Oleh : Sera Alfi Hayunda, S.Pd
(Aktivis Muslimah Milineal Ponorogo)
Pada 2020 nanti, perasaan khawatir para pencari kerja di Indonesia rasa-rasanya sedang diberikan harapan manis. Hal ini karena Presiden Joko Widodo (Jokowi), sewaktu masa kampanye pemilu presiden lalu, telah menjanjikan adanya kartu Pra Kerja yang akan mempermudah mendapatkan pekerjaan.
Selama empat tahun pemerintahan Jokowi di periode pertama, tercatat sudah ada lima kartu yang telah ia luncurkan: Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Beras Sejahtera (Rastra), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Pada periode kedua ini, Jokowi masih mengandalkan "Kartu Sakti." Jumlahnya bahkan akan ditambah, termasuk diantaranya adalah Kartu Sembako Murah, KIP Kuliah, dan Kartu Pra Kerja. Program kartu Pra Kerja sendiri akan diluncurkan pada 2020 yang menurut berita peluncurannya akan di undur bulan Maret yang awalnya akan di luncurkan bulan Januari karena belum siap. (Liputan6.com, 05/12/2019).
Menurut Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah menyiapkan Kartu Pra Kerja ini untuk dua juta tenaga kerja yang dipersiapkan untuk masuk masa-masa pra kerja. Padahal, berdasarkan laporan "Data Keadaan Angkatan Kerja" yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia per Agustus 2019 terdapat sebanyak 7,04 juta orang atau naik 0,57 persen dari periode yang sama tahun 2018. Angka pengangguran tertinggi tercatat pada tahun 2015. Namun, angka tersebut menurun pada 2016 dan bertahan di kisaran 6,8 hingga 7 juta orang hingga Februari 2019. (Tirto.id, 06/12/2019)
Jadi bisa dihitung secara kasar bahwa program kartu pra kerja ini jika khirnya terlksan tetap hanya bisa dinikmati sekelumit kecil dari mereka yang di sasar pemerintah. 7 juta di banding 2 juta itu jauh sekali, bisa jadi yang 5 juta ini bisanya ikut mengantri di tahun depan atau entahlah nanti jika tidak bisa dapat antrian karen semakin banyaknya pengangguran yang ada. Belum selesai polemik jumlah penerima Kartu Pra Kerja Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan memeberikan ucapan manis bahwa dalam program ini nantinya akan memberikan insentif sebesar Rp 500 ribu yang akan di bagikan ke tiap-tiap peserta setelah selesai masa kursusnya.(Liputan6.com, 05/12/2019)
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp10 triliun untuk program kartu pra kerja. Anggaran tersebut akan diberikan kepada 2 juta orang penerima kartu program pra kerja.(m.merdeka.com, 10/12/2019)
Jika melihat pemaparan ini memang sebuah janji yang sangat menggiurkan bukan? Tapi masih ada keraguan dalam hati ini bahwa kartu ini tidak akan pernah terwujud secara nyata di masa mendatang. Bagaimana bisa fikiran ini muncul ? Ya tentu saja bisa, karena jika kita mengingat dan mengorek lebih jauh tentang periode sebelumnya yang telah diucapkan dan di janjikan saja tidak terealisasikan. Di tambah lagi hutang di negeri ini sangat banyak. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah per akhir Oktober 2019 berada di angka Rp 4.756,13 triliun. Rasio utang ini mencapai 29,87% terhadap PDB. (CNBC-Indonesia, 18/11/2019)
Adapun posisi utang ini mengalami kenaikan sebesar Rp 277,56 triliun dibandingkan posisi Oktober 2019 yang tercatat sebesar Rp 4.478,57 triliun. (Liputan6.con, 09/12/2019)
Melihat hal ini saja kira-kira bisa berfikirkan lalu dana dari mana yang akan digunakan kelak untuk mewujudkan kartu pra-kerja ini? Ibarat kata program kartu sakti terkhusus kartu pra kerja ini hanya seperti memberikan solusi permasalahan dengan menambah permasalahan baru. Tambal sulam, gali lubang tutup lubang yang tidak tau akan berakhir kapan.
Dengan demikian permasalahan pengangguran di Indonesia akan bisa terselesaikan jika solusi yang di ambil sesuai dengan akar permasalahan yang ada. Ketersediaan lapangan pekerjaan merupakan hal urgent yang harus tersolusikan. Dan ini akan sulit jika pemimpin negeri ini hanya obral janji dan tidak memberikan solusi pasti. Apalagi di tambah Indonesia saat ini sedang di cengkeram sistem neo-liberal. Maka sebelum terlambat sekarat karena cengkeraman sistem neo-liberal, maka Indonesia juga harus berani keluar dari sistem neo-liberal.
Sudah selayaknya, jika negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini mengambil solusi dari aturan Tuhan semesta Alam. Di dalam Islam, seorang pemimpin berkewajiban memberikan pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan sebagai wujud realisasi politik ekonomi Islam. Pemimpin harus memastikan bahwa setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan yang layak sehingga bisa menafkahi keluarganya. Bagaimana Rasulullah SAW bersabda, "Imam adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggung-jawaban terhadap urusan rakyatnya". (HR Bukhari Muslim).
Selain itu dalam Islam mekanisme mengurai masalah pengangguran ini ada 2 mekanisme, yaitu dengan mekanisme individu dan mekanisme ekonomi sosial. Untuk mekanisme individu ini pemimpin melakukan pendekatan dan memberikan pemahaman kepada individu tentang kewajiban bekerja dan kedudukan orang bekerja di mata Allah SWT. Serta palimg penting juga memberikan arahan bahwa yang berkewajiban bekerja itu laki-laki bukan perempuan.
Sedangkan mekanisme ekonomi sosial, maka Islam akan membuka lebar investasi untuk sektor Riil seperti dalam pertanian, perkebunan, kelautan, pertambangan ataupun perdagangan. Yang pastinya ciri khas Islam bahwa dengan tidak memungut pajak, birokrasi yang sederhana dan melindungi industri dari persaingan tidak sehat.
Demikianlah mekanisme Islam dalam menyelesaikan masalah pengangguran. Dan konsep ini akan bisa terlaksana ketika syariah Islam di ambil secara utuh dari tataran Islam mengatur Individu sampai tataran bernegara. Hanya dengan peraturan Islam solusi tuntas bisa di cari, bukan seperti yang kita lihat kini tambal sulm terjadi di sana-sini. Wallahu’alam shaowab.