Oleh: Masra La Usu
Mahasiswi Ekonomi dan Bisnis Universitas Khairun Ternate
Belakangan ini, makin banyak manusia yang menginginkan kebebasan dalam menjalani hidupnya. Baik itu kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, kebebasan hak milik, maupun kebebasan beragama. Mereka banyak yang tak mau hidup dengan aturan yang sejatinya hakiki untuk kebaikan mereka. Dalam kehidupan yang mereka jalani, mereka lebih banyak bergaya hedonisme. Misalnya Ketika di sampaikan aturan berpakaian seorang muslimah kepada seorang muslimah, ada yang menjawab, “hidup saya adalah hak saya. Jadi terserah saya mau jalanin hidup seperti apa, toh dosa saya sendiri yang nanggung.” Inilah salah satu contoh dari kebebasan berekspresi.
Mereka mengira kebebasan yang mereka ingini itu akan membuahkan hasil yang membuat hidup mereka sejahtera. Sampai-sampai karena kuatnya keinginan, mereka tidak lagi mngindahkan norma-norma agama, khususnya Islam. Mereka telah salah memaknai kebebasan yang sesungguhnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ofline, kata “kebebasan” artinya kemerdekaan. Kebebasan memiliki kata dasar bebas yang berarti lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat dengan leluasa).
Meminjam istilah Dr. Syamsuddin Arif, para pengusung kebebasan lalu menyandarkan alasan mereka pada sebuah konsesus yang merujuk kepada Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM/HAM). Sehingga dengan itu mereka dapat berkilah, bahwa setiap individu punya kemerdekaan dan kebebasan “dari” dan “untuk” melakukan sesuatu. (Baca: Islam Versus Kebebasan/Liberalisme, Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, 2000)
Dari keterangan di atas yang ditambah dengan hegemoni Barat yang makin menggurita, tak jarang menjadikan umat islam itu keliru dalam memaknai kebebasan. Kebebasan menurut Barat adalah kebebasan yang tidak terikat dengan aturan agama. sehingga ketika manusia berbuat sesuatu, itu tak ada kaitannya dengan agama. Agama yang mereka percayai itu hanya di tempatkan ke pojok-pojok rumah ibadah, seperti masjid dan gereja. Inilah yang dinamakan pemikiran sekuler (pemisahan agama dari kehidupan).
Dengan ideologi kapitalis-sekularisme, Barat berusaha menjauhkan umat muslim dari ajarannya. Mereka kemudian menggunakan kata kebebasan (freedom) seolah menjadi jaminan bagi kehidupan umat. Padahal nyatanya, kebebasan itu malah membungkam hak-hak rakyat sendiri. ketika penguasa bertindak zalim terhadap rakyat, kemudian rakyat sontak menyuarakan hak-hak mereka, lantas penguasa pun tak mendengarkan suara rakyat. Pemerintah menjadikan kritik sebagai penyakit yang harus dihilangkan. Dan terlihat jelas akan ambiguitas rezim kapitalis-sekularisme yang seolah menjamin kebebasan, namun faktanya anti kritik.
Suara-suara rakyat dibungkam dan ditanggapi dengan nada emosional dan cenderung memperlihatkan pembelaan diri. Tidak hanya rakyat, personil militer pun ikut di kenai sanksi bila ada ungkapan yang kontra terhadap rezim. Seperti yang terjadi beberapa bulan lau pada peristiwa penusukan Wiranto yang mana ada seorang istri tentara yang dengan perkataannya membuat jabatan suaminya dicopot dari kemiliteran.
Adalah hal yang wajar, karena kapitalis sekularisme memang akan memunculkan tirani minoritas atas mayoritas. Karena dalam sistem ini, kekuasaan adaalah alat kepentingan individu atau kelompok.
Inilah kerusakan sistem kapitalis-sekularisme. kebebasan yang notabenenya katanya menjamin kebebasan bagi individu, justru dalam penerapannya malah menjadi pembungkaman bagi hak-hak yang seharusnya menjadi milik rakyat. Bahkan rakyat semakin terzalimi dengan berbagai kebijakan yang ada, baik dari aspek ekonomi, politik, pendidikan, dan kesehatan. Meskipun demikian, anehnya sampai sekarang, masih ada kaum muslim yang meyakini bahwa demokrasi (yang merupakan anak dari kapitalis-sekularisme) itu dapat menjadi jalan perubahan yang shohih. Padahal rakyat sudah merasakan sendiri kesengsaraan akibat hidup di dalam kungkungan sistem kapitalis-sekularisme.
Bagaimana mungkin hidup tidak sengsara, toh aturan yang dipakai di dalam sistem ini berasal dari manusia yang serba lemah dan punya banyak kekurangan. Sungguh ini sama halnya dengan melakukan penghambaan kepada manusia, sama saja kita menjadi budak di negeri sendiri, sama saja kita hidup di zaman jahiliyah, dan sama saja kita percaya Allah sebagai Sang Pencipta akan tetapi kita tidak percaya bahwa Allah sebagai Sang Pengatur kehidupan kita, padahal aturan dari-Nya itu merupakan aturan yang terbaik, tidak ada yang bisa menandingi.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita kembali kepada aturan Islam yang bersumber dari Sang Pencipta sekaligus sebagai Sang Pengatur. Karena hanya dengan kembali kepada aturan Islam secara kaffah-lah, hidup kita akan mendapatkan kebebasan yang sebenar-benarnya. Dan nagi seorang muslim, puncak penghambaan seorang hamba adalah ketika ia menyatakan ketidakberdayaan dirinya dihadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian halnya ketika bicara konsep kebebasan manusia, ia dikatakan sosok yang merdeka ketika berhasil memastikan dirinya melebur tanpa syarat dalam aturan Allah dan Rsul-Nya. Sehingga dengan ini kita bebas dari penjajahan yang memperbudak kita, kita bebas mengkritik penguasa apabila ia telah menyimpan dari syariat Islam, kita bebas menuntut hak-hak kita yang tidak terpenuhi seperti kebutuhan sandang, papan dan pangan.
Dalam sistem Islam, negara akan menjamin kebutuhan umat seperti memberikan pendidikan yang gratis, menyediakan pelayanan kesahatan dengan cuma-cuma, memberikan perkerjaan bagi umat, dan kebutuhan pokok umat dipenuhi. Sehingga hal ini akan membuat hidup umat lebih sejahtera, dan ini sudah terbukti ketika Islam berjaya selama 14 abad.