Oleh: Airin Elkhanza
Dilansir Kompas.com (3/11/2019), mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan sah naik hingga lebih dari dua kali lipat. Kenaikan ini disinyalir sebagai imbas dari kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Di lain pihak, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menduga, kenaikan ini tak lebih dari sekadar 'gali lubang, tutup lubang'.
Tak ayal, ketetapan ini pun menuai kontra, peserta BPJS kesehatan ramai-ramai mengajukan turun kelas karena khawatir tidak mampu membayar iuran BPJS kesehatan yang akan naik pada awal 2020 mendatang. (Tribunnews.com, 10/11/2019)
Gegara penyakit menahun BPJS alias defisit yang tak terelakkan, membuat pemerintah memberi opsi untuk menaikkan premi 100 %. Mirisnya, pemerintah melalui Bapak Presiden Jokowi merasa telah melakukan hal yang baik dan mengatakan bahwa itu adalah kesalahan dalam pengelolaaan saja dengan pernyataan “Kita ini kan sudah bayari yang 96 juta (peserta), dibayar oleh APBN. Tetapi di BPJS terjadi defisit itu karena salah kelola saja. Artinya apa? Yang harusnya bayar pada enggak bayar. Artinya di sisi penagihan yang mestinya diintensifkan,” demikian Presiden Joko Widodo. Benarkah demikian?
Lempar Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah berlaku dzalim, yang seharusnya jadi penanggung jawab malah menyerahkan pengurusan hajat kesehatan publik kepada korporasi BPJS Kesehatan, akan tetapi BPJS Kesehatan sendiri sebagai wujud pembiayaan kesehatan sekuler berbasis asuransi wajib juga tak henti menimpakan nestapa pada masyarakat.
Patut dipahami, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bukanlah jaminan kesehatan, JKN adalah asuransi sosial. Yang mana itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang Elegi BPJS di Tanah Nusantara yang ‘Kaya’ Sumber Daya
Oleh: Airin Elkhanza
Dilansir Kompas.com (3/11/2019), mulai 1 Januari 2020, iuran BPJS Kesehatan sah naik hingga lebih dari dua kali lipat. Kenaikan ini disinyalir sebagai imbas dari kinerja keuangan BPJS Kesehatan yang terus merugi sejak lembaga ini berdiri pada 2014. Di lain pihak, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi menduga, kenaikan ini tak lebih dari sekadar 'gali lubang, tutup lubang'.
Tak ayal, ketetapan ini pun menuai kontra, peserta BPJS kesehatan ramai-ramai mengajukan turun kelas karena khawatir tidak mampu membayar iuran BPJS kesehatan yang akan naik pada awal 2020 mendatang. (Tribunnews.com, 10/11/2019)
w
Gegara penyakit menahun BPJS alias defisit yang tak terelakkan, membuat pemerintah memberi opsi untuk menaikkan premi 100 %. Mirisnya, pemerintah melalui Bapak Presiden Jokowi merasa telah melakukan hal yang baik dan mengatakan bahwa itu adalah kesalahan dalam pengelolaaan saja dengan pernyataan “Kita ini kan sudah bayari yang 96 juta (peserta), dibayar oleh APBN. Tetapi di BPJS terjadi defisit itu karena salah kelola saja. Artinya apa? Yang harusnya bayar pada enggak bayar. Artinya di sisi penagihan yang mestinya diintensifkan,” demikian Presiden Joko Widodo. Benarkah demikian?
aj
Lempar Tanggung Jawab Pemerintah
Pemerintah berlaku dzalim, yang seharusnya jadi penanggung jawab malah menyerahkan pengurusan hajat kesehatan publik kepada korporasi BPJS Kesehatan, akan tetapi BPJS Kesehatan sendiri sebagai wujud pembiayaan kesehatan sekuler berbasis asuransi wajib juga tak henti menimpakan nestapa pada masyarakat.
Patut dipahami, JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) bukanlah jaminan kesehatan, JKN adalah asuransi sosial. Yang mana itu adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.(Pasal 1 ayat 3 UU SJSN)
Sehingga, jika rakyat (peserta asuransi sosial kesehatan) tidak membayar, maka mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Ditambah konsekuensi jika terlambat membayar atau tidak membayar akan dikenakan sanksi, berupa denda atau sanksi administratif.
Ditambah kenaikan BPJS itu dampaknya kepada masyarakat menengah ke bawah dan berkeluarga. Apalagi jika dia punya beberapa anggota keluarga yang sebelumnya terdaftar sebagai anggota BPJS, berapa puluh hingga ratus ribu yang ia bayarkan tiap bulan. Belum lagi pabila, uang untuk membayar tagihan air dan listrik, kebutuhan sehari-hari, belum lagi jika ngontrak. Jika pun sanggup membayar, pasti masyarakat pun tetap terbebani.
Itu baru masyarakat kelas menengah ke bawah, lantas bagaimana nasib masyarakat kelas bawah? Walaupun ada program pemerintah dalam memberikan kartu JKN KIS yang itu termasuk PBI (Penerima Bantuan Iuran), namun tetap saja serba kekurangan, seperti hanya bisa mendapat pelayanan kelas 3 saja dan tidak bisa naik kelas, hanya bisa berakhir di IGD, itupun jika ada ruangan kosong, faktanya ruang IGD selalu penuh. Jika tidak ada ruangan pun kita harus menunggu lagi, bahkan dipulangkan, sampai ada kejelasan ruangan. Jangan tanya nasib pasien yang perlu penanganan segera, sudah pasti sengsara. Ditambah lagi faktanya, di luar sana tidak semua warga miskin yang mendapat JKN KIS ini, bahkan terkadang kartu ini menyasar kepada objek yang salah. Sungguh dzalim!
Sistem BPJS Meniru Barat
Tambahan lagi, terbukti “penyakit” defisit pembiayaan kesehatan sekuler tidak akan pernah sembuh. Tampak dari defisit yang diderita badan asuransi kesehatan wajib Jerman Gesetzliche Kranke Versicherung (GKV) meski sudah berusia hitungan abad dengan teknologi terkini.
Riset terbaru menegaskan, jika tidak segera diatasi defisit bisa mencapai 50 miliar euro pada 2040. Sebelumnya diberitakan, “Defisit asuransi kesehatan wajib meluas menurut sebuah laporan. Pada pertengahan tahun, dana 109 minus 562 juta euro, seperti yang dilaporkan ‘Frankfurter Allgemeine Zeitung’ pada hari Selasa. Itu lima kali lebih banyak dari pada kuartal pertama tahun ini.”
Demikian juga yang tampak pada National Health Service (NHS), penyelenggara asuransi kesehatan wajib berbasis pajak milik Inggris.
“Meskipun kesepakatan pendanaan National Health System (NHS) yang baru akan mengurangi tekanan keuangan, namun tidak memadai untuk secara bersamaan mengembalikan kinerja terhadap standar waktu tunggu dan perawatan yang lebih baik.”
Sebelumnya, diberitakan The Guardian (10/05/2019), “Laporan NHS berisi bukti mengkhawatirkan, bahwa keuangan semakin memburuk. Defisit lebih besar dari perkiraan setelah sembilan bulan 2018-2019, naik dari 44 pada kuartal sebelumnya.“
Diskriminasi pelayanan juga tak teratasi. Laporan Royal College of Surgeons per 1 April 2019 menyatakan hampir seperempat juta pasien Inggris menunggu lebih dari enam bulan untuk menerima perawatan medis.
Sementara di AS, persoalan pelayanan kesehatan tak kalah serius. Kepemilikan kartu asuransi bukan jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan. Harga yang lebih tinggi bukanlah jaminan untuk kualitas perawatan yang lebih baik. Di negara-negara ini–sebagaimana di Indonesia–diskriminasi tetap menjadi persoalan serius yang tak teratasi.
Jelaslah, persoalan defisit model pembiayaan kesehatan sekularisme yang di Indonesia berwujud BPJS Kesehatan bukan saja karena salah kelola, tetapi karena kesalahan mendasar yakni paradigma ideologis sistemis yang membutuhkan koreksi total ideologis.
Defisit berlarut-larut ini cukuplah sebagai bukti bahwa model pembiayaan kesehatan sekularisme yang dipaksakan meniru Barat hari ini tidak layak lagi dipertahankan, sudah usang dan karatan. Ia membutuhkan sistem kehidupan pengganti yang sahih sejak dari asasnya, yakni Khilafah.
Model Pembiayaan Khilafah Antidefisit
Islam sebagai satu-satunya jalan hidup yang benar, yang berasal dari Zat Yang Mahasempurna, Allah Subhanahuwata’ala, hanya mengenal model pembiayaan hajat hidup publik termasuk pelayanan kesehatan berbasis baitulmal dengan sifat mutlak.
Baitulmal adalah institusi yang dikhususkan untuk mengelola semua harta yang diterima negara dan setiap pengalokasiannya yang merupakan hak kaum muslimin.
Baitulmal memiliki sumber-sumber pemasukan tetap sesuai ketentuan syariat, supaya negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya. Termasuk dalam hal ini fungsi sebagai penjamin kebutuhan pokok publik berupa kebutuhan pelayanan kesehatan gratis berkualitas bagi setiap individu masyarakat. Baik termaktub dalam Alquran dan Sunah, maupun apa yang ditunjukkan oleh keduanya berupa ijmak sahabat dan qiyas.
Salah satu sumber pemasukan tetap baitulmal adalah harta milik umum. Berupa sumber daya alam dan energi dengan jumlah berlimpah di negeri ini. Pengelolaan secara benar berlandaskan syariat merupakan sumber kekuatan finansial yang luar biasa bagi pelaksanaan fungsi-fungsi penting negara.
Dari sumber daya energi saja sudah luar biasa memadai karena di Indonesia ada 128 cekungan migas. Seperti Blok migas raksasa Masela di kepulauan Tanimbar Maluku, Blok Cepu, Blok Natuna, Blok Rokan, Blok Maratua, dan Blok Nunukan dengan potensi 10 besar dunia. Belum lagi dari SDA, diantaranya 2 tambang batu bara Indonesia masuk 10 besar di dunia dan Indonesia juga sebagai penghasil emas ke 7 terbanyak di dunia.
Adapun bersifat mutlak maksudnya adalah ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan, pelayanan kesehatan wajib diadakan negara. Bila dari pemasukan tetap/rutin tersebut tidak terpenuhi, Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.
Model pembiayaan kesehatan seperti ini tidak saja antidefisit namun juga akan membebaskan pelayanan kesehatan dari cengkeraman korporasi, agenda hegemoni dan industrialisasi kesehatan yang sangat membahayakan kesehatan dan nyawa jutaan orang.
Pada gilirannya, penerapan paradigma Islam–syariat Islam secara kafah–berikut keseluruhan sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam, benar-benar “obat mujarab” untuk kesembuhan penyakit defisit pembiayaan kesehatan sekularisme, termasuk krisis pelayanan kesehatan yang ditimbulkannya.
Karenanya, kembali pada syariah kaffah dalam bingkai khilafah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia. Lebih dari pada itu, kembali pada pangkuan khilafah adalah kewajiban dari Allah subhanahu wata’ala. “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (TQS Al Anfaal: 24).
Wallahu ’alam biashshawab
ib
yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya.(Pasal 1 ayat 3 UU SJSN)
Sehingga, jika rakyat (peserta asuransi sosial kesehatan) tidak membayar, maka mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Ditambah konsekuensi jika terlambat membayar atau tidak membayar akan dikenakan sanksi, berupa denda atau sanksi administratif.
Ditambah kenaikan BPJS itu dampaknya kepada masyarakat menengah ke bawah dan berkeluarga. Apalagi jika dia punya beberapa anggota keluarga yang sebelumnya terdaftar sebagai anggota BPJS, berapa puluh hingga ratus ribu yang ia bayarkan tiap bulan. Belum lagi pabila, uang untuk membayar tagihan air dan listrik, kebutuhan sehari-hari, belum lagi jika ngontrak. Jika pun sanggup membayar, pasti masyarakat pun tetap terbebani.
Itu baru masyarakat kelas menengah ke bawah, lantas bagaimana nasib masyarakat kelas bawah? Walaupun ada program pemerintah dalam memberikan kartu JKN KIS yang itu termasuk PBI (Penerima Bantuan Iuran), namun tetap saja serba kekurangan, seperti hanya bisa mendapat pelayanan kelas 3 saja dan tidak bisa naik kelas, hanya bisa berakhir di IGD, itupun jika ada ruangan kosong, faktanya ruang IGD selalu penuh. Jika tidak ada ruangan pun kita harus menunggu lagi, bahkan dipulangkan, sampai ada kejelasan ruangan. Jangan tanya nasib pasien yang perlu penanganan segera, sudah pasti sengsara. Ditambah lagi faktanya, di luar sana tidak semua warga miskin yang mendapat JKN KIS ini, bahkan terkadang kartu ini menyasar kepada objek yang salah. Sungguh dzalim!
Sistem BPJS Meniru Barat
Tambahan lagi, terbukti “penyakit” defisit pembiayaan kesehatan sekuler tidak akan pernah sembuh. Tampak dari defisit yang diderita badan asuransi kesehatan wajib Jerman Gesetzliche Kranke Versicherung (GKV) meski sudah berusia hitungan abad dengan teknologi terkini.
Riset terbaru menegaskan, jika tidak segera diatasi defisit bisa mencapai 50 miliar euro pada 2040. Sebelumnya diberitakan, “Defisit asuransi kesehatan wajib meluas menurut sebuah laporan. Pada pertengahan tahun, dana 109 minus 562 juta euro, seperti yang dilaporkan ‘Frankfurter Allgemeine Zeitung’ pada hari Selasa. Itu lima kali lebih banyak dari pada kuartal pertama tahun ini.”
Demikian juga yang tampak pada National Health Service (NHS), penyelenggara asuransi kesehatan wajib berbasis pajak milik Inggris.
“Meskipun kesepakatan pendanaan National Health System (NHS) yang baru akan mengurangi tekanan keuangan, namun tidak memadai untuk secara bersamaan mengembalikan kinerja terhadap standar waktu tunggu dan perawatan yang lebih baik.”
Sebelumnya, diberitakan The Guardian (10/05/2019), “Laporan NHS berisi bukti mengkhawatirkan, bahwa keuangan semakin memburuk. Defisit lebih besar dari perkiraan setelah sembilan bulan 2018-2019, naik dari 44 pada kuartal sebelumnya.“
Diskriminasi pelayanan juga tak teratasi. Laporan Royal College of Surgeons per 1 April 2019 menyatakan hampir seperempat juta pasien Inggris menunggu lebih dari enam bulan untuk menerima perawatan medis.
Sementara di AS, persoalan pelayanan kesehatan tak kalah serius. Kepemilikan kartu asuransi bukan jaminan mendapatkan pelayanan kesehatan. Harga yang lebih tinggi bukanlah jaminan untuk kualitas perawatan yang lebih baik. Di negara-negara ini–sebagaimana di Indonesia–diskriminasi tetap menjadi persoalan serius yang tak teratasi.
Jelaslah, persoalan defisit model pembiayaan kesehatan sekularisme yang di Indonesia berwujud BPJS Kesehatan bukan saja karena salah kelola, tetapi karena kesalahan mendasar yakni paradigma ideologis sistemis yang membutuhkan koreksi total ideologis.
Defisit berlarut-larut ini cukuplah sebagai bukti bahwa model pembiayaan kesehatan sekularisme yang dipaksakan meniru Barat hari ini tidak layak lagi dipertahankan, sudah usang dan karatan. Ia membutuhkan sistem kehidupan pengganti yang sahih sejak dari asasnya, yakni Khilafah.
Model Pembiayaan Khilafah Antidefisit
Islam sebagai satu-satunya jalan hidup yang benar, yang berasal dari Zat Yang Mahasempurna, Allah Subhanahuwata’ala, hanya mengenal model pembiayaan hajat hidup publik termasuk pelayanan kesehatan berbasis baitulmal dengan sifat mutlak.
Baitulmal adalah institusi yang dikhususkan untuk mengelola semua harta yang diterima negara dan setiap pengalokasiannya yang merupakan hak kaum muslimin.
Baitulmal memiliki sumber-sumber pemasukan tetap sesuai ketentuan syariat, supaya negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya. Termasuk dalam hal ini fungsi sebagai penjamin kebutuhan pokok publik berupa kebutuhan pelayanan kesehatan gratis berkualitas bagi setiap individu masyarakat. Baik termaktub dalam Alquran dan Sunah, maupun apa yang ditunjukkan oleh keduanya berupa ijmak sahabat dan qiyas.
Salah satu sumber pemasukan tetap baitulmal adalah harta milik umum. Berupa sumber daya alam dan energi dengan jumlah berlimpah di negeri ini. Pengelolaan secara benar berlandaskan syariat merupakan sumber kekuatan finansial yang luar biasa bagi pelaksanaan fungsi-fungsi penting negara.
Dari sumber daya energi saja sudah luar biasa memadai karena di Indonesia ada 128 cekungan migas. Seperti Blok migas raksasa Masela di kepulauan Tanimbar Maluku, Blok Cepu, Blok Natuna, Blok Rokan, Blok Maratua, dan Blok Nunukan dengan potensi 10 besar dunia. Belum lagi dari SDA, diantaranya 2 tambang batu bara Indonesia masuk 10 besar di dunia dan Indonesia juga sebagai penghasil emas ke 7 terbanyak di dunia.
Adapun bersifat mutlak maksudnya adalah ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan, pelayanan kesehatan wajib diadakan negara. Bila dari pemasukan tetap/rutin tersebut tidak terpenuhi, Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.
Model pembiayaan kesehatan seperti ini tidak saja antidefisit namun juga akan membebaskan pelayanan kesehatan dari cengkeraman korporasi, agenda hegemoni dan industrialisasi kesehatan yang sangat membahayakan kesehatan dan nyawa jutaan orang.
Pada gilirannya, penerapan paradigma Islam–syariat Islam secara kafah–berikut keseluruhan sistem kehidupan Islam, khususnya sistem ekonomi Islam dan sistem pemerintahan Islam, benar-benar “obat mujarab” untuk kesembuhan penyakit defisit pembiayaan kesehatan sekularisme, termasuk krisis pelayanan kesehatan yang ditimbulkannya.
Karenanya, kembali pada syariah kaffah dalam bingkai khilafah merupakan kebutuhan yang mendesak bagi bangsa ini dan dunia. Lebih dari pada itu, kembali pada pangkuan khilafah adalah kewajiban dari Allah subhanahu wata’ala. “Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul, apabila Dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (TQS Al Anfaal: 24).
Wallahu ’alam biashshawab