Oleh : Mujianah, S.Sos.I
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, mencanangkan program baru yang sebenarnya penguatan dari program Kementrian Agama sebelumnya yaitu sertifikasi persiapan perkawinan bagi calon pengantin. Yang rencananya akan berlaku tahun depan.
Menurutnya, calon pasangan pengantin harus dibekali ilmu tentang pernikahan terutama masalah kesehatan reproduksi agar mampu menyiapkan generasi berkualitas bagi masa depan bangsa. Selain itu, mereka juga harus dibekali tentang ilmu ekonomi keluarga atau ekonomi kerumahtanggaan.
Pelatihan pranikah ini diharapkan dapat menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting, dan meningkatkan kesehatan keluarga. Maka sertifikat pranikah inipun tidak menutup kemungkinan nantinya akan menjadi syarat wajib nikah. Sebagaimana pernyataan Muhadjir, bahwa yang belum lulus, tak boleh nikah. (Tempo.co)
Komisioner Komnas Perempuan, Imam Nakha'i pun menyambut baik sertifikasi pranikah tersebut. Beliau setuju jika sertifikasi yang dimaksud adalah sertifikasi sebagaimana gagasan Kemenag yaitu untuk membangun keluarga yang kokoh dengan prinsip kesetaraan dan keadilan.
Menurut Imam, sertifikasi ini penting karena saat ini terjadi perang narasi ketahanan keluarga. Ada kelompok yang memaknai ketahanan keluarga dengan kembalinya perempuan ke ruang domestik, ketaatan penuh pada suami, dan kepemimpinan laki-laki. Sementara menurutnya, ketahanan keluarga akan bisa dicapai melalui perkawinan yang berprinsip kesetaraan, keadilan, dan kesalingan. Sebagaimana konsep perkawinan yang ditawarkan Kemenag. (tempo.co)
Wacana sertifikasi pranikah inipun menuai pro dan kontra. Pasalnya, benarkah bahwa tingginya angka perceraian dan angka stunting akibat kurangnya ilmu tentang pernikahan bagi calon pasangan suami istri semata? Atau sebenarnya ada persoalan lain yang mempengaruhi?
Memang benar, persoalan ekonomi lebih sering menjadi penyebab perceraian. Nafkah suami yang tidak mencukupi tak jarang memicu konflik dalam rumah tangga. Hal ini pula yang membuat para istri akhirnya menghabiskan banyak waktunya di luar rumah untuk membantu mencari nafkah. Sehingga suami dan anak-anak terlantar. Rumah tangga tak harmonis. Terjadi perselingkuhan. Ujungnya adalah perceraian.
Adalah tidak tepat jika Imam Nakha'i mengatakan bahwa ketahanan keluarga hanya bisa dibangun dengan prinsip kesetaraan dan keadilan. Yang memberi kebebasan bagi para istri di ruang publik. Agar keberadaannya setara dengan laki-laki. Kenyataannya, jika istri lebih banyak keluar rumah, justru sering memicu konflik rumah tangga. Serta menimbulkan berbagai fitnah yang akhirnya mengaganggu keharmonisan keluarga.
Jika menilik pada sertifikasi pranikah, pasangan calon suami istri memang akan dibekali dengan pengetahuan seputar pernikahan dan keterampilan ekonomi. Dan hal tersebut sesungguhnya adalah upaya yang bagus. Namun pelatihan pranikah selama 3 bulan ini sungguh kontrakdiktif, jika lapangan kerja dan iklim ekonomi yang ada tak memberi peluang bagi para suami untuk mencari nafkah. Sehingga masalah keuangan akan tetap menjadi persoalan utama dalam rumah tangga. Belum lagi penerapan Sistem Kapitalis yang membuat biaya hidup semakin tinggi dan membebani rakyat. Menjadikan ketahanan keluarga semakin rapuh.
Maka hal ini pulalah sebenarnya yang menjadi pemicu tingginya angka stunting pada anak. Gizi buruk dan rendahnya kesehatan khususnya bagi ibu saat mengandung dan melahirkan, bukan semata-mata karena kurangnya ilmu. Namun karena tingginya beban hidup. Menyebabkan mereka tak bisa memenuhi kebutuhan gizi seimbang untuk ibu dan anak.
Memberi bekal ilmu pernikahan bagi calon pasangan suami istri memang perlu. Supaya suami dan istri faham tentang hak dan kewajibannya. Bahwa kewajiban suami memberi nafkah keluarga dan kewajiban istri adalah mengurus rumah dan anak-anak. Dengan demikian keharmonisan dan ketahanan keluarga akan terjaga.
Namun, pembekalan pranikah saja tidak cukup untuk menekan angka perceraian, stunting atau pernikahan dini. Peran negara sungguh sangat dibutuhkan tak hanya dalam urusan pelatihan sebelum menikah saja. Tetapi juga memberi kemudahan dalam aspek yang lain seperti akses kesehatan gratis dan terbukanya lapangan pekerjaan bagi laki-laki. Sehingga para istri bisa maksimal mengurus rumah dan anak-anak termasuk menjaga kesehatannya. Sementara sang suami fokus mencari nafkah.
Selain itu negara juga harus tegas dalam mengatur pergaulan laki-laki dan perempuan. Memberi batasan yang jelas tentang interaksi antara laki-laki dan perempuan. Sehingga tidak terjadi gaul bebas dan perzinahan yang akhirnya memaksa pasangan muda yang belum memiliki cukup ilmu untuk segera menikah karena kehamilan di luar nikah.
Jadi, negara sebagai pengayom dan pelayan rakyat harus hadir dalam semua aspek kehidupan. Tak hanya hadir dalam mengurus sertifikat pranikah saja, sementara aspek yang lain diabaikan. Sehingga ketahanan keluarga yang diharapakan tak jauh panggang dari api.
Islam sebagai sebuah sistem hidup sejatinya telah memiliki konsep yang jelas tentang pernikahan, hak dan kewajiban suami istri, serta batasan pergaulan laki-laki dan perempuan. Selain itu, dalam sistem Islam, negara memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rakyat termasuk kesehatan gratis serta peluang pekerjaan bagi laki-laki. Sehingga dengan menerapakan Islam untuk mengatur kehidupan, maka ketahanan keluarga yang diharapkan akan terwujud.
Wallahu a'alam bishowab