Gagal Bayar Asuransi, Kejahatan Perampok Berdasi?


ilustrasi : google



Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)

Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga_peribahasa

Gagal bayar!  Siapa sangka dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang asuransi  bisa collapse.  

Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) mengungkapkan potensi kerugian nasabah dari dua perusahaan asuransi jiwa nasional yakni Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1913 dan PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Nasabah dari dua perusahaan asuransi pelat merah tersebut berpotensi merugi sekitar Rp 40-50 triliun. (detik.com, 16/12/2019)

BUMN yang disebut terakhir bahkan sudah  memastikan pembayaran kewajiban sebesar Rp 12,4 triliun yang dijanjikan pada Desember 2019 tak bisa terlaksana.

"Tentu tidak bisa karena sumbernya dari corporate action. Saya tidak bisa memastikan. Saya minta maaf kepada nasabah," kata Direktur Jiwasraya, Hexana dalam rapat Komisi VI DPR RI. (cnbcindonesia, 16/12/2019)

Ajib nan menakjubkan.   Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu tanpa tedeng aling-aling menuding terjadi perampokan harta negara.  Pelakunya?  Siapa lagi kalau bukan para perampok berdasi.

  “Terjadi perampokan (di Jiwasraya). Perusahaan yang sangat sehat pada 2016-2017, lalu defisit puluhan triliun di tahun berikutnya, berarti ada penyedotan dana yang terjadi.” ujar Said Didu.  (kompas.com, 19/12/2019)

Kembali, nasabah jadi objek derita.  Puluhan triliun  klaim asuransi terancam sayonara.  Tak jelas di mana rimbanya.  Sekedar prihatin tak cukup.  Perlu menghadirkan alternatif solusi yang tepat agar episode sedih ini tak terulang dan dapat ditutup.

Asuransi, Tegak di Atas Janji  Tak Pasti?

Menilik  sejarah, jenis asuransi yang pertama muncul adalah asuransi pelayaran (maritime).   Saat itu dipraktikkan oleh kaum Babilonia dengan nama akad pinjam meminjam di atas kapal. Jika seorang pedagang menerima pinjaman untuk mendanai pengirimannya, ia akan membayar jumlah tambahan kepada pemberi pinjaman sebagai imbalan atas jaminan pemberi pinjaman untuk membatalkan pinjaman jika kiriman dicuri atau hilang di laut.  (wikipedia)

Seiring perkembangan zaman, bentuk asuransi pun kian berkembang.  Utamanya sejak ideologi kapitalisme berdaulat.  

Mengapa?  Karena senafas dengan asas manfaat yang dianut.  Ambisi mengejar keuntungan membuat para kapitalis sampai terpikir untuk memanfaatkan musibah yang menimpa seseorang.  Bahkan perbuatan mengeksploitasi rasa cemas masyarakat akan masa depan, tak segan dilakukan.  Bila perlu setiap orang ‘dibikin’ waswas akan kehilangan harta, kesehatan bahkan jiwa yang ‘dimiliki.’ Sehingga merasa perlu adanya jaminan yang dijanjikan oleh asuransi.

Tak heran jika sebagian ulama mengharamkan asuransi. Dengan alasan adanya unsur gharar (ketidakpastian), riba (bunga), dan maisir (judi/spekulasi). 
Dalam kasus Jiwasraya, ketiganya wujud.  Semakin jelas terlihat dengan dikeluarkannya produk terbaru,  JS Saving Plan yang memberi guarentee return yang tinggi.  Jika untuk  asuransi yang tradisional 7,75-14% nett return, sedang  Saving Plan return 7,75-10% nett.  ( cnbcindonesia, 28/12/2019)
Apa daya yang dikatakan guarantee alias jaminan, tetap saja tak pasti, terbukti justru JS Saving Plan malah mayoritas gagal bayar.

Tambahan lagi terdapat kegiatan investasi nekat (reckless investment activities).  Premi dari nasabah  digunakan untuk bertaruh di bursa saham yang kental dengan aroma spekulasi dan judi.  

Andil Jiwasraya terdiri dari 5% saham  diinvestasikan di LQ45, dari 22,4% aset finansial atau sebesar  Rp 5,7 triliun. Reksa dana 59,1% atau Rp 14,9 triliun dan hanya 2% dikelola top manajer investasi di Indonesia.  ( cnbcindonesia, 28/12/2019)

Lebih dari itu  keberadaan akadnya juga    batil. Mengapa?  Karena objek akad (ma’quud ‘alaihi) asuransi tidak dapat dikategorikan objek akad muamalah yang sah, yaitu barang dan/atau jasa. 

Sedangkan objek akad asuransi, adalah janji/komitmen (at ta’ahhud), yakni perusahaan asuransi berjanji akan membayar dana pertanggungan jika terjadi suatu peristiwa penyebab turunnya dana pertanggungan, seperti kematian, kecelakaan, kebakaran, dan sebagainya. Sementara janji seperti ini tidak dapat dikategorikan barang atau jasa.  (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 182).

Mengurai Benang Kusut 

Sungguh kondisi saat ini sangat memprihatinkan. Dampak sekularisme lambat laun menggiring kita menempatkan halal haram di urutan ke sekian. Padahal jauh hari Rasulullah SAW telah ingatkan,  

“Akan datang pada manusia suatu zaman, ketika seseorang tidak peduli akan apa yang dia ambil, apakah dari yang halal ataukah dari yang haram.” (HR Bukhari dan Muslim)

Di Hadits yang lain,  Rasulullah SAW juga telah kabarkan,  

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, ketika tidak tersisa seorang pun kecuali pasti makan riba. Yang tidak makan riba pun tetap terkena debu riba.” (HR Abu Dawud & Ibnu Majah) 

Harus diakui sengkarut persoalan asuransi mengemuka akibat absennya peran negara dalam pemeliharaan urusan umat.  Sebagaimana yang menjadi ciri utama ideologi kapitalisme.

Terbayang andai beralih pada Islam, benangnya tak perlu sampai kusut.  Sebab Islam mewajibkan negara   menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok tiap-tiap individu rakyat. Meliputi pangan, sandang dan tempat tinggal. Juga kesehatan, pendidikan dan keamanan.

Dengan demikian asuransi bakal kehilangan urgensinya.  Bahkan tak dirasakan perlu sama sekali.  Sebab  pemenuhan pendidikan dan pelayanan kesehatan diberikan negara melalui pemimpinnya, khalifah secara gratis dan memadai kepada setiap individu rakyat. 

Peluang berusaha pun terbuka lebar karena difasilitasi. Berupa bantuan dari negara yang diperlukan oleh rakyat dalam menjalankan usaha baik modal, sarana, informasi atau lainnya. 

Seluruhnya sesuai sabda Rasulullah saw. yang mengumpamakan pemimpin negara laksana penggembala (ra’in).  

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (HR. Imam Al Bukhari)

Seorang penggembala (ra’in) mendapatkan titipan atau amanat dari  tuannya, yakni sang pemilik hewan, untuk menggembalakan ternak yang dipercayakan kepadanya. Terlarang bagi penggembala untuk menzalimi ternaknya. Apalagi sampai mencuri  dari pemiliknya.  Sayang, kondisi ini hanya bisa terwujud bila syariah kaffah diterapkan, semata sebagai konsekuensi iman di dada.

Akhir kata, mari bersama menyimak dan meresapi  mutiara Hadits Nabi Muhammad saw.,   

“Wahai umat manusia, bertakwalah engkau kepada Allah, dan tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia benar-benar telah mengenyam seluruh rezekinya, walaupun terlambat datangnya. Tempuhlah jalan-jalan mencari rezeki yang halal dan tinggalkan yang haram.” (HR. Ibnu Majah) Wallaahu a'lam.


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak