Oleh: Hasnani Mahasiswa dan Aktivis
Seperti kemarin kami hanya rakyat biasa, Pita-pita mungil dan sekian janji usil adalah makanan ringan bagi penyicil, kelakar duniawi penguasa pekik harus diakali serentetan perih, salah siapa janji-janji hampa luruh tak ada bukti, jangan salahkan kami.
Asian Development Bank (ADB) melaporkan 22 juta orang Indonesia masih menderita kelaparan. ADB bersama Internasional Food Policy Research Institute (IFPRI) mengungkapkan hal itu dalam laporan bertajuk “Policies to Support Investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture Development During 2020-2045”( CNN Indonesia,16/11/2019)
Dalam riset tersebut terungkap pada era 2016-2018 ternyata sebanyak 22 juta orang di Indonesia menderita kelaparan kronis.
Kelaparan yang diderita 22 juta orang tersebut, atau 99% dari jumlah orang miskin Indonesia versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang sebanyak 25,14 juta orang dikarenakan masalah sektor pertanian, seperti upah buruh tani yang rendah dan produktivitas yang juga rendah.
Pada tahun 2014 total volume impor pangan Indonesia yang semula 19,4 juta ton meningkat menjadi 28,6 ton di tahun 2018, atau naik lebih dari 9 juta ton (detiknews, 07/09/2019).
Kondisi ini memang bukan yang pertama, yang bahkan nyaris setiap tahun masyarakat Indonesia selalu dihadapkan dengan masalah yang sama. Bahkan levelnya semakin bertambah hingga taraf memupus harapan rakyat akan munculnya kondisi baik di masa depan .
Anehnya, Pemerintah sangat optimis dan terus menggembar-gemborkan bahwa pertumbuhan ekonomi terus membaik hingga 5% di tahun 2018, tetapi secara empirik angka itu tidak memberikan arti apa-apa. Ini dikarenakan, angka pertumbuhan ekonomi hanya berbicara agregat dan memasukkan aktivitas non riil sebagai salah satu item yang dihitung. Sementara data juga menunjukkan bahwa angka pengangguran intelektual dan otomatis kemampuan ekonomi rakyat pun semakin rendah.
Asumsi yang dibuat pemerintah dalam menentukan garis kemiskinan di Indonesia adalah mereka yang memiliki pengeluaran di bawah Rp 401.220 perkapita perbulan (sekitar Rp 13 ribu perhari). Apalagi PBB pada tahun 2015 telah merevisi pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1,25 dolar (AS) menjadi 1,9 dolar (AS). Berdasarkan standar ini orang dinyatakan sangat miskin jika pengeluarannya/pendapatannya kurang dari 1,9 dolar perhari (sekitar Rp 27. 550 perhari).
Penentuan ambang batas kemiskinan tersebut dipertanyakan banyak kalangan. Pasalnya, standar pemerintah dalam menentukan angka kemiskinan tidak logis. Bayangkan jika setiap orang dengan pengeluaran Rp 15 ribu perhari, akan dianggap sejahtera, mereka dianggap bukan orang miskin, padahal sangat jelas dengan uang 15 ribu, orang akan makan satu kali dalam satu hari itupun ala kadarnya, sedangkan manusia tidak hanya makan satu kali dalam satu hari, belum lagi yang lainnya seperti pakaian, tempat tinggal, kesehatan, trasnportasi, pendidikan, dll. Faktanya itu semua tidak gratis.
Dimana, seharusnya Negara adalah pelayan umat tetapi faktanya negara hanya sebagai regulator yang melayani kepentingan para pemilik modal. Bahkan tanpa ragu ikut bermain didalamnya, berdangan mencari untung dari tugas penjaminan hak dasar umat dan hak publik mereka.
Seperti itulah yang terjadi di bidan kesehatan, kisruh kenaikan premi BPJS dan pelayanan yang kurang memadai menjadi topik yang tidak kunjung usai, juga transportasi masal, bidang pendidikan juga tidak luput dari kapitalisme, biayanya semakin tak terjangkau oleh rakyat menengah ke bawah.
Paradigma kapitalisme demokrasi memang nihil dari nilai-nilai kebaikan. Ruh sekularisme, liberalisme dan materialisme demikian kental merasuki para pengembannya. Akibatnya semua kekayaan milik rakyat dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang. Di negara ini telah terjadi privatisasi sektor publik seperti jalan tol, air, pertambangan gas, minyak bumi dan mineral. Akibatnya jutaan rakyat terhalang untuk menikmati hak mereka atas sumber-sumber kekayaan tersebut yang sejatinya adalah milik mereka.
Standar Islam Dalam Kategori Kemiskinan
Dalam Islam, standar kemiskinan tidak diukur atau dinilai dari besarnya pengeluaran atau pendapatan saja, tetapi dari kebutuhan asasiyah (pokok) perorangan. Kebutuhan ini pencakup sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan secara layak. Allah Swt berfirman :
"Kewajiban para ayah memberikan makanan dan pakaian kepada keluarga secara layak"(Tqs Al-Baqarah: 233)
Bahkan dalam islam, orang baru dikatakan kaya atau sejahtera jika memiliki kelebihan harta di atas 50 dirham, dalam hal ini Rasulullah Saw. Bersabda :
“Tidaklah seseorang meminta-minta, sementara ia kaya, kecuali pada hari kiamat nanti ia akan memiliki cacat di wajahnya “. Ditanyakan kepada beliau “ Ya Rasulullah, apa yang menjadikan ia termasuk orang kaya?”. Beliau menjawab “harta sebesar 50 dirham “ (HR an-Nasa’I dan Ahmad).
Mengomentari hadits diatas. Syaikh Abdul Qadim Zallum menyatakan “Siapa saja yang memiliki harta sebesar 50 dirham atau setara dengan 148,75 gram perak, atau senilai dengan emas seharga itu yang merupakan kelebihan/sisa dari pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, tempat tinggal, juga pemenuhan nafkah istri dan anak-anaknya serta pembantunya maka ia dipandang orang kaya. Ia tidak boleh menerima bagian dari zakat" (Abdul Qadim Zallum, Al-Ammwal fi ad-Dawalah al-khilafah, hal 173)
Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan
Pertama : secara individual, Allah Swt memerintahkan setiap Muslim yang mampu untuk bekerja mencari nafkah untuk dirinya sendiri dan keluarga yang menjadi tanggungannya. Rasulullah Saw bersabda: “Mencari rezeki yang halal adalah salah satu kewajiban di antara kewajiban yang lain” (HR ath-Thabrani).
Jika seseorang miskin, ia diperintahkan untuk bersabar dan bertawakal seraya tetap berprasangka baik kepada Allah Swt sebagai Zat pemberi rezeki. Haram bagi dia berputus asa dari rezeki dan rahmat Allah Swt.
Kedua : Secara jamaah (kolektif) Allah Swt memerintahkan kaum Muslim untuk saling memperhatikan saudaranya yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Rasulullah Saw bersabda : “Tidaklah beriman kepadaku siapa saja yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya kelaparan, padahal ia tahu (HR ath-Thabrani dan al-Bazzar)
Ketiga : Allah Swt memerintahkan penguasa untuk bertanggung jawab atas seluruh urusan rakyatnya, termasuk tentu menjamin kebutuhan pokok mereka. Rasulullah Saw bersabda. “Pemimpin atas manusia adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Di Madinah, sebagai kepala negara, Rasulullah saw, menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya dan menjamin kehidupan mereka. pada zaman beliau ada Ahlus-Shuffah. Mereka adalah para sahabat tergolong dhuafa.
Ini dicontohkan juga Pada masa Khalifah, Amirul Mukminin Umar bin al-Khathtab yang biasa memberikan intensif untuk setiap bayi yang lahir demi menjaga dan melindungi anak-anak. Beliau juga membangun “rumah tepung” (dar ad-daqiq) bagi para musafir yang kehabisan bekal. Begitupun pada masa Kekhalifahan Abbasiyah dibangun rumah sakit yang lengkap dan canggih pada masanya yang melayani rakyat dengan cuma-cuma.
Maka dari itu, sudah saatnya kita kembali pada syariat Islam yang memang berasal dari Allah Swt dan menerapkannya secara komprehensif ditengah-tengah kehidupan umat. Karena hanya dengan syariah-Nya yang bisa menjamin keberkahan hidup manusia dan mari kita campakkan sistem yang nyata-nyata kebobrokannya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.