Oleh: Aishaa Rahma (Founder Sekolah Bunda Sholihah, Malang)
Bicara kapitalisme tentu sangat jauh dengan parenting yang mengurusi ranah keluarga. Seperti yang diketahui, kapitalisme selalu menggodok perihal ekonomi, politik, ideologi. Sementara keluarga masuk dalam ranah psikologi. Lantas apa korelasinya?
Bicara masalah parenting di era kini justru tidak boleh lepas dari pembahasan kapitalisme. Sebab, kapitalisme merupakan paham yang sekarang tengah menjadi atmosfer kehidupan manusia modern, termasuk dalam kehidupan keluarga dan anak anak.
Bangunan yang melingkupi kehidupan keluarga masa kini, berada dalam payung kapitalisme. Namun sebelum memahami apa makna kapitalisme, sejarahnya, dan mengapa menjadi pusat peradaban dunia, ada baiknya membaca snapshoot berita yang menampilkan kekacauan kehidupan keluarga dan anak anak di era kapitalisme ini, agar menjadi waspada dan berhati-hati serta sadar dengan apa yang telah mengancam kehidupan sang buah hati.
Seorang Balita Tewas Seusai Digelonggong 8 Cangkir Air Putih Oleh Ibu KandungTribunnews.com. Sabtu, 26 Oktober 2019.
Tepergok Remas Payudara Cewek di Jalan, Supriyadi Keok Diamuk Warga. Suarajatim.id. Rabu, 20 Nopember 2019.
Gadis Remaja Jadi Korban Perkosaan di Toilet Sekolahan, Nyaris Digilir Teman Pelaku. Tribunnews.com. Senin, 7 Oktober 2019.
Tewas Dianiaya Pembantu, Bayi 3 Bulan Dimakamkan di Sukabumi. Poskotanews.com. Selasa, 29 Januari 2019.
Asyik Main Hape, Seorang Ibu Tak Sadar Bayinya Tenggelam di Dasar Kolam. Nexttrend.grid.id. Jumat, 7 September 2018.
Setelah Teror Pelemparan Sperma, Kini Muncul Pria yang Pamerkan Alat Kelaminnya di Jalan. Tribunnews.com. Rabu, 20 November 2019.
Usai Crosshijaber Viral, Crossdresser Hamil Sekarang Muncul! Okezone.com. Selasa, 15 Oktober 2019.
Kasus Ibu Bunuh Bocah 5 Tahun dan Incest dengan Anak Kandung, Suami Kurang Beri Kebutuhan Biologis. Tribunsolo.com. Selasa, 1 Oktober 2019.
Dua Remaja 15 Tahun Ini Jual Keperawanan Seharga Rp 260 Juta. Tribunnews.com. Jumat, 24 Mei 2019.
Bocah SD di Probolinggo Perkosa Siswi SMA hingga Melahirkan. Merdeka.com. Selasa, 16 April 2019.
Detik-detik Bocah SD Dikeroyok Bergiliran Teman-temannya, Tersebar di Media Sosial Facebook. Tribun-timur.com. Selasa, 27 Agustus 2019.
Siswa SMP di Kupang Bunuh Diri karena Tak Bisa Bunuh Ayahnya. Kompas.com. Selasa, 15 Oktober 2019.
Remaja 14 Tahun Tewas Karena Mabuk Lem. Grid.id. Selasa, 23 Juli 2019.
Beberapa judul berita diatas tentu saja hanya secuil dan tak mewakili sekian banyak potret kegagalan kehidupan keluarga. Dan lebih jauh lagi, menggambarkan kerusakan tata kelola peradaban manusia yang lebih luas. Jelas terpampang nyata permasalahan sosial dan sistemik ini menimpa anak dan keluarga. Tak hanya satu dua masalah keluarga, tetapi hampir semua keluarga dihantui dengan permasalahan sosial yang semakin kompleks. Kerusakan ini menjadi ancaman bagi setiap anak yang terlahir ke dunia. Termasuk keluarga kita. Sebuah kerusakan yang sudah melebihi bencana dalam sejarah kemanusiaan.
Tidak salah bila dikatakan, setiap anak yg lahir bila tidak dijaga dengan perhatian ekstra, maka akan terbentuk paham kapitalisme. Mereka akan tumbuh menjadi pribadi pribadi yang bermasalah. Bahkan, kelak dewasa mereka akan gagal pula dalam menjalani peran dalam kehidupan dan sama sekali tidak memberi sumbangsih dalam membangun peradaban umat manusia.
Pertanyaannya, apa yang telah membuat kacau kehidupan keluarga dan anak anak hari ini? Jawabnya, kehidupan yang rusak saat ini karena jauh dari Islam. Agama tidak menjadi pengatur dan penggerak kehidupan manusia. Agama tidak tampak perannya dalam pengaturan negara dan masyarakat. Agama hanya berada di masjid belaka. Bahkan tabu bila digunakan sebagai pengaturan publik. Faktanya, selama ini negara dan masyarakat hanya boleh diatur dengan mengandalkan pikiran manusia yang berorientasi kepuasan materi.
Tahukah anda, bagaimana kehidupan tanpa agama bermula? Berawal pada abad pertengahan, kehidupan publik Eropa diatur oleh gereja dan kerajaan. Sistem pemerintahan teokrasi telah menjadikan raja sebagai wakil tuhan di muka bumi. Segala hal yang menentang negara dianggap menentang Tuhan. Pemerintahan teokrasi sangat menindas rakyat. Dogma gereja memonopoli kebenaran secara tidak rasional. Kebenaran ilmiah yang bertentangan dengan kepercayaan gereja dianulir. Ilmuwannya dibawa ke tiang gantungan, seperti yang menimpa Galileo Galilei.
Sekitar 17 pengadilan inkuisisi Spanyol, masing masing membakar rata rata 10 pelaku penentang doktrin katolik. Selama masa inkuisisi diperkirakan ada puluhan bahkan ratusan ribu orang yang disiksa diluar batas kemanusiaan. Penyiksaan berupa potong kaki atau tangan, dibakar hidup hidup, diasingkan, disita seluruh harta benda, dan berbagai hukuman fisik yang bercucuran darah yang merusak total kehidupan mereka. Tak terhitung cerita tahanan bawah tanah yang mengalami penyiksaan keji, dikurung dalam lubang yang kotor, hidup dengan tikus dan kutu serta berbagai penyakit. Semua hanya karena tidak sepaham dengan doktrik Paus.
Berlanjut dengan revolusi kedua, dimana babak pertentangan antara intelektual dengan kaum gereja. Kaum intelektual memimpin perlawanan terhadap praktik kekuasaan yang korup dan sewenang-wenang. Mereka memprotes keras penistaan hak-hak rakyat yang mengatasnamakan Tuhan. Mereka menginginkan perubahan. Hingga konflik ini berakhir dengan sebuah kompromi, di mana agama tetap boleh ada, tapi tidak boleh masuk dalam pengaturan urusan ekonomi, politik, hukum, sosial, dan ranah publik yang lain. Agama cukup menempati ruang pribadi, di rumah atau tempat ibadah. Paham yang menempatkan agama pada sektor pribadi dan tidak masuk dalam kehidupan publik ini disebut sekulerisme.
oleh Syaikh Taqiyuddin An- Nabhani sekulerisme didefinisikan sebagai paham pemisahan agama dari kehidupan, sementara Syaikh Sayyid Qutb mendefinisikannya sebagai iqomatul hayat ala asasin ghoiril Islam, membangun kehidupan di atas landasan bukan Islam. Karena aspek ekonomi yang paling menonjol dalam paham ini, maka sekulerisme dinamakan pula kapitalisme. Jadi sejatinya kapitalisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan berorientasi hanya pada kepentingan kapital.
Dengan kapitalisme ini agama memang menjadi terpinggirkan dalam pengaturan masyarakat. Religiusitas hilang dalam kehidupan publik. Kehidupan menjadi materialistis dan kering. Kehidupan seperti ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk dalam dunia Islam, melalui aktivitas penjajahan. Indonesia misalnya, mengenal kehidupan seperti dari para penjajah, mulai dari masa Spanyol, Portugis maupun Belanda. Celakanya, kehidupan yang jauh dari nilai religius ini semakin masif pengaruhnya di era globalisasi. Sekarang hampir seluruh dunia terjangkit kehidupan sekuler kapitalis yang dulu lahir di Eropa.
Apa bahayanya paham kapitalisme terhadap kehidupan, khususnya kehidupan keluarga? Paham ini jelas mereduksi makna manusia sebagai makhluk ekonomi yang berlomba menumpuk harta serta mengesampingkan agama. Bisnis-bisnis dibangun dengan semangat mengakumulasi modal. Bisnis besar Para kapitalis menggurita dengan semangat mencari laba demi keuntungan itu sendiri. Kekuatan bisnis para kapitalis bahkan dapat melebihi kekuasaan negara negara. Abraham Lincoln pernah berkata, "dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat". Sekarang? Kehidupan berjalan seperti yang disampaikan presiden Rutherford, yakni "Dari korporasi, oleh korporasi, dan untuk korporasi."
Kebijakan negara, termasuk dalam bidang pendidikan, tak lepas dari pengaruh kepentingan bisnis kapitalis ini. Hampir semua sendi kehidupan manusia dimasuki kepentingan para pebisnis. Lihatlah saja apa yang terjadi di sekitar kehidupan kita, di sekitar kehidupan keluarga kita, dan di sekitar anak-anak kita, semuanya tidak lepas dari kepentingan bisnis yang selalu haus mencari keuntungan tanpa peduli dengan kemanusiaan, lingkungan, moralitas dan spiritualitas.
Jadi, kapitalisme yang lahir di Eropa pada abad pertengahan itu telah menjadi udara dalam kehidupan modern. Umat manusia secara keseluruhan bergerak demi mengejar kepentingan ekonomi sambil terus mengerdilkan peran agama. Paham Kapitalisme merusak secara masif semua sendi-sendi kehidupan. Kapitalisme ada di dalam parlemen, pemerintahan, undang-undang, politik, pendidikan, bisnis, hukum, media massa, lingkungan, bahkan isi pengajian para ustadz. Kapitalisme hadir dalam kehidupan keluarga, bahkan kamar dan saku anak kita.
Jika Anda menyalakan televisi kemudian menonton sinetron bersama anak anak, maka paham ini membentuk anda sekeluarga. Mendengarkan dialog para pakar tentang fenomena hukum, politik, ekonomi, sosial budaya, maka paham ini pula yang akan membentuk pola pikir anda. Berikan anak anak gadget, bebaskan dia berselancar dengan dunia maya, memutar YouTube, bermain Facebook, maka bahan ini juga yang akan membentuk buah hati anda. Atmosfer udara mengesampingkan agama dalam kehidupan dengan deras dihirup oleh keluarga dan anak-anak kita. Mereka akhirnya akan semakin jauh dari nilai-nilai agama. Kapitalis tidak membolehkan agama dibawa ke dalam politik, pemerintahan, sosial, ekonomi, dan ranah publik yang lain.
Penting untuk dicatat, kapitalisme telah menciptakan era yang baru di kehidupan manusia sebagai bentuk era kegagalan. Di era ini manusia berlimpah ilmu pengetahuan, tetapi di era ini pula banyak orang yang tidak merasakan kebahagiaan. Di era ini banyak anak yang tidak mendapat perhatian. Di era ini pula banyak sekali keluarga yang berantakan. Masyarakat tenggelam dalam kemaksiatan. Di era ini negara tidak memberikan ketentraman. Di era ini negara besar menciptakan banyak kehancuran.
Mengeksploitasi negara kecil dan menguras sumber daya alamnya adalah ciri Kapitalisme. Di era kegagalan ini kita dapat menyaksikan berbagai krisis multidimensi seperti krisis ekonomi, krisis politik, krisis kemanusiaan, krisis sosial, krisis lingkungan, termasuk krisis keluarga dan krisis keayahbundaan. Krisis yang terjadi pada anak-anak dan keluarga yang telah digambarkan dari contoh berita di atas.
Oleh karena itu, parenting yang dimaksud mencetak manusia, maka tidak boleh lepas dari pembahasan setting kehidupan kapitalisme. pembahasan parenting tidak boleh lepas dari konteks di mana keluarga hidup yaitu era kegagalan. Orang tua wajib berhati-hati dengan bahaya paham kapitalisme serta mengenali cirinya dalam merasuki kehidupan anak-anak. Pemahaman yang baik tentang hal ini akan mendorong kita mencetak anak yang kebal terhadap pengaruh negatif kapitalisme.
Lebih jauh, misi pendidikan keluarga menjadi tidak relevan bila sekedar mencetak generasi sukses prestasi. Parenting yang hanya berorientasi pada sukses pribadi tidak relevan dengan kebutuhan zaman. Parenting tidak boleh sekedar menghasilkan sukses pribadi pada anak-anak, tapi harus berorientasi mencetak generasi Rabbani yang kontributif bagi peradaban. Mengubah kehidupan berjubah kapitalisme menuju kehidupan bertatahkan kemuliaan di atas landasan aqidah Islam. Siapa lagi yang mengubah peradaban dan kehidupan hari ini kalau bukan kita dan anak anak kita? Inilah arti penting pembahasan kapitalisme dalam sisi parenting. Wallahu a'lam.