Oleh: Widhy Lutfiah Marha
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Sudah memaksa para ayam memproduksi telur lewat cara-cara tidak normal, kini setelah kelebihan kuota, jutaan ayam akan dibunuh begitu saja atas nama kontrol harga. Keputusan ini diambil Kementerian Pertanian (Kementan) pada 27 November lalu.
Anjloknya harga ayam karena kelebihan suplai membuat tujuh juta bibit ayam akan dimusnahkan setiap minggu sejak Desember 2019.
Lagi-lagi Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) akan memusnahkan 20 ribu ton cadangan beras pemerintah (CBP). Beras sebanyak itu dibuang karena sudah mengalami penurunan mutu akibat disimpan terlalu lama di gudang. Wah, kalau istilah menyisakan sedikit nasi di piring makan benar-benar membuat petani menangis, apa yang dilakukan Perum Bulog bakal membuat petani meronta-ronta tujuh turunan.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog Tri Wahyudi Saleh mengatakan, menurut peraturan, cadangan beras memang harus dibuang apabila telah disimpan lebih dari empat bulan. Sebab, selepas durasi itu, kualitas beras akan memburuk dan mau tidak mau harus dimusnahkan.
Nilai beras yang dibuang mencapai Rp160 miliar. Bayangkan betapa sia-sianya. Angka 20 ribu ton ini sebenarnya bukan apa-apa. Dikutip dari Tirto, dari 2,3 juta ton beras yang ada di Gudang Bulog, sebenarnya ada 100 ribu ton yang sudah lebih dari empat bulan disimpan. Lalu, dari 100 ribu ton itu, 20 ribu ton bahkan sudah setahun disimpan. Beras yang terakhir inilah yang akan dimusnahkan.
Distribusi Nol dalam Negeri Ini
Kedua bahan pangan favorit masyarakat Indonesia ini terpaksa harus dibuang dan dimusnahkan karena melimpahnya pasokan. Kalau beras, melimpahnya pasokan Cadangan Beras Pemerintah, dan untuk ayam pasokannya melimpah di pasar. Dan penyebab overloadnya jumlah mereka adalah karena overload impor keduanya.
Untuk beras, di tahun 2018 menteri perdagangan Enggartiasto Lukita memutuskan untuk impor 2,25 juta ton beras, sementara yang terdistribusikan hanya 100 ribu ton. Begitupun dengan ayam. Di tahun 2017, Indonesia mengimpor 670 ribu indukan ayam, dampaknya sampai sekarang jumlah daging ayam melimpah, harga menjadi turun, dan merugilah para peternak lokal.
Ironinya, di tengah kebijakan membuang dan memusnahkan kedua bahan pangan tersebut, ada 22 juta orang di Indonesia yang hidup kelaparan dan 27,67% anak dalam menderita stunting. Sepertinya pemerintah belum pernah menghayati peribahasa "Bagai ayam mati di lumbung padi".
Pemerintah mengabaikan nasib rakyatnya yang kelaparan, dan bisa menghantarkannya kepada kematian, padahal mereka sebenarnya tengah hidup dalam melimpahnya bahan pangan. Nampaknya pemerintah tengah menghayati prinsip ekonomi kapitalis, yang telah menjadi sumber masalah kegagalan negara menyejahterakan rakyatnya, bahwa peningkatan produksi adalah jalan untuk memenuhi kebutuhan.
Peningkatan produksi dalam arti meningkatkan jumlah dan pasokan barang telah dilakukan, tetapi mengapa masih ada rakyat yang kelaparan? Karena dalam sistem kapitalis, tidak ada konsep distribusi. Tak ada ceritanya bahan pangan telah terdistribusi dengan baik kepada setiap jiwa penduduk. Dan sebagai pengurus rakyat, pemerintah seharusnya memperhatikan dan mengurusi kebutuhan pangan rakyatnya, bukan sekadar mengamankan pasokan jumlahnya. Lebih jauh lagi pemerintah harus memikirkan dan menetapkan kebijakan agar masyarakat bisa terpenuhi kebutuhannya.
Pemerintah juga telah memilih liberalisasi ekonomi dengan membuka kran impor sebesar-besarnya dan menganggapnya sebagai solusi jitu. Walaupun kebijakan yang lahir dengan orientasi liberalisasi, menunjukkan kegagalannya dalam menyejahterahkan rakyat. Sangat terlihat jelas keberpihakannya hanya kepada pengusaha bukan rakyat. Di satu sisi, pengusaha yang memenangkan tender impor beras dan pengusaha kartel meraup keuntungan sebesar-sebesarnya dari kebijakan impor. Di sisi yang lain, rakyat dibiarkan tetap kelaparan.
Mencari Solusi Hakiki
Bila sistem kapitalis gagal menyejahterahkan manusia karena tidak memiliki konsep distribusi dalam sistem ekonominya, Islam memposisikan distribusi sebagai suatu hal yang utama dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Bukan semata-mata karena memiliki uang manusia bisa memenuhi kebutuhannya, namun ada lima jalan yang diberikan oleh Islam untuk itu.
Pertama adalah dengan bekerja yang disyariatkan Allah.
Kedua dengan pewarisan.
Ketiga karena kebutuhan untuk menyambung hidup.
Keempat, pemberian harta negara untuk rakyat.
Kelima adalah harta yang diperoleh tanpa mengeluarkan kompensasi harta dan tenaga.
Dan tentu saja, praktek pendistribusian bahan pangan dalam Islam ini dijalankan beriringan dengan penerapan sistem yang lain, di bawah kepengurusan negara. Negara berkewajiban memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan untuk setiap jiwa. Negara dalam hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat beliau. Dalam kisah yang mahsyur, sebagai kepala negara yang memiliki tanggung jawab atas kebutuhan rakyatnya, Khalifah Umar bin Khattab memanggul sendiri karung tepung yang akan diberikan kepada keluarga yang kelaparan.
Negara yang menerapkan syariah kaffah dan berorientasi menuai berkah ini akan berdiri sebagai negara yang berdaulat. Sebagai pengurus urusan rakyat, tidak ada yang bisa mengintervensi kebijakannya baik itu dari pengusaha yang hanya beorientasi keuntungan materi maupun organisasi dunia yang beorientasi penjajahan. Masalahnya satu, maukah manusia pengelola negara ini untuk mengambil solusi hakiki yang telah terbukti ini? Wallahu a'lam bishshawab.