Ilusi BUMN Bebas Korupsi





Oleh: Darni Sanari, SH
Pemerhati Sosial

Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero). Sesuai fungsi dan tugasnya, Ahok akan mengawasi direksi dalam menjalankan perusahaan, termasuk memberi nasihat. (cnnindonesia.com Sabtu, 23/22/2019).

Pengangkatan Ahok menuai pro dan kontra. Adapun yang pro terhadap Ahok bahwa adanya anggapan Ahok akan membawa perubahan yang baik di tubuh BUMN. Salah satunya datang dari peneliti senior INDEF, Faisal Basri, yang menyebut bahwa Ahok bisa jadi motor perubahan. Dukungan juga datang dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investor yaitu Luhut Binsar Panjaitan. Dia menilai Ahok memiliki kinerja yang bagus. (kompas.com, 22/11/2019).

Adapun yang kontra bahwa, Ahok tidak pantas jadi petinggi di salah satu perusahaan besar BUMN. Sebab mantan Gubernur DKI Jakarta itu dianggap bukan sosok yang ‘bersih’. 
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), Marwa Batubara menilai sosok Ahok tak akan mampu memberantas mafia di tubuh BUMN. Sebab yang bersangkutan memiliki rekam jejak yang buruk. Senada dengan itu, peneliti Institute For Development of Economic and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira menilai Ahok dipilih bukan untuk memperbaiki kinerja bisnis perusahaan BUMN. Beliau beranggapan masih banyak sosok lain yang lebih berpengalaman dan pantas untuk menduduki posisi tersebut. Selain itu pengangkatan Ahok, menjadi petinggi BUMN hanya akan menimbulkan masalah baru. Sebagaimana diungkapkan oleh Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Rizal Ramli.  (kompas.com, 22/11/2019).

Mengurai Akar Masalah 

Sistem kapitalis dengan ‘politik dagang sapinya’ menjadi pemicu tindak kejahatan luar biasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk mencapai kedudukan politik itu memerlukan modal besar. Modal tersebut bisa berasal dari kantong kandidat sendiri, donor perusahaan, atau donor individu. Semua donasi, terutama yang berasal dari perusahaan atau individu kapitalis/pemilik modal, tentu tidak gratis. Dalam hitungan kapitalis, donasi merupakan investasi yang harus kembali beserta keuntungannya.

Jika dulu para kapitalis hanya berada di belakang layar aktor politik. Sekarang mereka langsung duduk dalam jabatan strategis politik tersebut. Meskipun mereka tidak memiliki kapasitas  di bidang tersebut. Para kapitalis melakukan hal tersebut hanya untuk tujuan melindungi, mengamankan, dan menambah kekayaan mereka dengan cara yang tidak halal.

Pengangkatan Ahok juga akan menjadi pukulan bagi pemerintah yang memiliki cita-cita memberantas korupsi. Selain itu, dapat merusak citra buruk KPK, maupun hukum di negeri ini. Pengangkatan Ahok sebagai pejabat pertamina ditentang publik. Karena alasan perombakan pejabat BUMN adalah untuk membersihkan mafia dan sejenisnya. Sementara Ahok bermasalah antara lain kasus dugaan penggelapan lahan RS Sumber Waras.

Tekad berbagai kalangan, termasuk Pemerintah, untuk memberantas korupsi sepertinya tidak akan mengurangi laju korupsi. Korupsi di negeri ini akan semakin menggurita. Sebab pelakunya terkesan dilindungi dan diberi keistimewaan diantaranya diberikan sebuah jabatan di negara.    

Ahok juga merupakan mantan narapidana dalam kasus penghinaan kepada ayat al Quran. Sebagai bukti yang menunjukkan ‘kebenciaan’ kepada Islam. Selanjutnya, berbicara tentang syarat menjadi pejabat negara. Cukup menjadi pertanyaan adalah syarat menjadi pegawai negeri sipil saja, salah satunya adalah tidak pernah menjadi narapidana. Sementara itu, untuk menjadi pejabat negara tidak ada syarat demikian. 

Di samping itu, Ahok diharapakan akan memberikan nasihat dan pengawasan kepada jajarannya (cnnindonesia.com, 23/11/2019). Nasehat apa yang akan diberikan kepada bawahannya. Bukankah selama dia berkuasa menjadi gubernur sudah mencerminkan bagaimana dia terhadap bawahannya? Kalimat yang menyakitkan sering diperdengarkan kepada staf maupun kepada publik. Apalagi masalah keamanahannya perlu dipertanyakan. Apakah dia betul bekerja untuk rakyat atau untuk orang-orang yang pro kepadanya.

Alasan politik yang melatarbelakangi penunjukkan Ahok bisa memperburuk kepercayaan umat terhadap penguasa karena seringnya mengabaikan aspirasi umat. Seolah-olah bagi rezim, Ahok bagaikan dewa suci yang harus dilindungi dan diistimewakan.

Solusi Islam 

Jabatan politik dalam Islam adalah amanah yang ditujukan untuk melayani rakyat dan menerapkan syariat Islam. Rasulullah Saw. mengatakan bahwa setiap pemimpin adalah penggembala yang akan dimintai tanggung jawabnya dihadapan Allah atas masyarakat yang dipimpinnya.

Posisi politik demikian tidak akan ‘menjanjikan’ secara materi. Karena itu, menuju kedudukan politik tidak perlu menguras harta yang besar. Sistem baiat dalam pengangkatan khalifah, pengangkatan kepala daerah oleh kholifah, Pengangkatan menteri maupun birokrasi. Jelas sangat berbeda dengan demokrasi yang digelar dalam sistem kapitalis dengan biaya yang besar. 

Seorang politisi muslim, dalam menjalankan amanah yang dibebankan kepadanya tidak akan memikirkan bagaimana cara mengembalikan modal. Agar tugas mereka optimal dan profesional dilakukan, pejabat negara berhak mendapatkan santunan negara yang layak atau gaji  bagi birokrasi untuk mereka dan keluarganya. Misalnya, Abu Bakar diberi santunan dari Baitul Mal sebagai kompensasi dari bisnis yang ditinggalkannya ketika menjabat sebagai khalifah.

Dengan kondisi seperti ini para pejabat negara, baik kepala negara, kepala daerah, para menteri, dapat melaksanakan sistem politik Islam secara menyeluruh. Negara dapat melakukan perombakan yang besar-besaran terhadap birokrasi jika dinilai korup. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Abdul Azis pada awal pemerintahannya. Bisa menjadi teladan yang baik. Al-Laitss berkata, “Tatkalah Umar bin Abdul Azis berkuasa, dia mulai melakukan perbaikan dari kalangan keluarga dan familinya serta membersihkan hal-hal yang tidak beres di lingkungan mereka. Kepada istrinya Khalifah Umar mengatakan “Pilihlah olehmu, engkau mengembalikan harta perhiasan ini ke Baitul Mal  atau izinkan aku meninggalkanmu  untuk selamanya.” (Tarikh al-Khulafa’, Imam As Suyuti, hlm 273).

Lingkungan birokrasi yang demikian akan memudahkan seorang Muslim menunjukkan jati diri keimananya dalam aktivitas keseharian. Larangan Islam tentang suap, larangan bagi pejabat yang menerima ‘hadiah’, hingga penerapan hukum yang tegas akan mudah terealisasi.

Dalam sistem Islam, penegakkan hukum akan efektif. Sebab telah terbangun kesadaran bagi penegak hukum. Bukan hanya disadari oleh pelaku penegak hukumnya. Namun, terpidana hukum dengan dorongan keimanan, rela diterapkan hukuman atas dirinya. Sebab telah memahami bahwa hukuman tersebut sebagai penebus. Sehingga, tidak dihukum lagi di akhirat dengan hukuman yang lebih berat. Wallahu a’lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak