Ummu Zhafran
(Pegiat Opini, Akademi Menulis Kreatif)
Mulutmu harimaumu_peribahasa
Menyimak tayangan yang kini viral di media sosial asli mengaduk hati. Video dengan durasi semenit itu menampilkan sosok ibu Sukmawati Soekarnoputri dalam gelaran Focus Group Discussion (FGD) Divisi Humas Polri bertajuk ‘Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme’ (viva.co.id. 12/11/2019).
Tanpa tedeng aling-aling Sukmawati mempertanyakan siapa yang lebih berjasa dalam perjuangan kemerdekaan negeri ini, Nabi yang mulia atau Soekarno, yang notabene bapaknya sendiri.
Tak berhenti sampai di situ, ia juga membandingkan antara Pancasila dan Alquran, kitab yang Rasul saw. diutus dengannya. Sontak, publik gemuruh menolak kontroversi tersebut. Tak menyangka lisan Sukmawati sampai hati berucap demikian. Seorang ibu bernama Ratih sampai selangkah lebih maju. Beliau melaporkan putri dari Presiden pertama RI Sukarno, Sukmawati Soekarnoputri ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penistaan agama. (liputan6.com, 16/11/ 2019).
Nabi Muhammad saw, Manusia Pilihan
Meski lidah tak bertulang namun tak ada alasan bagi Sukmawati berujar demikian. Terlebih jika ia bagian dari Muslimin. Sebab Islam berlandas iman. Sedang Iman harusnya cinta. Jika cinta sejatinya tak akan tega membandingkan kecintaan – Muhammad saw.- dengan yang lain. Usah heran bila luka di benak umat bagai diiris sembilu bersusun.
Seperti yang diungkap Wasekjen PPP Achmad Baidowi (Awiek). PPP menilai kalimat yang dilontarkan Sukmawati ketika bicara soal Nabi Muhammad dan Presiden pertama RI Sukarno melukai perasaan umat Islam. (detiknews, 19/11/2019).
Soekarno boleh tercatat dan diakui sejarah dunia sebagai Proklamator kemerdekaan negeri ini. Namun kelak di hadapan Allah agar selamat, hanya syafaat Rasulullah saw. yang dinanti.
Benar, Muhammad dan Soekarno sama-sama manusia. Tapi ingat, Rasulullah saw., khalilullah yang dijamin ke-ma’shuman-nya. Kelak di akhirat beliau penghulu para Nabi dan Rasul sekaligus penutup, tiada Nabi setelahnya. Kerasulan beliau pun ditujukan untuk jin dan manusia hingga akhir masa. Jujur, adakah manusia yang sanggup menyamainya? Mustahil!
Firman Allah,
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (TQS Saba’ : 28).
Bertambah perih luka saat menyimak kalam Allah swt. berikut,
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (TQS. At Taubah : 128).
Masya Allah, sungguh ayat di atas harusnya lebih dari cukup menggetarkan jiwa orang-orang yang beriman.
Adapun Alquran sejatinya kalamullah. Sama sekali bukan sekedar bacaan tapi mukjizat Nabi saw. yang tak lekang oleh waktu dan zaman. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman. Menerapkannya di dunia kelak mendapat keselamatan. Sebaliknya bila menjauh bahkan berpaling berarti telah siap di hari kiamat berjumpa Allah di pengadilan.
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu Kitab Tuhanmu (Al-Qur’an). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari pada-Nya” (Al-Kahfi : 27).
Wajar bila ibu Ratih tak tahan untuk melaporkan. Tak kurang Sekjen LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan urun menilai apabila perbandingan tersebut disampaikan ke diri sendiri, tidak akan menimbulkan masalah. Tapi, ketika diucapkan di depan publik, maka dapat dinilai masuk dalam rumusan Pasal 156a KUHP yakni terkait penistaan agama. (vivisualiterasi.com, 19/11/2019). Apakah kasus ini bisa berlanjut ke meja hijau? Kita lihat saja.
Sebab bila menoleh ke belakang, peristiwa ini bukan kali pertama. Jauh sebelumnya penodaan terhadap agama berikut dengan simbol-simbolnya sudah berlangsung berkali-kali. Sedihnya lagi Islamlah agama yang disasar. Semakin jelas wujud sekularisme yang sejak lama mengakar. Riuh mengucap Allahu Akbar di masjid, pesantren dan langgar. Di luar itu hawa nafsu yang berbicara, Nafsu Akbar.
Pada gilirannya, berbicara apa saja dianggap bagian dari kebebasan berekspresi walau menista agama. Halal dan haram jangan harap ditimbang bahkan tak pernah dibahas dalam agenda. Apalagi surga neraka, bukan tak mungkin diklaim sebatas wacana.
Bukan Hanya Laku, Lisan, pun Dihisab
Alangkah indah syariah Islam menuntun manusia. Tak hanya perbuatan, lisan pun dijaga. Semata agar sepanjang hidup di dunia menuai pahala. Berharap di akhirat layak meraih surga. Sampai di sini jelas tak ada ruang dalam Islam untuk pisahkan aturan hidup dari agama.
Terkait lisan, mari renungkan ayat berikut,
”Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (TQS. Qaaf : 18).
Ucapan dalam ayat ini bersifat umum. Menunjukkan bahwa bukan perkataan yang baik dan buruk saja yang akan dicatat oleh malaikat, tetapi termasuk yang tidak bermanfaat atau sia-sia. (Tafsir Syaikh Ibnu Utsaimin)
Rasulullah saw. jauh hari bahkan telah mewanti-wanti,
“Barang siapa yang beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata dengan perkataan yang baik, atau hendaklah ia diam.” (HR. Bukhari).
Mengenai hadis di atas, Imam Syafi’i rahimahullah menjelaskan jika seseorang ingin berucap, maka hendaklah ia berpikir terlebih dahulu apa yang hendak diucapkan. jika baik dan memiliki efek positif maka ucapkanlah. Bertolak belakang dari hal tersebut, jika menimbulkan kegaduhan atau menyinggung orang lain lebih baik diam. Lain hal bila sejak awal memang berniat buruk ingin menjatuhkan Islam berikut simbol-simbolnya. Jika ini yang terjadi tak ada pilihan selain meninggalkan sekularisme untuk selamanya. Kembali mengambil Islam secara kaffah sebagai konsekuensi dari iman di dada. Dengan sendirinya takkan ada lagi yang lancang dan berani menista agama juga menghina.
Terakhir, semoga kisah berikut mendatangkan hikmah. Betapa penting menjaga lisan dalam keadaan apa pun. Tanpa keraguan. Tanpa alasan. Ikhlas semata dorongan iman.
Imam Ahmad pernah didatangi oleh seseorang dan beliau dalam keadaan sakit. Kemudian beliau merintih karena sakit yang diderita. Lalu seseorang berkata padanya, “Sesungguhnya rintihan sakit juga dicatat (oleh malaikat).”
Mendengar nasehat itu, Imam Ahmad seketika terdiam. Beliau takut jika merintih akibat rasa sakit, rintihannya akan dicatat oleh malaikat dan digolongkan sebagai perkataan sia-sia. (Silsilah Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 11/5). Shollu ‘alan Nabiy. Wallaahu a’lam.