Oleh: Anggun Permatasari
Di tengah kisruh kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mengakibatkan semakin tingginya angka pengangguran, pemerintah berencana merealisasikan program pemberian kartu pra kerja.
Laman berita online bangkapos.com mewartakan, "Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merealisasikan pembagian kartu pra kerja kepada masyarakat pada Maret 2020. Pada kartu pra kerja tersebut, akan ada saldo sekitar Rp.3,650 juta sampai Rp.7,650 juta."
Kartu pra kerja dibagikan kepada para pengantin baru yang masuk kategori miskin. Pemberian kartu pra kerja kepada para pengantin baru ini masuk ke dalam program sertifikasi nikah. Setelah calon pengantin menyelesaikan bimbingan nikah selama tiga bulan, mereka yang tidak mempunyai sumber penghasilan diperkenankan mengikuti pelatihan lanjutan alias pra kerja.
Alih-alih memberi tunjangan hidup bagi pengantin baru yang tidak mempunyai penghasilan, pemerintah justru menciptakan masalah baru. Mengapa? Karena, apabila kita melihat fakta yang terjadi saat ini sumber dana yang akan digunakan untuk mengisi saldo kartu pra kerja tersebut belum jelas.
Media online cnbcindonesia.com menuliskan, posisi utang negara Indonesia per oktober 2019 4756,13 Triliyun. Rasio utang ini sendiri sudah menyentuh angka 29,87% dari PDB.
Dan menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, "Adapun posisi utang ini mengalami kenaikan sebesar Rp 277,56 triliun dibandingkan posisi Oktober 2019 yang tercatat sebesar Rp 4.478,57 triliun. Oleh sebab itu, dikhawatirkan program kartu pra kerja nantinya akan semakin membebani anggaran negara.
Kartu pra kerja konon akan segera direalisasikan dengan nominal menggiurkan sekitar Rp.3,650 juta sampai dengan Rp.7, 650 juta. Setelah calon pengantin menyelesaikan bimbingan pra nikah selama tiga bulan, mereka yang tidak mempunyai sumber penghasilan diberi kesempatan mengikuti pelatihan lanjutan alias pra kerja.
Uang yang ada di dalam kartu itu digunakan untuk membiayai program pelatihan yang diambil oleh para pencari kerja atau yang terkena PHK dan ingin mendapatkan pekerjaan baru.
Kartu ini juga diberikan untuk pasangan yang memilih membuka usaha sendiri ketimbang bekerja. Pasangan yang sudah memiliki kartu pra kerja juga dimudahkan untuk memperoleh kredit usaha rakyat (KUR) yang terhubung dengan Kementerian Koperasi dan UMKN.
Jadi, dari uraian di atas ternyata kartu pra kerja hanya diberikan kepada pasangan suami-istri yang telah mengikuti pelatihan dan mempunyai sertifikat perkawinan, bukan untuk semua laki-laki yang berstatus pengangguran.
Dengan melihat fakta yang terjadi di Indonesia, jelas ini bukanlah jalan keluar untuk menekan angka pengangguran akibat korban PHK atau pemuda usia produktif yang sulit mendapat pekerjaan.
Harusnya, pemerintah melihat dengan jeli kasus tingginya angka pengangguran agar bisa mengambil kebijakan yang tepat untuk menanggulanginya. Karena, masalah pengangguran bukan masalah sepele namun masalah sistemik yang penyebabnya harus diurai satu demi satu.
Penyelesaian kasus tingginya angka pengangguran bukan sekadar mengadakan pelatihan-pelatihan bagi indvidu dan tunjangan pra kerja yang hanya mungkin diakses oleh segelintir calon tenaga kerja. Tetapi lebih pada memperbaiki sistem ekonomi negeri agar kuat, handal dan memiliki integritas.
Buruknya kualitas pendidikan yang diterima sebagian besar masyarakat Indonesia mengakibatkan taraf berpikir masyarakatnya rendah. Kurikulum yang setiap tahunnya selalu berubah-ubah menyebabkan anak-anak kurang mendapat pendidikan keterampilan sebagai implementasi dari pelajaran yang diajarkan di kelas.
Dan yang paling dirasakan saat ini adalah laju perekonomian yang kian lesu dan dibukanya kran impor tenaga kerja asing masuk mengisi perusahaan-perusahaan.
Oleh sebab itu, yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini adalah dibukanya lapangan kerja, iklim usaha yang kondusif bagi pribumi dan yang paling utama adalah keseriusan pemerintah untuk membenahi kondisi ekonomi secara fundamental.
Islam memerintahkan negara menjamin tersedianya lapangan kerja dan kemampuan bekerja bagi setiap laki-laki yang wajib bekerja. Dengan kebijakan, undang-undang dan sistem birokrasi yang tidak berbelit-belit yang fokus pada kesejahteraan rakyat tentunya memudahkan terbukanya lapangan kerja. Kemudahan sarana dan prasarana pendidikan baik formal maupun keterampilan kiranya mampu meningkatkan kompetensi individu untuk menghasilkan karya.
Islam melarang penguasa melanggengkan kekuasaan dengan kebijakan yang berorientasi pencitraan ala rezim oligarki saat ini. Kebijakan yang sepintas manis namun hanya angan-angan semu dalam realita.
Seorang pemimpin dalam Islam adalah orang yang bertanggungjawab penuh terhadap semua kebutuhan lahir-batin rakyatnya. Bahkan, penguasa wajib menjaga aqidah umat.
Belajar dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dahulu beliau membuat kebijakan yang menyasar kepada rakyatnya yang ingin menikah namun tidak memiliki biaya. Dia memutuskan bahwa siapa saja yang tidak sanggup membayar mahar, maka negara akan menanggungnya. Dengan kata lain, beliau memberikan subsidi kepada rakyatnya yang memiliki keinginan untuk menikah akan tetapi tidak memiliki uang untuk membayar mahar.
Demikian juga dengan keputusan yang dibuat beliau ketika berada di Masjid Kuffah sebagaimana diungkapkan Muhammad bin Sa’ad dari Abu al-A’la. "Begitu pun Umar bin Abdul Aziz juga memutuskan bahwa siapapun yang memiliki tanggungan tapi ia tidak mampu membayarnya maka negara yang akan menanggungnya."
Baginda nabi Muhammad Saw pernah berdoa, “Ya Allah, barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk menangani urusan umatku, lalu ia mempersulit mereka, maka persulitlah hidupnya. Dan barangsiapa yang diberi tanggung jawab untuk mengurusi umatku, lalu ia memudahkan urusan mereka, maka mudahkanlah hidupnya.” (HR Muslim).
Wallahualam.
Tags
Opini