Oleh: Aina Syahidah (Muslimah Peduli Umat)
Perusahaan Umum (Perum) Badan Urusan Logistik (Bulog) akan membuang 20 ribu ton berasnya (Katadata.co.id, 6/12/2019). Pembuangan ini menuai sorotan, di samping merugikan negara senilai Rp 160 miliar. Tindakan Bulog ini sangat disayangkan, di tengah beredarnya kabar, 22 juta penduduk negeri kelaparan dalam kurun waktu 2016-2018 (Detik.com, 07/11/2019).
Di tengah kondisi rakyat yang kesulitan mendapatkan bulir demi bulir nasi, Bulog ternyata memiliki stok beras yang melimpah di gudangnya. Ironisnya, usia penyimpanan beras ada yang di atas satu tahun. Artinya, ketika kasus kelaparan terjadi, ada stok beras di gudang mereka (baca: Bulog). Mengapa tak didistribusikan saja?
Bulog Tak Berdaya Pasca AoA
Badan Urusan Logistik (Bulog) lahir berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet Nomor 114/Kep/1967. Sebagai lembaga negara yang mengurusi urusan perpanganan negeri. Bulog hadir sebagai lembaga penstabilisasi harga pangan, mempunyai tugas pokok mengendalikan harga beras, gabah, gandum, dan bahan pokok lainnya (Wikipedia). Siapa sangka, Bulog di masanya pernah membawa Indonesia Swasembada pangan di era 80-an (money.kompas.com, 19/02/2017).
Namun, pasca bergabungnya RI ke dalam forum WTO dengan menandatangai perjanjian liberalisasi pertanian AoA (Agree-ment on Agriculture) pada tahun 1995. Bulog tak lagi segesit dan seadidaya dulu di sektor perpanganan negeri. Pangan negeri pun mulai melemah. Perjanjian AoA menghendaki Indonesia untuk meliberalkan sektor pertaniannya, dan memaksa Indonesia masuk ke dalam pusaran pasar bebas. Sektor pertanian yang dulunya berada di bawah yuridiksi pemerintah bergeser di bawah pengaruh WTO (Hasibuan, 2015).
Sejak saat itu, Bulog kehilangan pamor. Ia tak lagi menjadi pemain tunggal di ranah impor maupun ekspor pangan. Pihak swasta maupun asing menjadi pemain tambahan yang terlibat di sana. Hadirnya swasta dalam urusan pangan nasional membuat Bulog sendiri tak berdaya. Berikut rakyat kecil di dalamnya.
Diakui oleh Buwas, Bulog hanya menguasai 6 persen pasar pangan Republik ini. Selebihnya dikuasai oleh pihak swasta, yakni sebesar 94 persen (Konfrontasi.com, 23/05/2019). Bila sekelas Bulog saja tak berdaya. Bagaimana dengan petani biasa yang jauh dari modal yang cukup? Tentu akan menyulitkan bagi mereka.
Maka wajar, bila Policies to Support investment Requirements of Indonesia’s Food and Agriculture development merilis data, bahwa ada 22 juta penduduk RI yang kelaparan. Dan sebagian besar mereka adalah petani. Itulah mengapa Guru Besar Fakultas Pertanian IPB, Prof. Dwi Andreas Santosa mempertanyakan keabsahan data yang mengatakan bahwa indeks ekonomi RI baik-baik saja, sedang ada 22 juta orang kelaparan (Detik.com, 07/11/2019). Bukankah semua ini sinyal betapa buruknya ketahanan pangan kita?
Cukup memilukan memang, mengingat dahulu sebelum kehadiran WTO, pangan RI pernah berada di atas angin. Negeri ini pernah mencapai swasembada pangan. Saat itu, pemerintah belum berlepastangan dari sektor intim negeri ini. Pemerintah benar-benar melabukan perhatiannya pada sektor pertanian. Mulai dari pemberian backingan modal bagi masyarakat petani, penggunaan bibit unggul, serta modernisasi pertanian melalui teknologi. Tidak hanya itu, pasokan pupuk juga pemasaran hasil pertanian menjadi tanggungjawab pemerintah (Kompasiana.com, 12/04/2019). Sehingga mustahil rasanya swasembada tak diraih.
Ketersediaan pangan merupakan sesuatu yang penting bagi suatu negeri. Kedaulatan negara bertumpuk pada swasembada pangan (Nasional.sindonews.com, 8/06/2019). Kemajuan teknologi, kemegahan infrastruktur akan menjadi tak berarti. Bila pangan tak tersaji di meja kehidupan penduduk negeri.
Sayang, konsep Reinventing Government yang berakar kuat dalam sistem neolib yang hari ini dijalankan rezim. Membuat Lembaga-lembaga pemerintah digiring menjadi bagian dari pelaku pasar. Mereka diharuskan untuk berhitung untung rugi dalam hal melakukan publik service kepada segenap rakyatnya (muslimahnews.com,11/12/2019).
Padahal mereka telah dipilih oleh rakyat untuk mengurusi kebutuhan hidup mereka. Namun lagi-lagi pengingkaran itu terjadi. Semua bertumpuh pada sistem kapitalistik neoliberalis yang hari ini diterapkan, dimana sinyal kegagalannya dalam mengatur urusan orang banyak tak dapat terelakan lagi.
Simpulan
Carut marut perpanganan negeri tak akan selesai tatkala cara pandang dalam pengelolaan ekonomi negeri ini tak berganti. Negara seharusnya tak boleh berlepastangan lalu menyerahkan urusan pemenuhan hajat hidup rakyatnya kepada mekanisme pasar ataupun pada korporasi swasta.
Dalam kacamata syariah, penguasa diibaratkan sebagai raa’in (pelayan) dan junnah (perisai) atas rakyatnya. Negara bertanggungjawab terhadap pemenuhan seluruh hajat hidup penduduk negerinya. Sebisa mungkin lembaga pemerintah mengupayakan agar rakyatnya terhindar dari hal-hal yang membahayakan serta mengancam nyawa. Sebagaimana yang termaktub dalam hadis Ahmad dan Ibnu Majah berikut ini, “Tidak boleh ada bahaya dan saling membahayakan.”
Maka kembali kepada Islam Kaffah adalah jalan terbaik agar bangsa ini dapat keluar dari berbagai tirani liberalisasi yang hari ini tengah menggerogoti kehidupan negeri. Di tangan pengaturan syariah, pangan negeri tak akan tersisih. Sebagaimana dalam sistem sekuler kapitalis, pangan dijadikan lahan untuk mengisi pundi-pundi rupiah para kapitalis semata. Wallahu’alam
Tags
Opini