Sertifikasi Pra Nikah, Mampukah menyelesaikan Masalah?



Oleh : Heni Andriani 


Memasuki gerbang pernikahan adalah impian bagi setiap pasangan yang hendak menjalin ikatan pernikahan. Mendambakan keluarga harmonis, jauh dari pertengkaran tentu menjadi dambaan setiap orang. Apabila setiap keluarga dinaungi dengan keharmonisan maka melahirkan generasi yang kuat dan kokoh.Karena keluarga yang berkualitas akan menjadi pondasi kuat tumbuh dan berkembang suatu bangsa. Namun saat ini justru keluarga - keluarga di Indonesia mengalami keretakan didalam rumah tangganya. Banyak faktor yang menjadi pemicu diantaranya tingginya tingkat perceraian. 


Terjadinya perceraian biasanya karena faktor usia yang sangat muda dibawah 35 tahun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Banyak faktor yang menjadi pemicunya. 

Hal ini yang mendorong pemerintah untuk melakukan program khusus pranikah. Setiap pasangan diwajibkan kursus pranikah dimana sebelumnya hal ini hanya bersifat sukarela saja. Karena pemerintah memahami sumber persoalannya karena kurangnya pemahaman tentang pernikahan. 


 

Kebanyakan perceraian terjadi pada pasangan nikah usia di bawah 35 tahun. Mengapa banyak terjadi perceraian? Banyak faktor penyebabnya  memang. Namun, pemerintah berkeyakinan sumber persoalannya karena kurangnya pemahaman tentang pernikahan.


Berdasarkan fakta tingginya perceraian akhirnya pemerintah memunculkan gagasan untuk menata ulang program kursus pranikah. Bagi pasangan yang hendak menikah diwajibkan untuk mengikuti kursus pranikah dan nantinya akan mendapatkan sertifikat. 


Sebagaimana dilansir TEMPO.CO,Jakarta- Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi akan mencanangkan program sertifikasi perkawinan bagi calon pengantin. Pasangan yang akan menikah harus dibekali pemahaman yang cukup tentang pernikahan. Salah satu pengetahuan yang harus mereka miliki tentang ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi (19/11/2019).


Memiliki sertifikat merupakan sebuah syarat bagi siapapun yang hendak menikah. Di materi kursus pranikah dibekali tentang bagaimana mengetahui sebab-sebab perceraian, perlindungan anak dan berbagai problematika rumah tangga. 


Namun yang menjadi pertanyaan apakah dengan berbagai kursus pranikah tersebut mampu mengurangi angka perceraian di Indonesia? 


Jangan sampai kursus pranikah ini hanya untuk mendapatkan sertifikat semata dan nihil dari nilai-nilai serta tujuan  yang hendak dicapai. Selain  itu juga ada sebuah kekhawatiran apabila para calon pengantin ini tidak lulus nikah terlibat dalam perzinaan ataupun praktik sogokan agar diluluskan. Hal ini bisa kita saksikan di berbagai program sertifikasi hanya legalitas semata miskin dengan kualitas. 

Maka sesungguhnya diadakannya program kursus pranikah jangan dijadikan bahan acuan atau solusi untuk mengatasi angka perceraian. Tetapi sebaiknya harus dicari akar masalah tingginya angka perceraian di Indonesia. 


Jika ditelusuri tingginya angka perceraian sangatlah komplek. 

Sesungguhnya persoalan pokoknya adalah karena sistem yang mengatur manusia saat ini adalah aturan demokrasi Kapitalis. Tengoklah bagaimana sistem ekonomi dan sosial yang terpuruk dan rusak telah berkontribusi dalam mencerai beraikan keluarga - keluarga yang ada di Indonesia. Faktor ekonomi lebih dominan menjadi penyebab utama tingginya angka perceraian karena beban hidup yang semakin tinggi membuat keharmonisan rumah tangga hancur. Banyak yang melakukan gugatan cerai karena himpitan ekonomi. Perselingkuhan, gaya hidup hedonis, liberalis,  ditambah ide gender yang menjangkiti kalangan para perempuan mengakibatkan  lebih memilih hidup sendiri. Pada saat ini banyak perempuan yang melakukan gugat cerai hanya karena masalah sepele. Paham kesetaraan gender mengakibatkan para istri enggan melayani suaminya. Ketika suaminya memaksa untuk dilayani pihak perempuan melaporkan ke Komnas Perempuan . Tentu kondisi ini memicu konflik internal padahal hal ini sudah dipahami bahwa yang sudah bersuami wajib taat suami. Jadi sesungguhnya paham demokrasi telah mengikis ketaatan, keharmonisan keluarga di Indonesia.


Oleh karena itu, seharusnya pemerintah mencari hal-hal pokok agar angka perceraian bisa segera diatasi. Solusi yang hakiki bukan yang tambal sulam. 

Untuk itu pemerintah harus menciptakan suasana yang kondusif, bersinergi dan terintegritas. Adanya ketakwaan individu akan mengakibatkan seseorang untuk tidak melakukan gugat cerai karena rasa takut kepada Allah Swt. 

Pemerintah juga hendaknya memberikan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia. Menyiapkan lapangan kerja yang tinggi agar para suami mudah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Negara melakukan penjagaan terhadap perilaku yang menjerumuskan ke hal-hal yang buruk terutama dalam hal ini media massa yang paling dominan mempengaruhi perilaku seseorang. 


Negara juga harus meminimalisasi berbagai macam pergaulan bebas dan perselingkuhan yang semakin masif saat ini dengan upaya penegakan hukum yang tegas. 


Adanya pembinaan terhadap masyarakat dengan pemahaman agama yang utuh akan meningkatkan kesadaran hidup untuk mau diatur oleh aturan Allah bukan yang lain. Islamlah yang dijadikan standar hidup sehingga setiap tindakan senantiasa ditimbang dengan aturan Islam. Hubungan suami istri terasa harmonis karena memahami hak dan kewajiban. Hal ini tentu akan jauh dari perselingkuhan dan perceraian. 


Dengan Islam angka perceraian akan ditekan. Karena hidup didalam naungan sistem Islam semuanya indah dan harmonis. Sertifikat pranikah tidak diperlu ada. 


Wallahua'lam Bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak