Oleh: Anita-Ummu-Ina
Sobat muslimah tentu pada tahu bukan bapak menteri pendidikan baru kita. Yap, beliau adalah Bapak Nadiem Anwar Makarim. Salah satu gebrakan pak menteri adalah akan menghapus ujian nasional (tirto id). Wah, enak juga ya? 😊
Menurut pak mentri, selama ini ujian nasional tidaklah efektif. Beliau menilai bahwa ujian nasional tidak benar-benar merepresentasikan kemampuan intelektual siswa. Dalam ujian nasional, anak didik hanya dibebani dengan hafalan dan tidak diasah daya nalarnya. Bahkan dari sisi output, ujian nasional tidak berkorelasi dengan serapan lulusan di dunia kerja.
Disamping itu -tentang ujian nasional-, jika kita fikir-fikir apakah layak nasib 6 tahun atau 3 tahun masa pendidikan kita ditentukan hanya dalam waktu 3 hari saja saat ujian nasional? Wah, tidak pas juga ya 🤔
Maka berikutnya, bapak menteri kita ini mengemukakan gagasan pengganti ujian nasional. Yaitu dengan tes kompetensi pada 3 aspek: kemampuan literasi, numerisasi dan penanaman karakter berdasarkan pancasila yang masih digodog oleh Kemendikbud.
Sebagai seorang muslim, tentu kita ingin memahami bagaimana sebenarnya model evaluasi dalam sistem pendidikan Islam?
Sebelum berbicara tentang model evaluasinya, maka kita perlu memahami terlebih dulu. Bahwa dalam kacamata Islam, pendidikan merupakan hak dasar bagi tiap orang baik muslim maupun non muslim, baik anak-anak maupun dewasa, baik laki-laki maupun perempuan. Tak ada diskriminasi sedikitpun dalam Islam kepada siapapun orangnya dan akan dijamin penuh masing-masing mereka untuk mengenyam pendidikan secara mudah bahkan gratis. Tanggunhjawab penyelenggaraan pendidikan ada pada negara. Maka negara lah yang akan menyediakan dan memastikan pemerataan serta kelayakan fasilitas pendidikan, sarana prasarana dan ketercukupan semua yang dibutuhkan untuk menunjang pendidikan termasuk ketersediaan tenaga pendidik. Negara pula yang menjaga kualitas pendidikan dengan tetap mendasarkan pada Islam.
Menurut pandangan Islam, tujuan pendidikan adalah mencetak manusia-manusia agar memiliki kepribadian Islam. Yaitu memiliki pola pikir (cara berfikir berdasar 'aqidah Islam) dan pola sikap (bagaimana cara menyelesaikan problem berdasar 'aqidah Islam). Sehingga kurikulum pendidikan dalam sistem Islam sejak dini akan menguatkan basis 'aqidah Islam kepada anak didiknya hingga usia sekolah menengah. Diberikan juga tsaqafah Islam sejak dini sehingga pemikiran dan pemahaman Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka dan menjadi standar menilai berbagai hal. Selanjutnya ketika anak didik memasuki jenjang perguruan tinggi mereka sudah dibekali pula dengan ketrampilan dan keahlian teknik. Dan di perguruan tinggi mereka dibolehkan mempelajari tsaqafah asing dengan maksud mengungkap kerusakannya bukan untuk mengikutinya.
Terkait model evaluasi pendidikan, sistem pendidikan dalam Islam tidak mengenal ujian tulis melainkan ujian lisan dan digelar dihadapan beberapa guru besar. Sehingga siapapun yang ingin menggeluti satu kepakaran tertentu harus teruji secara nyata _kefaqihan_ dan kedalam ilmunya serta penguasaannya terhadap keilmuannya tersebut.
Pada akhirnya output pendidikan dalam sistem Islam akan mencetak manusia-manusia yang bertaqwa kepada Allah serta menta'ati syariatNya. Sekaligus dilengkapi dengan ilmu ketrampilan dan teknik serta penguasaan teknologi. Sehingga tak heran jika pada masa peradaban Islam, banyak lahir ilmuwan muslim yang mumpuni dalam berbagai hal. Tidak hanya ahli dalam bidang kedokteran, kesehatan, kimia, fisika, astronomi tapi juga faqih dalam hukum Islam. Sebut saja Ibnu sina, Al-Khawarizmi, Mariyam Al-Asturlabi, dll.
Wah, luar biasa banget ya sobat muslimah, sistem pendidikan Islam termasuk model evaluasi didalamnya. Pantas saja kita tidak pernah mendengar dalam sejarah peradaban Islam, ilmuwan atau penemu 'kaleng-kaleng'😅, justru ilmuwan muslim senantiasa menjadi rujukan ilmuwan Barat.
_Wallahu a'lam bish-showab_