Kamuflase Oligarki



          Oleh : RAI Adiatmadja

Tujuh orang milenial yang menjadi staf khusus presiden periode kedua 2019-2024, kini menjadi topik kontroversi karena gajinya yang luar biasa tinggi. Pun menjadi polemik karena semakin menggemukan jumlah staf kepresidenan. Jokowi mengenalkan semuanya dengan menyebutkan nama masing-masing serta menjelaskan latar belakang pendidikan mereka serta kiprahnya. Pengusaha-pengusaha muda yang bergerak di bidangnya tersendiri perpaduan pengembangan sosial, pendidikan, filantropi, dan ekonomi anak muda.
“Ketujuh anak muda ini akan menjadi teman diskusi saya, harian, mingguan, bulanan,” ujar Jokowi setelah mengenalkan mereka.
Sebenarnya ada 12 staf khusus yang dipilih presiden, tetapi 7 milenial ini yang menyita perhatian publik, tentu 5 orang selainnya adalah wajah-wajah lama andalan presiden yang selalu memberi dukungan sepenuhnya. Bisa kita cermati bahwa ada atmosfer bagi-bagi kekuasaan atau lebih tepatnya disebut politik akomodatif.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, politik bagi-bagi kekuasaan ini bukanlah barang baru di pemerintahan Jokowi. Tak hanya sekarang, tetapi sejak periode pertamanya.

“Saya kira sih itu sudah menjadi ciri khas utama pemerintahan Jokowi jilid II ini. Akomodatif yang akhirnya mengangkangi prinsip efisiensi dan efektivitas yang didengung-dengungkannya,” kata Lucius saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (22/11/2019)
Menurut Lucius, dengan memilih staf khusus milenial, Jokowi pun sedang membuat citra bahwa dirinya dekat dengan milenial. Padahal, mantan Wali Kota Solo ini hanya menutupi lingkaran oligarki di pemerintahannya. Oligarki sendiri mengandung arti tentang pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Oligarki ini bukan hal baru diusung sedemikian rupa oleh rezim, memberikan kesan dan citra dekat dengan kaum muda, padahal sesungguhnya hanya sebuah cara menutupi kebusukan.
Siapakah para elite terbatas ini? Tentu jawabannya adalah mereka yang memberikan kontribusi serta kucuran dana yang tak terhingga bagi penguasa baik saat pemilu atau pun kondisi sebelumnya.

Bisa kita tinjau lebih detail, mengapa politik oligarki sangat menjerat? Jawabannya karena pengadopsian sistem demokrasi tentu membuat negara para penganut demokrasi tersesat dan terjerat dengan putaran-putaran biaya tinggi. Sudah menjadi rahasia umum, ongkos yang begitu fantastis tidak akan membiarkan perjuangan realistis bisa secara sejati dirintis. Sangat diperlukan manipulasi-manipulasi bagi para pemeran kompetisi, termasuk Jokowi. Ia semakin melenggangkan sayap, mengokohkan gerak sebagai penganut oligarki. Bahkan menjadi boneka para korporasi agar mereka semakin betah memperkuat daya konglomerasi.
Siapa yang akan menjadi korban dari himpitan dan kekejaman oligarki? Tentu korban utama adalah rakyat. 
Himpitan demi himpitan menjerat, kesulitan demi kesulitan semakin memuncak, merusak mental umat, menjauhkan kehidupan dari nilai-nilai keberkahan yang hakiki. Salah satunya adalah infrastruktur yang mengambil dana dari pos-pos BPJS.
Rakyat dituntut untuk membayar beragam premi yang berlabel asuransi dengan berbagai nama cantik sebagai alasan demi kesejahteraan rakyat, faktanya adalah jeratan yang menyengsarakan. Berbagai proyek iming-iming yang  diciptakan membuat rakyat semakin tidak punya daya dan kuasa, bahkan menjadi sasaran paling empuk untuk menjadi penangung beban kebobrokan oligarki.

Sebuah fakta yang tidak bisa kita hindari berawal dari kerusakan sistem yang tidak bersumber pada alQuran dan Sunah. Risiko dan hasil dari menjalankan sistem kapitalis adalah mencipta kerusakan di segala bidang secara masif. Rakyat melarat, pejabat tidak tobat akan disiksa di akhirat.

Bagaimana langkah pemerintahan Islam (Khilafah) dalam menentukan berokrasi agar terhindar dari oligarki? Jawabannya tentu Islam punya langkah khas mengusung sistem yang simpel/sederhana, cepat tuntas, dan cukup pelaksanaanya. Melewati langkah-langkah tersebut, maka bisa dipastikan semua urusan rakyat bisa tidak diselesaikan dengan baik dan cepat. Bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang bertele-tele, panjang prosesnya, pun memakan biaya yang luar biasa. Padahal hakikatnya menolong  orang yang berada dalam kondisi  membutuhkan bantuan perlu dengan dilakukan dengan cepat. Begitulah karakteristik sistem Islam dalam menangani urusan umat.

Kemudian dalam Khilafah yakni menerapkan satu hukum dan undang-undang untuk satu negara. Hukum yang dipakai oleh Khalifah, adalah hukum yang berlaku di semua wilayah. Meliputi hukum syariah dan hukum administratif. Otoritas membuat undang-undang serta peraturan seutuhnya ada di tangan Khalifah, bukan di tangan pimpinan daerah. Inilah yang bisa menutup kesempatan elite politik untuk menjalankan politik oligarki. 

Bisa dipastikan kesenjangan sosial itu tidak akan ada di antara umat, benturan-benturan hukum pun tidak akan terjadi. Seluruh rakyat diwajibkan untuk menaati hukum yang berlaku. Tidak ada hak istimewa bagi Khalifah dan pejabat.
Betapa lengkapnya Islam dalam menyusun birokrasi agar terhindar dari politik oligarki yang bisa membunuh eksistensi rakyat. Sistem Islam yang bisa menjadi jalan keberkahan bagi seluruh alam, kesejahteraan bagi seluruh umat di muka bumi.
SDM yang menempati dan sebagai pemegang tanggung jawab pun dilatih untuk memiliki kepribadian ikhlas dan amanah. Bertakwa kepada Allah dan memiliki pemikiran yang cemerlang.

Mari kita membuka mata dan kuatkan langkah untuk segera menyongsong kebangkitan sistem Islam, menjadi bagian perjuangannya adalah hal yang lebih penting daripada hanya geming dalam kondisi genting.
“ ... maka jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku. Barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (TQS. Thaha: 125)
Wallahu a’lam Bish Shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak