Oleh: Safiyya Safa – Pemerhati Politik & Masyarakat
Fashluddin ‘anil hayah – memisahkan antara agama & kehidupan adalah asas dari sekularisme dan menjadi nafas dalam kehidupan demokrasi. Hal ini begitu kental terasa saat para mahasiswa yang tergabung dalam BEM SI berdemo di berbagai kota termasuk di depan gedung DPR MPR RI. Mereka menyuarakan demokrasi yang tersandera bila RKUHP juga revisi UU KPK disahkan. Ada RUU lainnya yaitu RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan yang juga mereka anggap bermasalah bila disahkan oleh DPR di masa akhir jabatan.
Undang-undang kontradiktif ini pun akar permasalahan sebenarnya adalah karena berasas dari fashluddin ‘anil hayah. Tidak berasaskan Alquran & Assunnah. Akhirnya, begitu diterapkan di dalam kehidupan maka tak heran berbenturan dengan berbagai kepentingan individu & golongan. Terjadi kontradiksi. Ini bisa dilihat dari kritikan yang disuarakan para mahasiswa terkait pasal-pasal yang menurut mereka kontroversial dalam kehidupan berdemokrasi.
Bila dicermati, RKUHP sebenarnya dirancang untuk menggantikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Belanda. Namun rancangan ini justru ada memuat pasal-pasal yang kontroversi.
Contohnya pada pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal bui 1 tahun atau denda Rp10 juta. Pidana ini diatur sebagai delik aduan dari suami, istri, orang tua dan anak. Sementara pasal 418 mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan denda Rp10 juta. Pidana ini delik aduan. Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa paksaan) dinilai mengancam privasi warga (tirto.id. 25/9/2019).
Revisi UU KPK sendiri dinilai justru akan melemahkan & mengebiri fungsi KPK dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana dengan RUU Pertanahan, RUU Minerba, RUU Pemasyarakatan, dan RUU Ketenagakerjaan?
- Pada RUU Pertanahan mengandung konsepsi kolonial, domain verklaring-suatu pernyataan yang menetapkan suatu tanah menjadi milik negara jika seseorang tidak dapat membuktikan kepemilikannya. Hak Guna Usaha (HGU) diprioritaskan bagi pemodal berskala besar. RUU ini semata-mata hanya mempercepat sertifikasi tanah dan akan membentuk bank tanah yang dinilai hanya menjawab keluhan investor soal hambatan pengadaan dan pembebasan tanah untuk pembangunan infrastruktur.
- RUU Minerba mengandung banyak kelemahan, demikian menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah. Merah mengatakan ada pasal yang hilang mengenai korupsi yakni pasal 165,”Pejabat yang mengeluarkan izin pertambangan bermasalah dengan menggunakan penyalahgunaan wewenang dapat dijerat tindak pidana korupsi.”
- Ada 14 pasal revisi RUU Ketenagakerjaan yang ditolak oleh asosiasi buruh. Diantaranya pasal 81 mengenai cuti haid yang akan dihapus lantaran nyeri haid dapat diatasi dengan obat antinyeri. Pasal 100 bahkan menyebutkan akan menghapus fasilitas kesehatan.
- RUU Pemasyarakatan menuai kontroversi khususnya pada poin terkait pemberian pembebasan bersyarat terhadap narapidana kasus kejahatan luar biasa, salah satunya korupsi. Melalui RUU ini narapidana memperolah berbagai kemudahan (pasal 9) yakni berhak mendapatkan pendidikan, pengajaran, kegiatan rekreasi dan mengembangkan potensi (Tabloid Media Umat, Ed.251, 4-17 Oktober 2019).
Berdasarkan pada fashluddin ‘anil hayah, demokrasi menjadikan Four Freedom (Empat Kebebasan) yaitu ‘kebebasan berpendapat & berekspresi’ (freedom of speech & expressions), ‘kebebasan beragama’ (freedom of religion), ‘kebebasan dari kekurangan & kemiskinan’ (freedom from want) dan ‘kebebasan dari ketakutan’ (freedom from fear) sebagai asas menetapkan peraturan. Empat kebebasan tersebut disuarakan oleh F.D Roosevelt dalam pidatonya di depan Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat pada 6 Januari 1941. Namun pada praktiknya, tetap terjadi kontradiksi dalam kehidupan sebab tergantung kepentingan dari yang memberlakukan kebijakan (rezim penguasa).
Mekanisme pengesahan UU dalam demokrasi yakni dengan memfungsikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk legislasi, menyusun peraturan perundang-undangan. Alurnya sebagai berikut :
• Diajukan oleh Presiden atau DPR/DPD
• Disiapkan oleh menteri/pimpinan lembaga terkait
• Dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR u.jangka waktu 5 tahun
• RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik
• Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk & membagikan ke seluruh rapat anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna
• Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut
• Jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan
• Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus
• Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DP, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya
• Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak
• Bila RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan . Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam lembaga Negara Republik Indonesia
• Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-undang dan wajib diundangkan (detiknews, 23/2/2018).
Sebuah undang-undang pun juga harus lolos uji akademik, uji publik baru diuji secara politik di DPR.
Saat proses pengesahan, tata tertib DPR tidak mengharuskan anggota DPR hadir di ruang sidang. Yang dihitung oleh pimpinan sidang adalah jumlah absensi alias daftar hadir. Aturan ini dibuat sendiri oleh DPR sehingga ketika ada pembahasan hal-hal penting negara, kursi DPR banyak yang kosong, sementara daftar hadirnya penuh. Absensi tentunya tidak bisa protes atau menyampaikan pendapat. Fakta yang ada menunjukkan anggota DPR sebagai penyalur aspirasi partai.Terjadi ketidaksinkronan suara rakyat dengan wakil rakyat/partai politik (Tabloid Media Umat, Ed.251, 4-17 Oktober 2019).
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) mencatat jumlah anggaran untuk pelaksanaan fungsi legislasi mencapai RP.1,6 triliun selama 2015-2019.Per tahun DPR membelanjakan Rp.320 miliar dan dianggarkan di tahun 2018 Rp 385 miliar untuk 50 RUU. Faktanya yang disahkan DPR 6 UU dari 50 RUU Prolegnas 2018. Artinya DPR diduga berpotensi memboroskan anggaran negara sebanyak Rp.284,3 miliar karena ada 44 RUU yang tidak disahkan (Tabloid Media Umat, Ed.251, 4-17 Oktober 2019).
Sudah semestinya bukti-bukti kebobrokan demokrasi menyadarkan umat agar tidak lagi mengharapkannya sebagai solusi. Fitrah sebagai manusia yang lemah dan terbatas sudah semestinya mampu menyadari bahwa aturan Illahi yang dibutuhkan dalam mengatur kehidupan. Sebab Allah sebagai Sang Pencipta, tentu ia yang memahami apa yang diperlukan seluruh makhlukNya. Bukan justru manusia yang membuat aturan sekehendak hati demi menuntaskan permasalahan.
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah ayat 50).
Hukum buatan manusia yang terkait pandangan hidup (mabda’) dengan legislasi parlemen tentunya tidak mendapat tempat di dalam Islam. Harus dipahami bahwa fungsi Majelis Umat bukanlah legislator sebagaimana parlemen, namun sebagai syura & muhasabah. Syura merupakan aktivitas mengambil pendapat yang dilakukan dalam majelis. Tolok ukur pendapat yang benar di sini adalah dalil syara’ yang kuat bukan jumlah suara. Majelis Umat mengawasi pemerintah dalam menjalankan hukum-hukum Islam & melayani kepentingan masyarakat.
Undang-undang (Qanun) dilegislasi hanya oleh Khalifah dan tentu harus berdasarkan pertimbangan dalil syar’i yang kuat disertai pemahaman yang tepat mengenai permasalahan yang terjadi. Proses legalisasi ditempuh setelah melakukan pengkajian, memahami permasalahan, fakta & dalil syara’. Jadi, kedaulatan menurut Islam adalah milik syara’. Walaupun ada kebolehan berijtihad namun hanya khalifah yang berhak terkait legislasi undang-undang. Undang-undang yang dilegislasi oleh khalifah jelas sebagai wujud praktis untuk melaksanakan hukum-hukum Allah terkait keterikatan dengan hukum syara dan tentunya mensolusikan permasalahan umat demi kemaslahatan mereka.
Memprotes berbagai (rancangan) undang-undang bermasalah tanpa menghancurkan biangnya tentu akan menguras energi, membuang waktu dan masalah pun tak kunjung tuntas. Arah perjuangan tentu harus diluruskan, sebab hingga kini dalam benak para aktivis bahwa (rancangan) undang-undang bermasalah adalah akibat tidak terwujudnya demokrasi yang seutuhnya dalam kehidupan bernegara. Demokrasi masih menjadi ilusi manis nan utopis dalam otak mereka.
Manusia biarpun ia berpikir mendalam (amiq) tanpa panduan wahyu Illahi tentu tidak mencapai taraf berpikir yang jernih (mustanir). Sehingga bila ia membuat aturan tentunya bukan karena tunduk kepada Illahi tapi sebatas untuk mampu memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan sesuai kehendak mereka.
Maka sudah semestinya ingatlah kembali kepada Illahi sebagai Al Khaliq. Jadikanlah apa yang telah Allah turunkan melalui Rasulullah sebagai landasan & tuntunan kehidupan. Standar perbuatan pun kembalikanlah kepada ridho Illahi bukan kepada manfaat ataupun kepentingan-kepentingan pribadi & golongan.
Wallahu’alam bish shawab.