Oleh : Haryati (Aktivis Muslimah)
Sejak dilantiknya Joko Widodo sebagai Presiden, beliau kemudian mengangkat staf khusus untuk memperlancar pelaksanaan tugas presiden. Yang menjadi perhatian dari masyarakat adalah dengan diangkatnya staf khusus itu dari kaum milenial. Bahkan sempat menuai kontroversi karena gaji mereka yang sangat fantastis yaitu lima puluh satu juta per bulan. Sedangkan kerja mereka belum jelas tupoksi definitifnya.
Presiden Joko Widodo mengumumkan 12 staf khusus untuk mendampinginya selama pemerintah periode kedua 2019-2024. Tujuh di antara mereka merupakan generasi milenial: usianya 20 hingga 30-an tahun, yang memang sengaja ditunjuk Jokowi untuk bertugas "mengembangkan inovasi-inovasi di berbagai bidang." (tirto.id, 23/11/2019).
Landasan hukum diangkatnya staf khusus adalah berdasarkan Pasal 17 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2012, untuk memperlancar pelaksanaan tugas presiden, dibentuk staf khusus presiden. Sementara itu, terkait tugas dari staf khusus presiden, menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2018, staf khusus presiden melaksanakan tugas tertentu yang diberikan presiden di luar tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintah lainnya. (kompas.com, 22/11/2019).
Berbagai alasan yang dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo terkait staf khusus kaum milenial ini seperti “Ketujuh anak muda ini akan jadi teman diskusi saya, harian, mingguan, bulanan,” ujar Jokowi setelah mengenalkan mereka. Jokowi menambahkan, “[Ketujuh milenial ini] memberikan gagasan-gagasan segar yang inovatif, sehingga kita bisa mencari cara-cara baru, cara-cara out-of-the-box, yang melompat, untuk mengejar kemajuan negara kita," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2019). “Saya juga minta mereka untuk menjadi jembatan saya dengan anak-anak muda, para santri muda, para diaspora, yang tersebar di berbagai tempat,” kata Jokowi menambahkan.
Melihat orang yang ditunjuk Jokowi menjadi staf khusus itu masih terasa aroma politik bagi-bagi kekuasaan atau politik akomodatif. Sebab, sebagian besar adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019. Sebut saja empat nama yang merupakan kader partai politik pendukung Jokowi, yakni: Arief Budimanta (PDIP), Dini Shanti Purwono (PSI), dan dua kader Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), yakni Diaz Hendropriyono dan Angkie Yudistia.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, politik bagi-bagi kekuasaan ini memang bukan barang baru di pemerintahan Jokowi. Tak hanya sekarang, tapi sejak periode pertamanya. Ditambah menteri-menteri dan wakil menterinya ini, Jokowi berupaya menutupi lingkaran oligarki dalam pemerintahannya. Jokowi terlihat hanya menyenangkan lingkaran oligarki yang telah berjasa memenangkan Jokowi dua periode.
Berdasarkan istilah, oligarki (bahasa Yunani) adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, baik dibedakan menurut kekayaan, keluarga, atau militer.
Jika melihat realitas politik dalam pemerintahan Jokowi sejak periode pertama, tampak bahwa oligarki merupakan penyakit yang sudah akut. Di tangan para elit segala keputusan partai politik yang menang dalam pemilu ditentukan melalui mekanisme yang kaku, alias dari atas ke bawah.
Maka, mengangkat stafsus milenial hanya menguatkan politik oligarki di rezim saat ini. Karena seberapa pun hebatnya masukan staf khusus tersebut, mereka tidak lebih dari–seperti yang dikatakan Jokowi–Teman diskusi Presiden.
Mengangkat staf khusus dari kalangan anak muda merupakan langkah sia-sia. Tujuh orang berusia di bawah 40 tahun itu tak lebih dari etalase politik untuk menunjukkan bahwa Jokowi merupakan presiden milenial. Sebuah pencitraan yang tidak berguna.
Oligarki dalam sistem demokrasi merupakan sesuatu yang wajar terjadi karena sebagai balas jasa. Di mana ketika partai pendukung dari penguasa terpilih memiliki jasa yang besar dalam menyukseskan terpilihnya penguasa. Sehingga ketika penguasa tersebut menduduki kekuasaannya, mereka menuntut untuk mendapatkan jatah kursi kekuasaan.
Dan merupakan sesuatu yang sering terjadi. Hal tersebut menunjukkan gagalnya partai politik sistem demokrasi dalam menjalankan fungsinya. Fungsi kaderisasi macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah bagi pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah.
Ongkos politik yang mahal memaksa partai politik melakukan segala macam cara untuk mendapatkan pendanaan. Celah ini dimanfaatkan para pengusaha, konglomerat, dan pelaku dunia korporasi untuk masuk dan menancapkan oligarkinya.
Berbeda dengan sistem Islam. Birokrasi dan administrasi dalam Islam memiliki ciri yang khas, yaitu sistemnya sederhana, cepat selesai, dan cukup pelaksanaannya.
Dengan ketiga ciri khas tersebut, semua urusan rakyat bisa tertangani dan terselesaikan dengan baik dan cepat, juga bisa mencegah terjadinya korupsi dan suap di setiap lini. Sebab, ciri khas orang yang membutuhkan pelayanan biasanya ingin cepat terselesaikan. Jika sistem birokrasinya bertele-tele, maka ini akan membuka pintu terjadinya suap dan korupsi.
Di samping itu, agar birokrasi dalam Islam terhindar dari oligarki, pemerintahan Islam (khilafah) menerapkan satu hukum dan undang-undang untuk satu negara. Hukum yang diadopsi oleh khalifah menjadi undang-undang berlaku sama untuk seluruh wilayah. Undang-undang tersebut meliputi hukum syariah dan hukum administratif.
Meski administrasi dan birokrasi bersifat desentralistik, tidak berarti masing-masing daerah berhak mengeluarkan peraturan sendiri-sendiri. Karena otoritas membuat dan mengundangkan peraturan hanya ada di tangan khalifah, bukan pimpinan daerah setingkat gubernur, bupati, walikota, camat, atau lurah.
Hal ini akan menutup celah bagi elit politik untuk menjalankan politik oligarki dalam pemerintahan. Juga dipastikan tidak akan terjadi benturan hukum dan perundang-undangan, baik antara pusat dan daerah, maupun antara daerah dengan daerah yang lain. Demikian juga antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lain. Karena yang membuat satu orang, yaitu Khalifah.
Jika hukum tersebut telah diundangkan, maka seluruh rakyat negara Khilafah di wilayah mana pun mereka berada, wajib menaati hukum yang berlaku. Mereka mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum. Tidak ada hak istimewa, baik bagi Khalifah maupun pejabat yang lainnya. Semuanya akan diperlakukan sama yakni sebagai warga negara.
Dalam Khilafah, akan ada biro-biro yang dikepalai oleh ahli di bidangnya, serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah, dan cakap.
Inilah cara Islam menyusun birokrasinya hingga dapat menghindari oligarki. Mengharapkan sistem yang baik dan benar hanya ada pada sistem Islam. Sederhana dalam birokrasinya dan ditempati oleh para ahli yang amanah serta bertakwa.
Wallahu a'lam