Oleh : Alin FM
Praktisi Multimedia dan Penulis
Rupanya kontroversi celotehan ngawur Sukmawati terus menggelinding membesar. Wajar, ini karena untuk kali kedua Sukmawati melakukan kesengajaan dengan celotehan ngawur propagandis dan menghina Rasulullah Saw serta ajaran Islam. Pada episode konde dan kidung vs cadar dan azan Sukmawati berhasil lolos dari jerat hukum berkat air mata buaya dan janji palsunya dan permintaan maaf kepada K.H Maruf Aamii pada tahun lalu. Nah, apakah kali ini perempuan yang suka berkonde itu kembali terselamatkan lagi?
Umat Islam sebagai umat yang damai dan sangat tolenransi akan menahan diri dan membiarkan aparat kepolisian bekerja. Umat Islam tidak akan main hakim sendiri dan menanti proses hukum. Mari bersama merenung, kenapa Sukmawati dan orang-orang sejenisnya dengan mudah (baik sengaja atau tidak) melakukan penistaan, pelecehan atau minimal memojokkan terhadap agama dan ajaran Islam di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, notabene, ada ratusan pesantren, lembaga keIslaman dan ormas Islam. Bahkan wakil presidennya dijabat seorang Kyai. Ada apa dengan wibawa muslim di negeri ini?
Ada yang Salah
Logika akal sehat adalah jika suatu negeri mayoritasnya Muslim yang berarti Islam menjadi agama yang dominan dan berwibawa maka sudah seharusnya Islam menjadi corak dan budaya masyarakat di negeri ini. Dalam artian seluruh kehidupannya bernuansa Islam atau lebih tepatnya Islam dijadikan aturan hidup, Islam menjadi basis dasar seluruh keberlangsungan kehidupan di negeri ini dalam segala aspek kehidupan.
Dilansir dari cekfakta.com bahwa Indonesia di Asia Tenggara ini disebut sebagai tanah dengan populasi Muslim tertinggi. Persentase Muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia. Dari 205 juta penduduk Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam. Tapi ironi pada faktanya Islam di negeri ini terabaikan bahkan dipojokkan karena terus diidentikkan dengan terorisme dan radikalisme. Muslimnya termarginalkan dengan stigma negatif bahkan distereotipkan dengan miskin, bodoh, kotor, kasar, intoleran, dan terbelakang. Muslim tidak boleh membawa agamanya Islam ke ranah politik dan hukum. Bahkan jika kita mengulas Islam sebagai sumber hukum pun di Dewan Perwakilan Rakyat, pasti akan dikatakan oleh para Dewan yang terhormat "disini bukan tempatnya" Lalu, apa pasal yang menyebabkan paradoks tersebut?
Sekularisme awalnya
Rezim anti Islam saat ini terus mempropagandakan ini negeri berideologi Pancasila, yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi fakta sejatinya negeri ini mengadopsi ideologi kapitalisme yang bersumber dari sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan. Perangkat politik, hukum dan utamanya ekonomi yang dipakai membuktikan secara nyata empiris bahwa kapitalisme-lah yang menjadi basis dasar kehidupan negeri ini.
Tak bisa dipungkiri bahwa sistem politik demokrasi, sistem ekonomi neo-liberal dan kehidupan sosial permissive (serba-boleh) adalah konsep turunan dari ideologi kapitalisme. Akibatnya mengadopsi ideology tamak dan bobrok tersebut dalam 74 tahun kemerdekaan negeri ini justru semakin terpuruk dalam segala aspek. Kita pun bisa mengindera kenyataan kerusakan di sekitar kita.
Data yang dirilis Mabes Polri menyebutkan jumlah kejahatan pada 2017 berada di angka 291.748 kasus. Jumlah ini menurut data Mabes Polri dinyatakan menurun ketimbang tahun 2016 yakni 380.826 kasus. Sementara, jumlah kasus yang diselesaikan hanya 181.448 kasus, Dari sekian banyak kasus kejahatan ini, masih disebutkan Mabes Polri, Polri mengategorikan kasus kejahatan menjadi empat golongan, yakni kejahatan konvensional, transnasional, kekayaan negara, dan implikasi kontijensi (ketidakpastian). Data yang dirilis Indonesia Police Watch (IPW), kejahatan jalanan (street crime) masih mendominasi selama tahun 2018, seperti pembunuhan dan pengeroyokan. Tren itu diprediksi juga akan terus meningkat di tahun 2019.
Belum lagi yang terlihat di tayangan televisi. Banyak koruptor leluasa keluar penjara. Kamar tahanan mereka mewah seperti hotel berbintang. Sementara, napi kelas teri harus menikmati kamar tahanan yang sempit. Apalagi, kondisi ekonomi seperti sekarang belum bisa dinikmati masyarakat banyak. Harga bahan bakar melonjak yang selanjutnya dibarengi dengan melonjaknya harga lainnya. Masyarakat kecil terhimpit.
Termasuk di dalam kerusakan-kerusakan tadi adalah munculnya berbagai penistaan terhadap Islam dan ajarannya baik oleh oknum indvidu maupun kelompok masyarakat tertentu. Dan lebih tragis lagi seolah negara lemah bahkan abai dalam mengatasi masalah tersebut. Sudah ratusan bahkan ribuan aliran sesat muncul, oknum-oknum yang mengaku nabi, dan tentunya fenomena silih bergantinya oknum yang menistakan Islam semisal Arswendo, Victor Laiskodat, Ade Armando, Abu Janda, Ahok, atta halilintar,Ge Pamungkas, Uus, Joshua mantan artis cilik dan Sukmawati paling Hangat. Itu semua tidak akan terjadi jika negara mampu dan mau menjalankan fungsi penjagaannya terhadap agama dan aqidah umat Islam. Karena memang negara ini adalah negara sekuler.
Negara ini sama sekali tidak mencerminkan asas Ketuhanan Yang Maha Esa, melainkan negara dengan ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Sekularisme menghendaki pemisahan agama dari kehidupan masyarakat. Agama diposisikan sebagai ancaman bagi hegemoni Kapitalisme, oleh karena itu peran agama harus diabaikan dari pengaturan kehidupan negara. Agama hanya boleh dipraktikkan dalam ranah ritual dan spiritual. Dan klaim bahwa negara ini bukan negara agama justru mengonfirmasi bahwa negara ini negara sekuler. Maka tak mengherankan jika berbagai penistaan agama Islam telah, sedang dan akan terus terjadi walaupun pelaku ber-KTP agama Islam. Apalagi Hari ini kampanye dan propaganda anti radikalisme dan terorisme selalu dialamatkan kepada Islam, ajarannya dan termasuk para pengemban dakwah Islam. Inilah indikasi adanya makai jahat terhadap Islam akibat penerapan ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme di negeri ini. Kita juga melihat penghinaan Rasulullah Saw disebabkan membandingkan dengan Jasa Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia abad 20 dalam forum diskusi bertema 'Bangkitkan nasionalisme, bersama kita tangkal radikalisme, dan berantas terorisme' di gedung Tribrata, Darmawangsa, Jakarta Selatan 11 November lalu. Narasi tangkal radikalisme adalah bagian propaganda Rezim anti Islam. identitas muslim serta ajarannya dijadikan atribut “Islam radikal” atau istilah radikalisme.
Dilansir dari nasional.okezone.com, Wakil Presiden (Wapres) Ma'ruf Amin menekankan pentingnya bahaya radikalisme yang tengah melanda Indonesia akhir-akhir ini. untuk memerangi radikalisme, ia mengatakan perlu kerjasama semua pihak. Dalam upaya memerangi radikalisme diperlukan kerjasama semua pihak, tak hanya mulai dari hulu hingga hilir, tapi juga pemberian imunisasi kepada masyarakat supaya tak terserang radikalisasi.
Untuk melanggengkan kekuasaan, Rezim anti Islam melakukan langkah monsterisasi ajaran Islam dengan memberikan stigma radikal kepada Muslim yang ingin menerapkan Islam secara kâffah. Sebaliknya, mereka memuji Muslim sekuler liberal sebagai muslim moderat dan berpikir maju. Faktanya, pengikut Islam moderat biasanya menolak formalisasi syariah oleh negara atau anti khilafah. Padahal khilafah merupakan ajaran Islam, sebagaimana akidah, akhlak, ibadah dan muamalah.
Ketika istilah radikalisme disematkan pada Islam sehingga lahir antithesis, Perang Melawan Radikalisme, maka konotasi radikalisme di sini jelas negatif. Apalagi dibumbui dengan berbagai framing radikalisme mengancam keutuhan negara. Akibatnya, konotasi yang terbentuk dalam benak masyarakat jelas negative. Pendek kata, penggunaan istilah ini jelas merupakan propaganda untuk menyerang Islam, Umat Islam dan proyek perjuangan Islam yang dianggap mengancam kepentingan penjajah dan para kompradornya.
Proyek antiradikalisme atau deradikalisasi terus digulirkan dengan menggulirkan wacana moderasi agama hingga memunculkan istilah baru. yakni “Islam Radikal” atau radikalisme. Ironinya, banyak kaum Muslim tertipu dengan proyek ini.