Nawawi,
“Maksudnya, ibarat tameng, karena Imam/Khalifah mencegah musuh untuk menyerang (menyakiti) kaum Muslim; mencegah anggota masyarakat satu sama lain dari serangan, melindungi keutuhan Islam…”
Menjadi junnah (perisai) bagi umat Islam khususnya dan seluruh rakyat umumnya meniscayakan Imam/Khalifah harus kuat, berani, dan terdepan. Bukannya pengecut dan lemah. Khalifah yang kuat tentu berimbas pada kekuatan institusi negaranya pula, yaitu khilafah. Kekuatan yang murni lahir dari keyakinan akan akidah Islam.
Ingatlah kisah yang mustahil terhapus dalam sejarah. Ketika Khalifah Al-Mu’tashim, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, bergegas memenuhi permintaan tolong wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi. Ia segera mengirim ratusan ribu pasukan kaum Muslim untuk melumat Amuriah, mengakibatkan ribuan tentara Romawi terbunuh dan ribuan lainnya ditawan. Demikian pula yang dilakukan oleh Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyah dalam melindungi kaum Muslim.
Bagaimana kini? Kala perisai absen, umat tercerai-berai tiada yang melindungi. Semoga nestapa Uighur menyadarkan akan pentingnya menghadirkan junnah di tengah umat. Sekaligus berharap jangan sampai tergolong dalam ayat berikut,
“Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian di antaramu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (TQS Al Baqarah : 85)
Wallaahu a’lam.