Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Remaja)
“Kasihan bangsa, yang mengenakan pakaian yang tidak ditenunnya, memakan roti dari gandum yang tidak ia panen dan meminum susu yang ia tidak memerasnya. Kasihan bangsa, yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah….” Demikianlah penggalan puisi karya Kahlil Gibran yang berjudul “Kasihan Bangsa,” menggambarkan keadaan bangsa Indonesia hari ini.
Presiden Joko Widodo kembali menyoroti kebiasaan impor. Pasalnya, yang diimpor cuma pacul. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) impor pacul sepanjang Januari-September 2019 senilai US$ 101,69 ribu dengan total berat 268,2 ton. Para Menteri kabinet kerja pun merespon hal ini. Menurutnya, produksi sudah siap, namun pihak pembelinya saja yang belum sadar. Bukan hanya Menteri, kalangan pengusaha pun merespon. Menurutnya, impor pacul sangatlah memalukan dan tidak masuk akal. Mereka meminta pemerintah agar segera ikutan di dalam menghubungkan produsen dan pemakai pacul (http://m.detik.com, 8/11/2019).
Doyan Impor, Tanda Negara Lemah
Polemik tentang barang impor sampai hari ini seolah tidak ada habisnya. Bagaimana tidak, impor di Indonesia tercatat mengalami lonjakan dibanding kinerja ekspor yang justru lesu, terutama di 2018 yang belum lama berlalu. Kinerja impor yang menguat 11,68 % atau US$ 16,88 miliar pada November tahun lalu sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan jatuh cukup dalam.
Hingga September ini, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) nilai impor Indonesia mencapai US$ 14,26 miliar atau naik 0,63 persen dibanding Agustus 2019. Beberapa komoditas yang diimpor pemerintah sempat menjadi sorotan. Pasalnya, Indonesia sebagai negara agraris, masih doyan impor beras ketika petani sedang panen raya. Bahkan, impor sempat dipaksakan saat kapasitas Gedung Bulog surplus. Kemudian ada juga impor gula Indonesia hingga menempatkannya sebagai negara importir gula terbesar di dunia pada tahun 2017-2018 hingga saat ini angka impor gula Indonesia selalu di atas 4,5 juta ton per tahun.
Kedaulatan pangan sendiri menjadi salah satu program prioritas yang digembar-gemborkan pemerintahan Presiden Jokowi dalam Nawacita bahwa kita akan memenuhi kebutuhan pangan dari produksi negeri sendiri. Tak ada impor beras, gula, jagung bahkan daging. Jokowi menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai dan gula bias terlaksana dalam tiga tahun. Kenyataan yang berbicara nampak berbeda. Slogan swasembada pangan yang dimaksud itu tidak lebih dari jargon pencitraan belaka.
Tidak hanya itu, kabar terbaru Indonesia juga mengimpor alat pertanian, yaitu pacul. BPS mencatat total impor pacul sepanjang Januari-Oktober 2019 mencapai US$ 106,13 ribu dengan volume sebanyak 292,44 ton atau 292,444 kilogram (kg). Impor pacul ini keseluruhannya berasal dari Cina di tengah krisis petani Indonesia 10-15 tahun ke depan (http://cnbcindonesia.com, 15/11/2019).
Impor pacul ini mencuri perhatian publik, membuat publik geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, pacul yang merupakan alat tradisional dengan proses pembuatannya yang begitu sederhana, malah datang berbondong-bondong menyeberangi lautan dari luar negeri menembus pasar dalam negeri. Maraknya impor pacul ini membuat usaha pengrajin alat pertanian semakin tertekan, mengeluhkan penjualan yang menurun. Padahal kualitas pacul lokal tidak kalah dengan produk impor.
Tidak dapat dipungkiri bahwa negeri ini pada umumnya memang “doyan” impor. Bukan satu dua produk dipersilahkan masuk, melainkan hampir semua produk. Dampaknya jelas terasa ditengah-tengah masyarakat. Tidak sedikit pelaku usaha yang gulung tikar akibat kebijakan impor ini. Ironisnya, penguasa seakan masa bodoh dengan keadaan masyarakatnya. Satu sisi kran impor dibuka selebar-lebarnya. Disisi lain pemerintah berkoar-koar “cinta produk buatan sendiri.”
Membingungkan, menanggapi sikap pemerintah terhadap kondisi perdagangan negeri ini. Disisi lain mengatakan “Cintailah dan pakailah produk dalam negeri,” namun disisi yang lain fakta menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah pula menjadikan impor sebagai kegiatan yang tidak pernah absen dari negeri ini. Indonesia diserbu barang impor diberbagai sektor. Mulai dari pakaian, makanan, minuman, mainan, pacul, aspal, peralatan elektronik maupun peralatan dapur bahkan sampah pun impor. Yang dirugikan rakyat, importir itu sendiri. Padahal Indonesia sudah kaya, tentunya kaya akan Sumber Daya Alam (SDA), sehingga seharusnya Indonesia hari ini tidak mendapat label SSI, “Semua Serba Impor.”
Aneh tapi nyata, melihat gambaran sistem ekonomi yang berlaku di negeri ini. Pemerintah memiliki kebijakan instan, sebagai sebuah terobosan dibidang ekonomi yaitu aktivitas impor yang dibatasi dengan mekanisme dan kontrol pemerintah berdalih untuk melindungi konsumen dari harga barang lokal yang tinggi. Kenyataannya, kebijakan ini malah berujung pada naiknya harga barang domestik yang terus melebihi harga pasar dunia. Banjir produk impor, sebenarnya sudah konsekuensi logis ketika pemerintah masuk ke dalam perangkap kesepakatan wilayah ekonomi global.
Sangat disayangkan jika perekonomian Indonesia hari ini mengikuti pola perekonomian dunia. Atas dasar ketaatan kepada sistem perekonomian global, Indonesia menjadi negeri yang berada di bawah kekuasaan negara-negara maju, negara Amerika Serikat. Efeknya, Indonesia dipaksa tunduk dengan kebijakan dunia yang justru menimbulkan kerugian. Negara tidak mampu lagi mengontrol pendanaan untuk rakyatnya, impor meningkat, utang meroket, rakyat melarat.
Kebijakan impor tanpa batas ini membuktikan bahwa kita telah masuk perangkap rezim kapitalisme, terjebak dalam lingkaran sistem ekonomi kapitalis-neoliberal, jebakan permainan ekonomi global. Kita terjajah, membuktikan bahwa negara “kalah” dengan segelintir pengusaha importir yang memang mengeruk banyak keuntungan dari proses impor barang. Negara dikelola penguasa dengan mental terjajah.
Memang, bukan hal baru jika sistem ini hanya mendatangkan keuntungan untuk segelintir orang, para kapital meraup keuntungan sebanyak-banyaknya sedangkan rakyat hanya menggigit jari dan mengelus dada melihat kedzaliman yang terjadi. Makin komplit penderitaan rakyat, ketika negeri ini dibawah bayang-bayang sistem kapitalis-liberalisme. Para kapital bebas bersuara dalam menguntungkan kaum pemilik modal, para elit pejabat yang kecipratan persenan dari hasil impor, sedangkan rakyat khususnya para produsen lokal berderai air mata sebab mereka kalah bersaing dengan produk impor dan pada akhirnya gulung tikar.
Hingga benarlah jika sistem kapitalis-neoliberal yang diterapkan hari ini hanya mencetak penguasa yang tidak pernah peduli akan nasib rakyatnya, melainkan hanya peduli terhadap isi perutnya saja. Mereka yang sejatinya menjadi pelayan masyarakat malah menjadi fasilitator pemalak rakyat, berbuat sesuka hati tanpa mempedulikan bagaimana nasib rakyatnya. Maka, bertahan dengan sistem yang bobrok ini sama dengan mempertahankan penderitaan, mengharapkan kesejahteraan di dalamnya hanya sebuah ilusi dan mimpi kosong.
Islam, Sebaik-baik Solusi Penuh Berkah
Sejatinya, kebijakan impor yang hanya menguntungkan segelintir orang dan tidak pernah berpihak kepada rakyat ini, menunjukkan carut-marutnya sistem yang berlaku hari ini, sistem kapitalis-neoliberal dimana penguasa hanya berfokus pada perhitungan untung dan rugi, bukan pada kesejahteraan rakyat. Maka, suatu keharusan dan mendesak untuk segera menggantinya dengan sistem terbaik di muka bumi ini yaitu sistem Islam.
Islam sebagai agama yang paripurna memiliki solusi jangka panjang kepada permasalahan ketersedian produksi lokal rakyat hari ini. Islam tidak hanya sebagai ibadah ritual semata, tetapi juga memiliki serangkaian peraturan hidup yang jika dijalankan akan menjadi solusi berbagai permasalahan kehidupan manusia. Islam mengatur masalah perekonomian umat berlandaskan Syariat Islam, yang menjamin terlaksananya mekanisme pasar dengan baik.
Dalam Islam, negara mempunyai peran mengontrol mekanisme pasar secara adil dengan berdasar pada syariat Allah. Pada umumnya, kenaikan harga diakibatkan banyaknya permintaan dan penawaran yang tidak dibarengi dengan dorongan monopolistik, sehingga dapat diatasi dengan cara menambah suplai barang kemudian membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran konsumen sehingga harga pasar akan senantiasa terjaga. Negara juga memaksimalkan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) untuk kesejahteraan rakyatnya, serta memaksimalkan pendistribusian hasil SDA secara merata hingga pemenuhan hajat hidup rakyat secara keseluruhan terpenuhi. Bukannya badai impor.
Kebijakan impor dalam perspektif Islam dilaksanakan dengan beberapa kebijakan sesuai dengan hukum syara’ agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat tanpa terkecuali. Ada hal yang menarik di dalam kebijakan ekspor-impor dalam Islam, yaitu pedagang asing yang melakukan perdagangan ke dalam negeri akan dikenakan tarif sesuai yang dikenakan oleh negara asing terhadap pedagang lokal yang berdagang ke luar negeri. Misalnya, jika pedagang warga negara Islam memasukkan barang dagangan dikenakan tarif bea masuk sebesar 5%, maka bagi negara asing yang masuk ke negara Islam juga dikenakan sama. Inilah indahnya Islam, semua masalah yang ada dalam masyarakat bisa terselesaikan hanya dengan diterapkan negara Islam secara Kaffah, secara keseluruhan. Sistem Islamlah yang akan mengakhiri semua bentuk penjajahan rezim yang haus materi di muka bumi ini. Wallahua’lam bi shawab.