Oleh ; Ainul Mizan
Dalam sebuah talkshow di kanal youtube, Ganjar Pranowo berterus terang akan dirinya yang gemar untuk melihat video porno. Menurutnya, sebagai orang dewasa tentunya hal yang wajar. Lantas ia mempertanyakan salahnya dimana?
Tentunya tidak layak adanya pengakuan demikian di kanal youtube yang bisa diakses banyak orang. Berikut ini ada beberapa hal yang patut dicsrmati bersama.
Pertama, bahwa zinanya mata adalah dengan memandang hal - hal yang diharamkan. Padahal menjaga pandangan mata akan mampu menghadirkan manisnya ketaatan kepada Sang Khaliq. Pandangan mata merupakan salah satu anak panah dari sekian banyak anak panah syetan. Tentunya pandangan mata yang diarahkan kepada hal - hal yang baik akan membekas pada kejiwaan seseorang guna menumbuhkan kebaikan pula. Sebaliknya, pandangan mata yang diarahkan kepada hal - hal yang jelek bahkan sebuah kekejian akan membekas pada kejiwaan seseorang guna menumbuhkan kejelekan pula. Berulangnya berupa ketagihan melihat hal - hal yang berbau porno merupakan kegelapan pada jiwa manusia.
Kedua, terkait dampak pengakuan yang dipublish di media. Seorang publik figur termasuk seorang pejabat akan sedikit banyak memberikan pengaruh pada hitam dan putihnya warna sebuah masyarakat. Pengakuan akan kebiasaan melihat hal - hal yang porno tersebut akan memberikan batu sandungan atas upaya pemberantasan pornografi dan pornoaksi. Betapa tidak?! Apa yang dilakukan seorang pejabat akan dijadikan tameng untuk mengelak dari proses hukum dengan pernyataan "itu pejabat saja menonton video porno". Kalau sudah demikian, akan mustahil dilakukan pemberantasan terhadap pornografi dan pornoaksi.
Miris sekali, ada sebuah berita yang dilangsir oleh www.jateng.idntimes.com, tertanggal 4 Desember 2019, bahwa Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo memberikan hadiah laptop kepada salah satu siswa yang berterus terang mengaku pernah menonton video porno. Pengakuan jujur siswa tersebut guna menjawab pertanyaan Ganjar tentang siapa yang pernah menonton hal - hal yang porno. Parahnya, alasan yang dikemukakan oleh siswa tersebut adalah untuk eksplorasi. Bahkan, Ganjar pun memberikan arahan supaya saat melihat hal - hal yang porno didampingi oleh guru.
Tidak ada lagi perasaan bersalah apalagi berdosa ketika mengakses konten - konten yang berbau porno. Seolah ada pengukuhan legitimasi kebebasan pribadi mengakses konten berbau porno. Parahnya dunia pendidikan yang semestinya bisa membentuk generasi manusia seutuhnya baik dari sisi iman taqwanya dan penguasaan sainstek, justru terdapat arahan untuk pendampingan bereksplorasi pornografi dan pornoaksi. Bukannya melarang siswa mengakses konten porno dan menjelaskan keharaman serta bahayanya. Pertanyaannya, kalau di dalam dunia pendidikan sudah tercemari konten porno, lantas siapakah yang layak diberikan tanggung jawab untuk memberi pembinaan akhlaq kepada generasi?
Ketiga, kalau merujuk kepada UU Pornografi Tahun 2008 Bab IV tentang Pencegahan Bagian kesatu Pasal 17 berkaitan dengan peran pemerintah, dinyatakan: "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi". Faktanya yang terjadi adalah sebuah paradoks. Apakah aturan itu dibuat memang untuk dilanggar?
Sesungguhnya kalau kita berbicara mengenai penegakkan hukum ada 3 pilar yang merupakan satu kesatuan. Ketaqwaan individu, adanya kontrol masyarakat dan peran pemerintah dalam memberikan sangsi, ketiganya mutlak diperlukan dalam menjamin lurusnya penerapan hukum. Pilar yang paling berperan penting adalah pemerintah. Alasannya semua perangkat kenegaraan dimilikinya. Semua kewenangan ada di tangannya.
Rusaknya pemerintah akan berdampak luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Rusaknya pemerintah dalam bentuk perilaku penguasa dan para pejabat serta undang - undang yang digulirkannya. Dan disinilah letaknya ilusi atas upaya penegakkan hukum dan moral.
Selama demokrasi yang dijadikan aturan di dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, maka penegakkan hukum yang adil hanya menjadi impian kosong. Termasuk dalam hal pemberantasan pornografi dan pornoaksi.
Dengan alasan kebebasan berperilaku, dijadikan sebagai tameng untuk membenarkan penyimpangan - penyimpangan yang dilakukannya. Dengan alasan HAM, dijadikan sebagai alibi untuk mengakses hal - hal yang yang berbau porno.
Sudah saatnya Indonesia sebagai negeri muslim terbesar ini mengakhiri ilusi pemberantasan pornografi dan pornoaksi. Demokrasi dengan asas kebebasannya hanya menyuguhkan kerusakan dan dekadensi moral. Dengan kembali kepada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang menerapkan aturan Islam secara paripurna akan mampu dicetak kepribadian individu rakyat yang bertaqwa, kuatnya kontrol masyarakat dan pemerintah yang tegas, bersih dan berwibawa dalam menegakkan hukum. Walhasil, pemberantasan pornografi dan pornoaksi bisa diwujudkan dengan baik demi terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang diliputi keimanan dan ketaqwaan.
#Penulis tinggal di Malang