Slip Of Tounge atau Narasi Ngawur?



Oleh: Esem Pusnawati

Setelah puisinya terkait konde, kidung, jilbab dan suara azan yang menuai kontroversi, kini kembali pernyataan Bu Sukmawati menuai polemik yaitu membandingkan Nabi Muhammad SAW dengan ayahnya, Soekarno. Hal ini berlangsung saat acara Focus Group Discussion (FGD) Divisi Humas Polri bertajuk Bangkitkan Nasionalisme Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme di Jakarta Selatan yang diselenggarakan pada Senin, 11 November 2019 lalu.
Kutipan dalam video tersebut berisi "...pada awal abad 20, yang berjuang memerdekakan  Indonesia itu Yang Mulia Nabi Muhammad SAW atau Insinyur Soekarno?...". Pernyataan tersebut disampaikan di depan mahasiswa dan generasi muda yg digelar di gedung The Tribata Darmawangsa. Setelah menuai polemik dan cibiran dari masyarakat, beliaupun mengklarifikasi bahwa tujuan dari pertanyaannya yaitu ingin mengetahui apakah generasi muda memahami sejarah atau tidak. Namun pernyataan yg tidak kontekstual dan menuai kontroversi tersebut Membandingkannya dilontarkan oleh tokoh nasional. Bahkan pernyataan tersebut masuk dalam kasus penghinaan terhadap agama yang terdapat pada pasal 156a KUHP.
Mengenai pernyataan siapa yang berjuang di abad 20, Yang Mulia Nabi Muhammad SAW atau Insinyur Soekarno? Memang Rasulullah sudah tidak ada di abad ke 20. Namun bukan berarti tidak ada keterikatan antara Rasulullah dengan kemerdekaan Indonesia. Justru tidak ada jihad melawan penjajah bila Rasulullah tidak lahir ke dunia. Bahkan para pahlawan terinspirasi dari perjuangan Rasulullah dalam jihad memerangi penjajah. 

Ketika kita melirik pada sejarah, mungkin kita akan menemukan tidak hanya Soekarno pahlawan negara ini. Ada pangeran Diponegoro, Jendral Sudirman, Imam Bonjol, dan KH Hasyim Asyari yang melawan negara penjajah seperti Portugis, Belanda, Jepang dan sebagainya. Mayoritas dari mereka adalah muslim dan para ulama, yang lahir dari mereka semangat jihad yang terinspirasi dari Rasulullah.
Dalam video tersebut Bu Sukmawati juga menyinggung mengenai istilah hijrah yang dikaitkan dengan radikal dan teroris. Hijrah secara etimologis adalah perpindahan seseorang dari yang buruk kepada yang lebih baik. Ini adalah suatu hal yang sangat positif, contoh: seseorang bermaksiat lalu dia tobat atau meninggalkan perbuatan maksiat kemudian hijrah/berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Sedangkan secara terminologis hijrah adalah fase berpindahnya Rasulullah, para sahabat dan kaum muslim dari Mekkah ke Madinah. Dan fase ini adalah fase yang penting dan penuh makna bagi kaum muslim. Dari sinilah dakwah Islam berkembang.

Mengaitkan istilah hijrah dengan radikal dan teroris adalah suatu hal yang menyinggung dan menyakiti umat Islam. Karena arti radikal seringkali diartikan suatu hal yang ekstrim, kriminal dan jauh dari definisi yang sebenarnya. Sedangkan teroris sangat jauh sekali dari perbuatan yang diajarkan Rasulullah, karena Islam memandang individu (terutama kaum muslim) adalah satu tubuh. Bahkan dalam alquran membunuh tanpa haq adalah haram.

“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al Maidah: 32).
Membandingkan Nabi Muhammad dengan Soekarno tidak pantas dilakukan, karena keduanya sangatlah berbeda jauh dan tidak pantas untuk dibandingkan. Bagaimana mungkin membandingkan Yang Mulia dengan yang tidak mulia. Kemorosotan taraf berpikir inilah yang dilahirkan dari sistem yang rusak dan menghantarkan kepada kebodohan yang akut. Pemahaman yang keliru terhadap sejarah dan kurangnya pemahaman Islam membuat seseorang berpikir dan bertindak ngawur. Semoga kita termasuk orang-orang yang dilindungi oleh Allah dari kesesatan dalam berpikir. Aamiin.

Wallahu'alam bishawab


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak