Oktavia Nurul Hikmah, S.E.
Kasus penipuan First Travel terus bergulir. Perkembangan terbaru, aset First Travel akan disita dan dikembalikan ke negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam putusan kasasi Nomor 3096 K/Pid.Sus/2018 Mahkamah Agung yang menyerahkan seluruh aset First Travel kepada negara. Putusan yang baru dilansir di situs MA pada Jumat (15/11) lalu, tetap menghukum Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan masing-masing 20 tahun dan 18 tahun penjara. Keduanya juga harus membayar denda sebesar Rp10 miliar.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Yenti Garnasih, menilai negara atau pemerintah harus bertindak untuk memberi rasa keadilan kepada puluhan ribu korban penipuan First Travel. Sebab negara menerima uang hasil rampasan aset yang bukan haknya (bbc.com, 18/11).
Putusan MA di kasus yang lain pun mengejutkan publik. Pada 4 Mei 2018, MA memutuskan pengembalian aset mafia narkoba Murtala kepadanya. Kronologis penetapan hukumannya sebagai berikut. Pada 28 Juli 2017, majelis hakim PN Bireuen menghukum Murtala selama 19 tahun dan asetnya Rp 144 miliar dirampas untuk negara.
Namun hukuman itu disunat lima bulan setelahnya. Pengadilan Tinggi Aceh memangkas vonis Murtala menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Selain itu, seluruh aset milik Murtala sebesar Rp 142 miliar dikembalikan untuk Murtala. Di tingkat kasasi, hukuman Murtala tidak terlalu banyak berubah. Pada 4 Mei 2018, MA hanya menaikkan hukuman terhadap Murtala menjadi delapan tahun penjara. Sementara aset Murtala tetap diputuskan dikembalikan untuk Murtala (detik.com, 2/12).
Kontradiksi kedua kasus ini mengusik fitrah keadilan manusia. Puluhan ribu calon jamaah umrah mengalami kegagalan menjalankan ibadah. Kini mereka dipaksa ikhlas merelakan haknya. Sementara si mafia yang telah merusak kehidupan generasi mendapatkan pengurangan drastis masa hukuman termasuk bonus pengembalian aset yang diperolehnya dari bisnis haram.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. [al-Hujurât/49:9].
Pengertian adil menurut bahasa artinya tidak berat sebelah dan tidak memihak. Adil menurut istilah adalah menetapkan hak dan kewajiban pada proporsinya dan seimbang, ditempatkan secara tepat dan objektif. Sementara pengertian adil menurut syariat Islam adalah melaksanakan suatu perintah Allah atau amanah Allah dengan menempatkan sesuatu pada kedudukan yang sebenarnya tanpa melebihi atau mengurangi.
Mewujudkan keadilan tidak bisa dilepaskan dengan pelaksanaan syariat Allah. Allah yang menciptakan manusia, memahami segala potensi baik dan buruk yang dimiliki manusia. Karena itu, aturan yang diberikan Allah sesungguhnya merupakan aturan yang paling pas dengan manusia. Hukum-hukum Allah dapat memenuhi fitrah keadilan yang dimiliki manusia.
Islam memiliki mekanisme paripurna untuk mewujudkan keadilan. Pertama, Islam menetapkan kesetaraan hukum. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim, suatu ketika orang-orang Quraisy sangat mengkhawatirkan seorang wanita dari bani Makhzumiyyah yang tertangkap mencuri.
Lalu orang-orang Quraisy berembuk, siapakah yang bisa melobi Rasulullah agar kepada wanita tersebut diberikan pengampunan. Lalu dipercayakanlah Usamah bin Zaid yang dianggap dekat dengan Rasulullah SAW dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu Rasulullah bersabda, "Apakah kamu mau memintakan syafaat dalam hukum di antara hukum-hukum Allah?"
Kemudian Rasulullah berdiri berkhotbah dan bersabda, "Sesungguhnya yang merusak atau membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah bahwa mereka dahulu apabila orang mulia di antara mereka yang mencuri, mereka membiarkannya, tetapi kalau orang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya".
Kedua, Islam mewujudkan hukum yang proporsional. Dari Amr bin Al Ash bahwasanya Rasulullah Saw. pernah ditanya tentang buah yang tergantung di atas pohon, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang mengambil barang orang lain karena terpaksa untuk menghilangkan lapar dan tidak terus-menerus, maka tidak dijatuhkan hukuman kepadanya. Dan barangsiapa mengambil sesuatu barang, sedang ia tidak membutuhkannya dan tidak untuk menghilangkan lapar, maka wajib atasnya mengganti barang tersebut dengan yang serupa dan diberikan hukuman ta’zir. Dan barangsiapa mengambil sesuatu barang sedangkan ia tidak dalam keadaan membutuhkan, dengan sembunyi-sembunyi setelah diletaknya di tempat penyimpanannya atau dijaga oleh penjaga, kemudian nilainya seharga perisai maka wajib atasnya dihukum potong tangan.” (HR. Abu Daud).
Maknanya, penetapan hukum dalam Islam dilakukan dengan mendetili berbagai fakta di seputar kasus tersebut sehingga dapat dihukumi berdasarkan syariat. Misalnya, tidak ada sanksi atas aktivitas pencurian disebabkan kondisi tertentu. Hal ini sebagaimana sabda Nabi: Tidak ada potong tangan pada masa (tahun) paceklik yang teramat sangat. (Lihat, Syamsuddin As- Sarkhasi, Al-Mabsuth (Mesir: As-Sa'adah, 1324), jil. 10, hal. 104).
Ketiga, hukum Islam mencegah kedzaliman penguasa. Penerapan hukum Islam sekaligus menjadi kontrol atas kepemimpinan penguasa. Ketika seorang penguasa menetapkan hukum yang bertentangan dengan syariat, maka masyarakat dapat melakukan muhasabah atau koreksi untuk meluruskannya. Masyarakat melakukannya dalam rangka menjalankan aktivitas amar makruf nahi munkar. Aktivitas dakwah kepada penguasa memiliki keutamaan karena penguasa menjalankan kebijakan yang diterapkan atas seluruh umat. Jika penguasa keliru, maka akibatnya akan meluas.
Penerapan hukum Islam hanya dapat diwujudkan jika negara menetapkan Islam sebagai sistem aturannya. Pada saat itulah nilai keadilan dapat diwujudkan. Itu karena penguasa, masyarakat dan individu memiliki kesamaan pandang akan makna keadilan. Bahwa sumber keadilan adalah penerapan syariat Islam.
Karena Islam hanya menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum, maka tidak akan ada keragaman persepsi, nilai keadilan pun dapat ditentukan dengan mudah. Namun hal ini akan menjadi mustahil tanpa kesadaran dan perjuangan umat mewujudkannya. Maka disinilah diperlukan upaya menyeru umat terus menerus agar menyadari kebutuhan serta kewajiban menerapkan syariat Islam kaffah.
Wallahualam bi showab.