Sekularisme Menyuburkan Penistaan Agama



Oleh: Mustika Lestari
(Pemerhati Remaja)

Ketika dunia ini telah redup, kau datang dengan membawa cahaya, yang menerangi seluruh alam semesta ini. Dunia ini tersenyum, menanti akan kehadiranmu wahai junjunganku. Menanti semua akhlakmu yang mulia. Engkau tak mengenal lelah, letih hanya demi membela agama Rabb-mu, wahai junjunganku. Engkau dicaci, engkau dimaki oleh orang-orang yang tak bertanggungjawab wahai junjunganku, orang-orang yang tak mengerti akan keesaan Tuhan Ilahi Rabbi. Tapi apa balasanmu wahai junjunganku, kepada orang-orang yang telah menzalimimu. Tidakkah engkau menaruh setitikamarah terhadapnya... Itulah penggalan puisi karya Nining Sariningsih yang berjudul “Muhammadku.”

Lagi-lagi pelecehan terhadap ajaran Islam berulang. Kali ini pelecehan kepada nabi mulia, Muhammad SAW. Sukmawati Soekarnoputri mengklarifikasi pernyataannya yang menjadi kontroversi karena dianggap membandingkan Soekarno dengan Nabi Muhammad SAW. Dia menyebut video yang tersebar di media sosial telah diedit, bukan sepenuhnya seperti yang dia sampaikan. 

Dalam potongan video yang dimaksud, Sukmawati berkata, “Mana yang lebih bagus Pancasila atau Al-Qur’an? Sekarang saya mau tanya nih semua. Yang berjuang di abad 20, itu nabi mulia Muhammad apa Ir. Soekarno untuk kemerdekaan?”

Sukmawati menjelaskan video itu merekam momen ketika ia sedang berbicara di forum anak muda yang mengusung tema membangkitkan nasionalisme, menangkal radikalisme dan memberantas terorisme (http://m.cnnindonesia.com, 16/11/2019).
Sekularisme Melecehkan Agama Islam?

Polemik dugaan penistaan agama oleh Sukmawati semakin ramai diperbincangkan. Pasalnya, beliau kembali tersandung kasus yang sama. Sukmawati Soekarnoputri, salah satu putri Proklamator Indonesia Ir. Soekarno dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas kasus dugaan penistaan agama. Laporan tersebut terdaftar tanggal 15 November 2019. Pelapor menyebut diri sebagai pihak umat Islam yang merasa dirugikanatas pernyataan Sukmawati dalam sebuah acara diskusi bertajuk “Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme” yang diduga menistakan agama. Dalam diskusi itu, pelapor menemukan pernyataan Sukmawati yang membandingkan jasa Nabi Muhammad SAW dengan Ir. Soekarno yang merupakan ayahnya.

“Mana lebih bagus Pancasila atau Al-Qur’an? Sekarang saya mau tanya nih semua, yang berjuang diabad 20, itu Nabi yang mulia Muhammad apa Insyinyur Soekarno untuk kemerdekaan?” Ujarnya, (http://m.cnnindonesia.com, 16/11/2019).

Sukmawati bukan kali ini saja diaporkan ke polisi karena ucapannya yang kontroversial. Dilansir dari metro.tempo.co pada 2018, Sukma pernah dilaporkan karena puisi bertajuk “Ibu Indonesia” yang dibacakannya dalam acara “29 Tahun Anne Avantie Berkarya di Indonesia Fashion Week 2018.” Dalam puisi itu, adik dari Megawati Soekarnoputri tersebut membandingkan azan dengan kidung dan cadar dengan konde. Sejumlah pihak menganggap puisi Sukma tersebut telah menistakan ajaran Islam. Tak tanggung-tanggung, ada 30 laporan dilayangkan ke Polda dalam kasus ini. 

Sampai hari ini, kasus pelecehan islam di negeri kita ini tidak pernah kering dari pemberitaan di media-media. Ironisnya hari ini, penghinaan terhadap Islam tidak hanya datang dari orang kafir, melainkan muncul dari orang Islam itu sendiri. Kasus terbaru selain Sukmawati, YouTuber Atta Halilintar juga dilaporkan Ustadz Ruhimat ke Polda Metro Jaya atas tuduhan menista agama. Salah satu isi konten Atta disebut mempermainkan gerakan shalat. Dalam video itu, Atta dan adik-adiknya terlihat sedang shalat berjamaah dengan menggunakan baju Muslim. Namun, Atta dan adik-adiknya itu saling menginjak kaki satu sama lain. Hal itu yang dinilai ustadz mempermainkan agama.

Penistaan agama memang bukan hal baru di Indonesia. Dalam jumpa pers di kantor Setara Institute, Kamis (11/5), Halili Hasan, peneliti di Setara Institute sekaligus dosen Universitas Negeri Yogyakarta, menjelaskan dari hasil riset dilakukan Setara Institute, sepanjang 1965-2017 terdapat 97 kasus penistaaan agama. Yang menarik , dia menambahkan kasus dugaan penistaan agama ini makin banyak sejak rezim Orde baru tumbang. Dia menyebutkan sebelum reformasi hanya ada 9 perkara penistaan agama, namun sehabis reformasi jumlah kasusnya membengkak menjadi 88 kasus. Tidak hanya sampai disitu, berdasarkan data yang dimiliki oleh Amnesty Internasional, kasus penistaan agama di Indonesia sepanjang 2017-2018 sudah menjerat 15 orang. 
Kasus penistaan agama kian marak terjadi. Mulai dari penghinaan atau pelecehan terhadap Allah SWT, Rasulullah SAW, Al-Qur’an, ajaran Islam, simbol-simbol Islam, bahkan ulamanya dikriminalisasi. Anehnya, mereka yang melakukan penistaan agama seolah tidak tersentuh hukum. Pelaporan kasus penistaan agama seperti berjalan di tempat, berhenti di tengah jalan dan pada akhirnya hilang bagai ditelan bumi. 

Pemerintah saat ini terkesan melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus penistaan agama. Seharusnya aparat, terkait kasus penistaan agama tidak perlu menunggu laporan dari masyarakat karena penistaan agama bukan delik aduan melainkan delik umum. Tetapi saat ini pemerintah dan aparat sepertinya cuek terkait dengan dugaan kasus penistaan agama yang semakin marak di negeri ini. Diantara dugaan pelaku penista agama yang hingga kini belum tersentuh hukum adalah dosen UI Ade Armando yang pernah mengatakan tidak perlu lagi menghafal Al-Qur’an dizaman digital saat ini. Selain itu, Kasus Ahok yang pernah mengatakan  jangan mau ditipu Al-Qur’an juga nyaris tak tersentuh hukum sehingga muncul aksi 411 dan 212. Kemudian, Sukmawati Soekarnoputri yang pernah dilaporkan atas kasus dugaan penistaan agama soal azan dan cadar hingga detik ini belum juga disentuh hukum, polisi hanya menerbitkan SP3 karena mengaku tidak menemukan unsur pidana.

Kebijakan ala demokrasi, delik penodaan agama yang kerap disebut penistaan agama diatur dalam ketentuan Pasal 156 huruf a KUHP yang bersumber dari Pasal 4 UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama (UU No.1/PNPS/1965) yang berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakaukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.” Pasal di atas dianggap pasal karet peninggalan orde lama dimana sejumlah pihak menyebut pasal ini dapat menimbulkan tafsir yang beragam dalam implementasinya, pembuktian atas suatu kasus penistaan sulit untuk dilakukan, sehingga dapat memicu konflik. Dan diperluaslah cakupan RUU ini  dengan tujuan meredam kerusuhan atau konflik berbasis agama di masyarakat akibat ketidakjelasan tafsir pasal ini. 

Beberapa pasal tersebut diantaranya Pasal 349 RKUHP menyatakan bahwa seseorang yang menyebarluaskan penghinaan terhadap agama malalui sarana teknologi informasi diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Pasal 351 mengatur setiap orang yang mengganggu, merintangi atau dengan melawan hukum membubarkan dengan cara kekerasan atau ancaman terhadap orang yang sedang menjalankan ibadah, upacara keagamaan atau pertemuan keagamaan, dipidana penjara paling lama tiga tahun. Sementara dalam pasal 353 menegaskan setiap orang yang menodai, merusak atau membakar bangunan tempat ibadah diancam pidana penjara paling lama lima tahun.

Namun, dengan adanya rentetan pasal diatas yang diberlakukan saat ini nyatanya hukum tetap tidak tegas kepada penista agama sehingga penistaan terus berulang bahkan oleh orang yang sama. Hal ini karena tidak adanya kebijakan yang dapat memberikan efek jera. Inilah demokrasi yang seolah melindungi para penista agama sehingga marak dilakukan oleh orang-orang pembenci Islam. Apalagi si pelaku adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan, mereka merasa kebal hukum jika berhubungan dengan penistaan agama Islam. 

Tidak dapat dipungkiri, sejatinya seperti inilah tabiat asli dari sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini, demokrasi-sekularisme yang mendoktrinkan pemisahan agama dari kehidupan. Sekularisme menjadi asas bagi liberalisme yang diwujudkan dalam Hak Asasi Manusia (HAM) berupa jaminan kebebasan kepada setiap individu untuk bebas berekspresi, berperilaku dan berpendapat sehingga sangat memungkinkan banyak orang kian berani menghina bahkan menistakan Islam. 

Sistem sekularisme tidak mampu menjaga kemuliaan Islam. Sekularisme telah menjadikan ajaran Islam yang mulia terlihat hina hingga akhirnya benar-benar menjadi sasaran penghinaan yang bukan saja terhadap umatnya, tetapi juga ajaran Islamnya. Mengakibatkan berkembangnya kebodohan atau pengabaian manusia atas agamanya, tidak tahu hak-hak Allah SWT dan hak-hak manusia lainnya. Akibatnya, makin suburlah berbagai penghinaan terhadap Islam, paham-paham dan perilaku menyimpang dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme dan lain sebagainya semakin bermunculan, mengharuskan negara netral dari agama, khususnya Islam. Sehingga, jika umat Islam berharap mereka diproses dalam delik hukum, dapat dipastikan hal itu hanyalah suatu mimpi kosong. Kalaupun hukum memproses pelaku penghinaan Islam, maka itu hanya sebatas ingin meredakan emosi dan kemarahan umat sekaligus melindungi kebebasan dan HAM.

Hal ini bukan tanpa bukti. Berkali-kali penistaan agama terjadi hingga menimbulkan reaksi umat luar biasa, mirisnya hal itu hanya dipandang tidak lebih dari mengancam stabilitas negara atau mengancam kedudukan penguasa. Tidak sedikitpun negara bergerak sekadar berinisiatif melakukan upaya pencegahan apalagi penindakan. Semua kasusnya nyaris hilang menguap seiring penyampaian maaf yang nampak terpaksa dilakukan untuk meredam kecaman masyarakat.

Islam Senantiasa Menjaga Kemuliaan Agama

Barangkali memang sudah menjadi sebuah keniscayaan, bahwa dinegeri ini berdasar demokrasi-sekularisme, negara harus netral terhadap penistaan agama. Berbeda halnya dengan sistem dan aturan Islam dalam memperlakukan agama. Dalam Islam, agama adalah sesuatu yang wajib dijaga, hampir tidak dijumpai penistaan agama dalam Islam sebab mereka akan mendapatkan hukuman tegas dan keras dari negara bagi pelakunya. 

Salah satu fungsi negara adalah menjaga agama dengan jalan menjaga akidah umat dan menegakkan hukum-hukum syara secara kaffah dan konsisten. Negara akan menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku penistaan agama. 

Di samping itu, negara menggencarkan dakwah Islam untuk menciptakan kondisi kondusif agar fitrah manusia tetap terpelihara sebagai umat Muslim yang tunduk kepada Penciptanya, Allah SWT, sekaligus mengantisipasi dan menutup semua celah terjadinya penyimpangan terhadap agama yang mempunyai hak paling asasi yang dilindungi oleh hukum secara tegas.

Dalam sirah  perjalanan Rasululah SAW, fenomena penghinaan terhadap Islam sering muncul  dari orang-orang yahudi dan munafik. Hampir semua tindakan penghinaan tersebut dihukum mati oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, ada kasus salah seorang sahabat yaitu Umair bin ‘Adi yang langsung membunuh seorang wanita yang menghina Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada Rasulullah SAW. Namun, ketika tindakan tersebut dilaporkan kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, beliau pun menyetujuinya bahkan kemudian berujar kepada para sahabat,”Barangsiapa yang ingin melihat orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya, maka lihatlah Umair bin ‘Adi,” (lihat: Ibnu Taimiyyah dalam Ash-Sharim Al-Maslul, hal. 95).

Begitu juga, pada masa Khilafah Utsmani dimana negara secara tegas dengan menyiapkan pasukan perang untuk menyerang Perancis ketika diketahui bahwa di Prancis itu akan diadakan pertunjukkan opera yang isinya menghina Rasulullah SAW. Sayangnya, hari ini seolah umat Islam tak mendapatkan hal demikian. Ketika Rasulullah dihina, umat Islam tidak bisa melakukan apapun sebab negara dan penguasanya bersikap apatis.
Untuk itulah, penegakkan sistem Islam Kaffah yang bersumber dari Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan harus disegerakan. Tentu saja, hal demikian tidak semudah menbalikkan telapak tangan. Diperlukan upaya dakwah yang mengarah pada tegaknya Islam Kaffah dengan jalan mengokohkan kembali akidah umat bahwa Islam sebagai way of life (jalan hidup), sehingga umat akan paham akan konsekuensi mereka dalam berislam bahwa syariat Islam, syariat Allah adalah pilihan terbaik dalam kehidupan.

Dengan menerapkan syariat Islam secara keseluruhan, mereka para pembenci Islam akan dilenyapkan dari muka bumi ini. Allah SWT dan Rasul-Nya akan mendapatkan hak dari para umat-Nya sebagaimana semestinya. Tanpa pelecehan, melainkan pujian. Wallahu a’lam bi shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak