Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)
Media kekinian. Merekah tanpa batas, bahkan tak ada yang berani memprotes jika media memutarbalikkan fakta. Media membuat muslihat tipu daya, yang buruk menjadi mulia, dan yang mulia menjadi buruk rupa._Hanum Salsabiela Rais (penulis)
Menarik. Laporan utama salah satu televisi swasta tiga hari yang lalu bertajuk “Siapa Resah dengan Khilafah?” Pasalnya khilafah belakangan semakin jadi sorotan. Bak kembang mekar setaman, tak henti publik membahas daya tariknya.
Apa dan bagaimana khilafah, terus menerus jadi buah bibir. Banyak yang pro, tak sedikit pula yang kontra. Tentu tidak masalah sebab perbedaan niscaya adanya. Problem justru mencuat ketika fakta dikaburkan atau diselubung fitnah yang direkayasa.
Khilafah, Salah?
Mencengangkan, definisi khilafah dalam laporan utama media ‘satu untuk semua’ tersebut. Mengapa? Karena di saat banyak cemoohan terhadap khilafah dan pengusungnya, laporan tersebut berani tampil beda.
‘Sistem kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menerapkan hukum Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Orang yang memimpin disebut Khalifah, dapat juga disebut Imam atau Amirul Mukminin.’ Demikian yang rilis dalam salah satu segmen acara tersebut.
Dengan pengertian macam itu, lalu wajar bila tanya terlontar, di mana salahnya?
Merupakan hal lazim jika wujud satu komando bagi seluruh negeri-negeri muslim penjuru dunia. Sama halnya negara-negara di Eropa yang merasa butuh adanya Uni Eropa. Juga keberadaan Paus Paulus di Vatikan bagi umat Katolik di mana pun berada.
Hanya saja terdapat perbedaan yang sifatnya prinsip, dalam artian jika yang lain tergabung atas dasar ras, warna kulit maupun agama. Tidak dengan khilafah. Aqidah yang jadi fondasinya, syariah sebagai bangunannya. Sumber hukumnya sudah tentu Kitabullah Alquran dan Sunah Rasulullah saw.
Pernah ketika Rasulullah SAW hendak mengirim Muadz bin Jabal Ra. menjadi gubernur di Yaman, Rasul saw. bertanya lebih dahulu,
"Apa yang menjadi pedomanmu dalam memutuskan sesuatu, hai Mu'adz?"
"Kitabullah," jawab Mu'adz.
"Bagaimana jika kamu tidak jumpai dalam Kitabullah?", tanya Rasulullah pula.
"Saya putuskan dengan Sunnah Rasul."
"Jika tidak kamu temui dalam Sunnah Rasulullah?
"Saya pergunakan pikiranku untuk berijtihad, dan saya tak akan berlaku sia-sia," jawab Muadz.
Maka berseri-serilah wajah Rasulullah.
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah sebagai yang diridhoi oleh Rasulullah," sabda beliau saw.
Firman Allah swt.,
“Tidaklah Kami utus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmatan lil ‘alamin.” (QS
Tanpa keraguan di dalamnya, berpatokan pada Alquran dan risalah Rasulullah saw. niscaya mendatangkan rahmat dan berkah dari Sang Khalik.
Khilafah, Warisan Rasulullah
Liputan mengenai khilafah yang tersuguh beberapa waktu lalu sedikit banyak memberi gambaran mengenai hukum terkait khilafah.
Propaganda yang menuding secara masif seperti, "Khilafah itu radikal, khilafah itu anti kebhinekaan, khilafah itu intoleransi, khilafah itu ISIS, khilafah itu seperti yang di Suriah, terbukti keliru dan jauh dari apa yang dimaksud dengan khilafah.
Menggunakan definisi yang dikutip salah satu stasiun televisi nasional tersebut maka dapat dipahami bahwa semua tudingan buruk merupakan fitnah keji yang tak dapat dipertanggungjawabkan.
Mengapa? Tak lain sebab khilafah adalah warisan Rasulullah saw. Tiga hal yang diwariskan oleh beliau untuk umat manusia hingga akhir zaman;
(1) Islam, yang terwujud dalam Al-Kitab dan As-Sunnah; (2) ulama, yaitu ulama yang hakiki atau ulama pewaris para nabi (waratsatul anbiya`); dan (3) Khilafah, dengan para khalifahnya yang bertugas menerapkan Islam secara kaffah (keseluruhan) dalam segala aspek kehidupan tanpa kecuali.
Adapun warisan yang pertama, Rasulullah saw. pernah bersabda,
“Telah aku tinggalkan di tengah kalian dua perkara yang kalian tak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik, Al-Muwaththa`, no 1594)
Ulama adalah warisan yang kedua, berdasarkan sabda Rasul saw.,
“Sesungguhnya ulama adalah para pewaris dari para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham melainkan mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambilnya (ilmu), maka dia telah mengambil bagian yang cukup (banyak).” (HR Tirmidzi, no 2682)
Terakhir, ialah khilafah. Rasulullah SAW mengabarkan,
“Dahulu Bani Israil diatur
hidupnya oleh para nabi, setiap seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi lainnya, dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” (HR Muslim, no 1842)
Ketiga hal di atas diwariskan Rasulullah SAW untuk umatnya ketika beliau wafat pada tahun 11 Hijriyah. Sudah tentu sebagai bekal menghadapi samudra kehidupan hingga Hari Kiamat nanti bukannya malah untuk bikin resah. Menolak tegaknya khilafah mati-matian hanya akan menghadirkan payah dan lelah. Sebab jika umat Islam lalai atau abai memelihara warisan-warisan tersebut, niscaya jatuh ke jurang kerusakan dan kemudaratan.
Sebagaimana firman Allah SWT,
“Lalu barang siapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit…” (QS Thaha : 123-124)
Semoga semakin jelas dan terang benderang pemahaman khilafah di tengah umat. Bagai sinar matahari yang menyirami bumi. Boleh saja bagi yang anti khilafah tak henti memberi stigma buruk, namun adakah yang bisa menghadang turunnya pertolongan dan kehendak Allah?
“Adalah Kenabian (nubuwwah) itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang menggigit (Mulkan ‘Aadhdhon), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Kekuasaan yang memaksa (diktator) (Mulkan Jabariyah), yang ada atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang menempuh jejak Kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah). Kemudian beliau (Rasul saw.) diam.” (Musnad Ahmad, Juz IV, hlm, 273, nomor hadis 18.430) Wallaahu a’lam.