Kebijakan Impor Menyengsarakan Petani Garam



         Oleh : Deslina Zahra Nauli, S.Pi
      Pemerhati Sosial, Member Akademi Menulis Kreatif (AMK)

Miris melihat nasib petani garam di negeri maritim ini. Mereka ibarat ayam mati di lumbung padi. Petani garam seharusnya sejahtera dengan potensi garis pantai Indonesia yang panjang. Namun nyatanya justru sengsara. Ketika panen, garam mereka tak laku. Bukan untung yang didapat tetapi malah buntung. Karena hasil panen tak cukup untuk menutupi biaya produksi.

Seperti dilansir oleh  republika.co.id (27/11/2019), garam rakyat petani Cirebon, Jawa Barat, saat ini tidak laku di pasaran. Garam masih menumpuk di gudang serta pinggir jalan. Petani garam Cirebon, Insyaf Supriyadi mengatakan, saat ini garam rakyat tidak laku dijual sama sekali. Hal ini tentu membuat para petani hanya gigit jari. Hal serupa juga terjadi pada petambak garam di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Robedi salah satunya menyebutkan, harga garam di tingkat petambak di daerahnya saat ini hanya di kisaran Rp 150 sampai Rp 200 per kilogram (kg). Menurutnya, harga itu merupakan yang terendah sejak 12 tahun terakhir. Sepanjang tahun ini, harga garam ditingkat petambak memang tak berpihak pada mereka. Kondisi itu dipengaruhi menumpuknya stok garam sejak 2018 lalu akibat masuknya garam impor.

Juli lalu pun harga garam telah anjlok. Harga jual garam berada di kisaran Rp 300 per kilogram (kg). Puluhan ribu ton garam produksi petani tambak lokal pada tahun lalu pun belum terjual. Di saat bersamaan, penyerapan garam lokal oleh industri rendah. Kondisi ini diduga terjadi karena keberadaan garam impor. Parahnya, harga garam yang saat awal musim panen 2018 sempat menyentuh Rp 12 ribu per kg, berpotensi makin jatuh karena sudah memasuki masa panen. Para petambak cemas harga garam terjun bebas ke level Rp 50 per kg karena stok akan makin melimpah. (republika.co.id, 05/06/2019)

Impor, Kebijakan Menyengsarakan Rakyat

Polemik kebijakan impor garam terjadi di tahun 2018 antara Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Susi Pudjiastuti dengan Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita. Pasalnya, terdapat tumpang tindih regulasi setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri. Pasal 6 menyebutkan bahwa untuk keputusan persetujuan impor komoditas perikanan dan pergaraman tetap menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan. Sebenarnya, Menteri KKP sudah mengingatkan "Kalau kita boleh mengatur seperti 2016, petaninya makmur, produksinya naik. Sekarang produksinya naik tapi harga kadang-kadang turun karena pelaku impor melaksanakan impor saat (petani domestik) panen," kata Susi. Namun, Kementerian Perdagangan nyatanya tetap mengimpor garam.

Ketika akan dilakukan impor,  terjadi perbedaan pendapat. Kementerian Perindustrian menyatakan bahwa angka kebutuhan industri 3,7 juta ton per tahun. Sedangkan Kementerian Kelautan dan Perikanan berdasarkan rapat mereka dengan BPS minta 2,2 juta ton. Kemudian diputuskan impor garam sebesar 3,7 juta ton.  Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor garam Indonesia periode (Januari-Februari 2018) mencapai 299 ribu ton dengan nilai US$ 9,5 juta (www.liputan6.com, 25/01/2018). Jumlah ini, ditambah dengan panen garam 2018 membuat stok semakin besar. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan produksi garam nasional hingga akhir Oktober 2018 telah mencapai 1,94 juta ton. Angka ini sudah melingkupi produksi dari rakyat dan dari PT Garam. Angka ini cukup berbeda dengan versi asosiasi petani garam di 2,2 juta ton. Telah jelas bahwa kebijakan impor garam membuat stok berlebih. Sehingga ketika panen tiba, garam petani tidak laku, kalau pun laku maka harganya anjlok. Akibatnya, membuat petani merugi.

Kebijakan impor tak hanya merugikan petani garam. Namun berpotensi mematikan petani garam di Indonesia. Pasalnya, di balik kebijakan ini justru hanya memiskinkan petani garam dan hanya memperkaya para cukong-cukong kapitalis yang bersembunyi di balik kebijakan impor. Hal ini tidak terlepas dari sistem kapitalisme yang mencengkeram negeri ini. Kapitalisme lah yang mengubah negeri maritim dan agraris ini menjadi negeri importir pangan. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan pemerintah akan senantiasa diarahkan untuk kepentingan para kapitalis. Maka tidaklah mengherankan jika kebijakan-kebijakan yang dilahirkan malah semakin menyengsarakan kaum mayoritas (rakyat),  dan menyejahterakan kaum minoritas (kapitalis).

Pengelolaan Garam Dalam Islam

Menurut Islam, garam termasuk kekayaan alam yang menjadi kepemilikan umum.
Secara global, barang tambang yang nyata dan diperoleh tanpa kesulitan, yang dimanfaatkan oleh publik seperti garam, air, belerang, tir, bahan untuk balsem, minyak tanah, batu celak dan tanah untuk bahan periuk tidak boleh dimiliki oleh sekelompok manusia. Sebab, hal itu bisa menggoyahkan ketenteraman manusia, ditambah dengan alasan Nabi Saw pada sebuah hadis. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul Saw untuk dapat mengelola  sebuah tambang garam. Rasul Saw lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul Saw kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. 
Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula, Rasulullah Saw memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, Rasul Saw mengetahui  bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar digambarkan bagaikan air yang terus mengalir maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.

Dengan demikian, diperbolehkan bagi masyarakat untuk membuat langsung garam untuk kebutuhan sehari-harinya. Tanpa terjadi monopoli di dalamnya. Di sisi lain, negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan garam seluruh rakyat. Negara akan optimal mengelola garis pantai Indonesia yang dapat dijadikan tambak garam. Kemudian hasilnya akan didistribusikan kepada seluruh rakyat sebagai bentuk kepengurusan (riayah) negara terhadap rakyat. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

Khalifah akan mengerahkan para pakar untuk meningkatkan produksi garam. Adapun petani garam dapat bekerja sebagai pegawai negara dalam mengelola garam. Dengan demikian, pengelolaan garis pantai dengan benar dan serius akan mewujudkan swasembada garam.
Wallaahu a'lam bishshawaab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak