Oleh : Radhiatur Rasyidah, S.Pd.I Pemerhati Keluarga dan Generasi, Anggota AMK Kalsel
Tanggal 22 Desember setiap tahunnya diperingati sebagai hari ibu. Orang-orang akan mengucapkan ucapan "Selamat Hari Ibu, Happy Mother's Day" dan sejenisnya. Namun tahukah kita bahwa ternyata dalam Islam tidak ada istilah Hari Ibu sebagaimana yang digaungkan selama ini. Karena Islam memandang seorang ibu sangatlah mulia, sehingga setiap detik waktu kita tetaplah harus menumbuhkan rasa cinta dan sayang kepada ibu kita.
Bukan hanya lewat ucapan saat momen hari ibu saja kita mengaku cinta. Alih-alih membantunya, mendo'akannya saja kadang lupa. Begitulah kebanyakan fakta yang terjadi dilapangan.
Mungkin di medsos dia ucapkan "Selamat Hari Ibu, aku sayang ibu" dan seterusnya. Tapi pada kenyataannya ketika sang ibu minta bantuan, dia enggan membantu malah ada yang sampai menghardik dan mencaci maki. Astaghfirullah.
Mungkin juga kita sudah lupa dengan redaksi do'a "Rabbighfirlii wali waalidayya warhamhumaa kama Rabbayanii shagira".
Tak salah Rasul menyampaikan bahwa Surga ada di telapak kaki ibu. Benarlah pula kalau ibu lebih tinggi tiga tingkat dibanding ayah. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radiyallahu'annhu, Rasulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kepada siapa saja dia harus berbakti.
Rasulullah pun menyebut nama Ibu sebanyak tiga kali, sementara ayah hanya satu kali.
"Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu. (HR. Al Bukhari).
Ibu sudah mengandung kita dalam keadaan lelah yang bertambah-tambah. Melahirkan kita kedunia dengan bertaruh jiwa dan raga, berharap syahid dihadapan Allah. Menyusui, membesarkan dan mendidik kita hingga menjadi orang yang berilmu dan bertakwa.
Subhanallaah.
Namun, sayang seribu sayang, ibu yang seharusnya menjadi madrasatul ula (pendidik utama bagi anaknya), kini fitrah keibuannya sudah terenggut oleh aturan yang tak berpihak pada kemuliaan seorang ibu. Hingga mereka dengan terpaksa berjibaku dalam urusan-urusan publik, bekerja bak seorang tulang punggung membantu keuangan rumah tangganya.
Mengapa kondisi semacam ini senantiasa terjadi ? Tidak lain karena aturan yang diterapkan adalah aturan kufur, sistem Kapitalis-Sekularis, yang jelas memisahkan agama dari kehidupan.
Sistem saat ini hanya memandang wanita dari sudut pandang materi. Wanita mulia ketika ia berdayaguna, mampu menghasilkan pundi-pundi keuangan bagi keluarga.
Padahal sejatinya, kita semua akan mulia ketika aturan Allah diterapkan di muka bumi ini. Kesejahteraan dan kemuliaan seorang ibu menjadi sebuah keniscayaan. Hanya Islam yang mampu memberikan penghargaan kepada seorang ibu berupa kemuliaan.
Ibu mulia dengan mendidik anaknya, melayani suaminya, dan mengatur rumah tangganya.
Tidakkah kita merindukan masa dimana Islam mengatur setiap sendi kehidupan. Oleh karena itu, mari kita memantaskan diri untuk menjadi mulia dengan mengkaji Islam Kaffah dan berjuang untuk menerapkan aturan Islam dalam bingkai Daulah Khilafah Islamiyah.
Wallahua'lam Bisshawab.